Penyintas Obat Sirop Beracun Tuntut Keadilan
Pemerintah dituding abai pada anak-anak yang mengalami gangguan ginjal akut usai mengonsumsi obat sirop beracun. Penyakit itu menimbulkan dampak jangka panjang bagi para korbannya, seperti kelumpuhan permanen.
JAKARTA, KOMPAS — Anak-anak yang mampu mempertahankan hidupnya usai mengalami gangguan ginjal akut progresif atipikal atau GGAPA sampai saat ini ternyata dirundung penyakit lain. Penyakit itu disebut sebagian pihak dampak dari racun pada obat sirop pemicu GGAPA. Pemerintah dan perusahaan obat sirop terkait harus bertanggung jawab penuh, termasuk menangani dampak jangka panjangnya.
Anak-anak yang mampu mempertahankan hidupnya usai mengalami GGAPA setelah mengonsumsi obat sirop mengandung etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) sampai saat ini ternyata masih dirundung berbagai penyakit. Mereka kesulitan bicara, tidak bisa makan normal sehingga butuh bantuan selang nasogastrik, sampai mengalami kelumpuhan. Perekonomian keluarga terkuras demi biaya penyembuhan.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, hingga 5 Februari 2023, kasus GGAPA pada anak mencapai 326 pasien dari 27 provinsi. Sebanyak 204 anak di antaranya meninggal dan sisanya atau 122 anak dinyatakan hidup.
Kementerian Kesehatan sebelumnya menyatakan, kasus GGAPA itu diduga akibat konsumsi obat sirop yang mengandung etilen glikol dan dietilen glikol. Hasil penelitian Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menunjukkan sedikitnya ada delapan obat sirop yang mengandung bahan berbahaya itu.
Baca juga: Dampak Lanjutan Mengintai Anak dengan Gangguan Ginjal Akut
Wakil Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) sekaligus Ketua tim pencari fakta (TPF) Mufti Mubarok, Rabu (5/7/2023), menyatakan, peristiwa yang merenggut ratusan nyawa anak-anak itu disebabkan kelalaian pengusaha dan pengawasan pemerintah yang lemah. Oleh karena itu, ia mendesak pemerintah dan korporasi agar bertanggung jawab penuh terhadap para korban.
”Mereka yang dinyatakan sembuh ternyata juga tidak pulih 100 persen malah ada efek yang sangat fatal. Hampir semua korban yang sebelumnya dinyatakan sembuh oleh pemerintah ternyata mengalami kelumpuhan,” kata Mufti.
Menurut dia, belum ada upaya konkret dari pemerintah untuk menangani anak-anak yang menderita kelumpuhan akibat mengonsumsi sirop beracun. Padahal, masa depan anak-anak itu amat terancam karena kelumpuhan itu diprediksi bersifat permanen.
”Di mana jiwa kemanusiaan pemerintah? Coba kalau yang menjadi korban adalah anak pejabat atau anak menteri, pasti kasus ini akan lebih serius diusut,” ujar Mufti.
Mengenai dampak lanjutan pada anak korban sirop beracun itu juga diungkapkan oleh Siti Habib. Ia adalah kuasa hukum yang mendampingi orangtua 24 korban untuk menuntut kompensasi dari pemerintah dan korporasi. Dari 24 korban itu, tinggal 6 anak di antaranya yang masih hidup.
Siti mengatakan, selain mengalami kelumpuhan, kebanyakan korban yang masih bertahan juga harus menjalani operasi tracheostomy untuk membuat lubang pernapasan di leher karena mereka tidak dapat bernapas secara normal.
Ia menambahkan, anak-anak itu juga harus makan lewat selang yang dimasukkan ke hidung. Bahkan, katanya, ada satu korban anak yang kehilangan penglihatan dan pendenganran secara permanen.
Baca juga: Dugaan Malaadministrasi Kasus Gangguan Ginjal Akut Terbukti
Menurut Siti, setiap minggu, para orangtua harus membawa anak-anak itu untuk periksa rutin ke tiga sampai empat klinik. Mereka harus terus-menerus mengeluarkan uang untuk menyewa mobil setiap kali akan membawa anaknya ke rumah sakit.
”Mereka tidak punya mobil karena mayoritas keluarga korban berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Mereka mengonsumsi obat itu karena diresepkan oleh fasilitas kesehatan karena sirop itu adalah obat yang ditanggung Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan,” ujarnya.
Di Ibu Kota, Tay David Sulu (36) dan Septiana Juwita Sari (29), warga Lenteng Agung, Jagakarsa, Jakarta Selatan, adalah salah satu pasangan orangtua dari anak korban sirop beracun yang kini dihadapkan pada kondisi buruk. Ekonomi rumah tangga mereka tertekan demi penyembuhan anaknya, Alvaro (4), yang lumpuh. David menambal kebutuhan keluarga dengan menjadi kurir, Septiana terserap semua energi dan waktunya untuk fokus mengurus Alvaro.
Mereka tinggal di sebuah kontrakan kecil di Jalan Masjid nomor 110 RT 009 RW 008, Lenteng Agung. Kontrakan mereka pun sangat sederhana, hanya ada tikar, kasur, dan alat rumah tangga seadanya. Berbagai cara mengumpulkan uang dicoba pasutri ini, tetapi selalu tidak cukup.
”Susunya Alvaro ini khusus, delapan kali sehari, sebulan Rp 3 juta untuk susu saja, belum beras, gula, belum lagi kalau kontrol dari sini harus naik taksi daring, bapaknya kerja tidak selalu bisa mengantar, kadang saya minta tolong kiri-kanan. Saya 24 jam mengurus Alvaro, mata sudah panda begini, kurang tidur,” kata Septiana sambil menggendong anaknya yang terus merengek di kontrakannya, Minggu (9/7/2023).
Sebelum ini, Alvaro anaknya ceria, bawel, lari-lari, main sepeda terus, sekarang sepedanya cuma digantung tidak pernah dipakai lagi.
Alvaro mengalami GGAPA sejak diberi obat sirop parasetamol yang diduga mengandung senyawa EG dan DEG oleh salah satu rumah sakit di Lenteng Agung untuk mengobati demamnya pada 28 September 2022. Setelah tiga hari mengonsumsi obat itu, panas tubuhnya tak kunjung turun dan justru kesulitan buang air kecil.
Setelah diperiksa, dia kemudian divonis terkena GGAPA. Dokter langsung merujuk Alvaro ke Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr Cipto Mangunkusumo (RSCM), Salemba, Jakarta Pusat, untuk cuci darah. Dia menjalani perawatan intensif di Pediatric Intensive Care Unit (ICU anak) dan rawat inap selama enam bulan di RSCM.
Septiana yang tengah hamil besar saat itu sampai harus kehilangan anak keduanya karena meninggal di dalam kandungan. Perempuan asal Medan, Sumatera Utara, itu tak kuat menahan beban pikiran sehingga mengakibatkan janin anak keduanya gangguan fungsi jantung pada usia kehamilan delapan bulan.
”Sebelum ini, Alvaro anaknya ceria, bawel, lari-lari, main sepeda terus, sekarang sepedanya cuma digantung tidak pernah dipakai lagi,” ujarnya.
Sampai saat ini, Septiana dengan penuh ketegaran mengantar Alvaro hampir setiap hari ke RSCM. Alvaro masih cuci darah dua kali seminggu pada Senin dan Kamis, lalu Selasa jadwal kontrol ke dokter spesialis nutrisi dan neurologi pediatri, kemudian Rabu untuk mengambil hasil cuci darah dan obat-obatan, dan terakhir Jumat menjalani rehabilitasi medik. Semua biaya kontrol ditanggung oleh BPJS Kesehatan, tetapi mereka harus bersiasat untuk mengurus anaknya di rumah.
”Kami seminggu itu hampir setiap hari ke rumah sakit ke RSCM gotong-gotong Alvaro ke Salemba, sudah jauh, macet lagi, tidak bisa naik KRL karena masih lumpuh,” tuturnya.
Dalam sebulan terakhir, Alvaro menunjukkan perkembangan yang cukup baik, dia sudah duduk walau dengan bantuan orangtua, bisa berbicara memanggil ayah dan ibunya. Namun, hidungnya masih dipasang selang nasogastrik untuk membantunya makan dan penglihatan dan pendengarannya sangat terbatas.
”Sangat Puji Tuhan sekali dengan semua perkembangan Alvaro, tetapi kami lelah, butuh dana. Kalau pengobatan memang dari BPJS, tetapi untuk popok, susu, itu berat sekali,” kata David.
Kelumpuhan juga dialami Nasifa (3), korban sirop beracun di Batam, Kepulauan Riau. Sebelumnya Nasifa menjalani perawatan di RS Hj Bunda Halimah dan RS Badan Pengusahaan (BP) Batam pada September 2022 hingga Januari 2023.
Ibu anak tersebut, Eva Nurmala (35), mengatakan, dokter di RSBP Batam telah menyatakan kecil kemungkinan Nasifa untuk dapat normal kembali. Menurut dokter, gejala kelumpuhan yang dialami Nasifa mengarah ke cerebral palsy atau kemunduran motorik yang bersifat permanen.
”Waktu Nasifa dibolehin pulang sama dokter, saya enggak tahu harus bahagia atau sedih. Di satu sisi dia mampu selamat dari racun itu, tetapi di sisi lain kemungkinan besar dia hanya bisa berbaring di sisa hidupnya,” katanya.
Nasifa yang dulunya balita normal kini hanya dapat berbaring dan sama sekali tidak bisa berkomunikasi. Anak bungsu dari tiga bersaudara itu tidak lagi dapat merespons pada suara, sentuhan, dan penglihatan. Semakin hari sendi-sendi anak itu juga semakin menekuk dan kaku.
Orangtua Nasifa merasa tidak sanggup jika harus ke Jakarta untuk menuntut kompensasi dari pemerintah dan korporasi. Tenaga dan sumber daya mereka sudah habis untuk merawat Nasifa serta mengurus keperluan sehari-hari dua anak yang lain.
”Ayah Nasifa cuma sekuriti, rumah saja kami masih ngontrak. Jangankan untuk menuntut kompensasi ke pengadilan di Jakarta sana, untuk makan dan sekolah anak-anak saja kami sering kesulitan,” ujarnya.
Gugatan
Selain itu, David dan Septiana masih menanti pertanggungjawaban pemerintah atas kelalaian mengawasi obat yang beredar di masyarakat. Mereka bergabung dengan orangtua korban lain yang melakukan gugatan kelompok ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Mayoritas orangtua korban berasal dari DKI Jakarta itu menuntut pertanggungjawaban 11 tergugat. Adapun tiga kelompok tergugat yaitu tiga lembaga pemerintah, dua perusahaan farmasi, dan enam perusahaan penyalur obat. Tiga lembaga pemerintah itu adalah Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), dan Kementerian Keuangan.
”Sudah mediasi kemarin tetapi tidak mencapai kesepakatan. Jadi 18 Juli 2023 nanti kami menyerahkan revisi gugatan,” kata perwakilan kuasa hukum para korban, Siti Habiba, saat dihubungi, Sabtu (8/7/2023).
Baca juga: Sidang Kembali Ditunda, Keseriusan Para Tergugat Dipertanyakan
Dinas Kesehatan DKI Jakarta mencatat, total ada 100 anak-anak yang pada saat itu mengeluhkan gejala mirip GGAPA. Setelah diperiksa, 63 anak di antaranya terkonfirmasi positif keracunan EG dan DEG.
Kasus paling banyak terjadi pada usia di bawah satu tahun yakni 21 anak, usia 1 tahun sebanyak 11 anak, dan usia 2 tahun 8 anak. Sisanya berada pada rentang usia 3 tahun sampai 17 tahun.
Kepala Seksi Surveilans Epidemiologi dan Imunisasi Dinas Kesehatan DKI Jakarta Ngabila Salama mengatakan, semua pasien sudah dinyatakan sembuh, tidak ada lagi anak yang terjangkit racun EG dan DEG.
”Masih ada yang rawat jalan di Jakarta, tetapi tidak dianggap sebagai pasien baru. Mereka sudah sembuh dari gejala gagal ginjal akutnya,” kata Ngabila saat dihubungi, Jumat (14/7/2023).
Generasi sia-sia
Bahan EG dan DEG di dalam obat sirop bersifat toksik untuk manusia dan dapat berakibat fatal. Dampak paling umum adalah nyeri perut, muntah, diare, nyeri kepala, penurunan volume urine, dan berakhir dengan gagal ginjal akut. Upaya penelitian yang komprehensif seharus terus didorong.
Guru Besar Bidang Farmakologi dan Farmasi Klinis Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada Zullies Ikawati mengatakan, tingkat bahaya dari paparan senyawa etilen glikol dan dietilen glikol bergantung pada besarnya dosis serta kerentanan individu yang terpapar. Selain itu, dampak dari paparan tersebut juga bergantung pada organ tubuh yang sudah dipengaruhi.
”Pada dasarnya sifat keracunan dari senyawa ini bersifat sistemik. Artinya dapat memengaruhi seluruh tubuh, tidak hanya ginjal,” tuturnya saat dihubungi di Jakarta, Sabtu (15/7/2023).
Zullies menyampaikan, dampak paparan senyawa etilen glikol dan dietilen glikol pada tahap awal dapat menyerang sistem saraf pusat. Hal tersebut membuat risiko kematian menjadi tinggi. Pada sejumlah kasus kondisi itu bisa menimbulkan kecacatan, seperti lumpuh ataupun gangguan pernapasan.
Ketua Umum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) Tony Samosir mengatakan, pemerintah cenderung abai pada kondisi anak-anak yang mengalami gangguan ginjal akut. Penyakit tersebut telah menimbulkan dampak jangka panjang bagi anak-anak yang menjadi korban dari konsumsi obat yang tercemar. Namun, pemerintah hingga kini belum memberikan kompensasi apa pun bagi anak-anak yang terdampak. Upaya spesifik untuk melakukan pemulihan terhadap keluarga juga belum dilakukan.
Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Piprim Basarah Yanuarso mengungkapkan, pengusutan hingga tuntas akar masalah ini menjadi kewenangan pemerintah, dalam hal ini Kemenkes.
Jadi ketika anak sudah terpapar tidak boleh dibiarkan dan dianggap lost generation (generasi sia-sia) sehingga perlu distimulasi hingga kondisinya semakin membaik. (Piprim Basarah Yanuarso)
Piprim menyebut, IDAI perlu mengawal aspek tumbuh kembang anak yang terpapar obat beracun. Pakar dari IDAI memberikan pendampingan dalam penanganan dan penyembuhan anak yang terpapar.
”Jadi ketika anak sudah terpapar tidak boleh dibiarkan dan dianggap lost generation (generasi sia-sia) sehingga perlu distimulasi hingga kondisinya semakin membaik,” kata Piprim saat dihubungi, Jumat (14/7/2023).
Adapun Kepala Subbagian Komunikasi, Informasi, dan Edukasi BPOM Eka Rosmalasari mengungkapkan, pihaknya upaya pencegahan serta terus memperbarui catatan obat sirop yang layak konsumsi.
Sejak penemuan kasus pertama, BPOM telah melakukan langkah-langkah antisipatif. langkah-langkah responsif dengan melakukan investigasi, penelusuran, pengambilan dan pengujian sampel.
Selain itu, upaya penindakan juga terus dilakukan terhadap sarana produksi dan distribusi jika terdapat unsur pidana bidang kesehatan.
Baca juga: Orangtua Korban Gangguan Ginjal Akut Progresif Tuntut Pertanggungjawaban
BPOM juga terus melakukan verifikasi hasil pengujian bahan baku obat atau sirop obat berdasarkan pemenuhan beberapa kriteria. Kriteria ini mencakup kualifikasi pemasok, pengujian bahan baku dengan metode pengujian yang mengikuti standar farmakope terkini.
Adapun dari hasil verifikasi terakhir periode Maret-Mei 2023 terdapat tambahan 176 produk sirop obat yang telah memenuhi ketentuan. Dengan demikian, BPOM menyatakan 941 produk sirop obat dari 86 industri farmasi telah memenuhi ketentuan dan aman digunakan dan dikonsumsi.
”Langkah BPOM dalam penanganan EG dan DEG dan verifikasi jenis obat terus diperbarui dalam rilis kami,” ujar Eka.
Selain itu, upaya upaya antisipatif juga di daerah dengan peningkatan sumber daya manusia dalam identifikasi EG dan DEG. Di Bali, misalnya, BPOM melakukan peningkatan kompetensi sumber daya manusia melalui bimbingan teknis identifikasi dan penetapan kadar EG dan DEG pada obat tradisional dan suplemen kesehatan.
Dihubungi terpisah dari Jakarta, Minggu (9/7/2023), anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng, kembali mendesak pemerintah untuk menjalankan semua rekomendasi tindakan korektif atas maladministrasi yang sudah diputuskan Ombudsman sejak 15 Desember 2022. Salah satunya dengan menetapkan kasus ini sebagai kejadian luar biasa.
(Kompensasi) Masih dalam pembahasan. Usulan untuk itu sudah diajukan, tetapi masih dikaji aturan-aturan terkait antar-kementerian. (Siti Nadia Tarmizi)
”Tidak perlu menunggu hasil pengadilan. KLB ini supaya semua bisa bersinergi membantu korban, tidak harus letterlijk mengikuti aturan yang bilang KLB harus penyakit menular. Ini tidak cukup pengobatannya dengan BPJS saja tetapi juga sosial ekonominya. Kami harap Bapak Presiden bisa menyoroti hal ini agar segera ditindaklanjuti,” kata Robert.
Kompas sudah berupaya menghubungi Pelaksana Tugas Direktur Utama RSCM dr Lies Dina Liastuti untuk mengetahui jumlah pasien yang masih rawat jalan dan upaya penanganan efek lanjutan yang dialami sejumlah korban obat sirop beracun. Namun, belum ada tanggapan hingga berita ini dipublikasikan.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi menuturkan, pembiayaan untuk perawatan pasien GGAPA telah diatur mengikuti skema pembiayaan jaminan kesehatan nasional. Pemerintah juga telah memastikan ketersediaan antidotumfomepizole sebagai terapi untuk pasien.
Terkait dengan kompensasi, ia menuturkan, hal itu hingga kini masih dalam pembahasan kementerian/lembaga terkait. ”(Kompensasi) Masih dalam pembahasan. Usulan untuk itu sudah diajukan, tetapi masih dikaji aturan-aturan terkait antarkementerian,” katanya.