Rata-rata Aduan Laporan PPDB Jabar 2023 Berasal dari Pemalsuan Data
Pemerintah Jawa Barat menerima lebih dari 2.000 laporan terkait pelaksanaan penerimaan peserta didik baru atau PPDB 2023. Kecurangan terkait data kependudukan menjadi masalah rata-rata dan perlu dievaluasi.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·3 menit baca
—
BANDUNG, KOMPAS Tim pengaduan pelaksanaan penerimaan peserta didik baru atau PPDB tahun 2023 di Jawa Barat menerima sedikitnya 2.000 laporan. Rata-rata aduan tersebut berasal dari kecurangan data kependudukan agar bisa bersekolah di lokasi tertentu.
Gubernur Jabar Ridwan Kamil di Bandung, Jumat (14/7/2023), menyatakan, sebagian besar laporan itu telah ditangani dan diselesaikan. Ribuan laporan ini berasal dari para pendaftar sekolah untuk tingkat SMA dan SMK yang masuk wewenang pemerintah provinsi.
Menurut gubernur yang disapa Emil itu, kisruh pendaftaran siswa baru ini tidak hanya terjadi di Jabar, tetapi juga di daerah lain. Karena itu, temuan yang ada menjadi evaluasi agar tidak terjadi lagi, terutama terkait pemalsuan dokumen.
Berdasarkan data Dinas Pendidikan (Disdik) Jabar, aduan terkait PPDB yang diajukan kepada pemerintah hingga Jumat ini mencapai 2.643 laporan. Ribuan laporan ini menjadi bagian dari para pendaftar SMA dan SMK di Jabar yang mencapai 519.845 calon siswa. Dari jumlah tersebut, 2.346 laporan diselesaikan.
“Laporan masuk ada 2.000-an dan 90 persen sudah diselesaikan Disdik (Jabar). Rata-rata pengaduannya pemalsuan dokumen. Kami sudah sangat responsif dan ini akan jadi evaluasi. Penyelesaiannya dengan berbagai cara, termasuk pembatalan dari beberapa kasus pemalsuan yang ditemui,“ ujar Emil.
Laporan terkait PPDB di Jabar juga diterima Ombudsman RI, yakni 21 aduan. Menurut Asisten Ombudsman RI Kartika Purwanti, laporan tersebut berasal dari kesulitan para orangtua siswa terkait penggunaan jaringan hingga aduan dari jalur sertifikasi.
“Jenis aduannya bervariasi, tetapi lebih ke pendaftaran PPDB yang sudah daring dan tidak semua masyarakat paham. Mulai dari kesulitan masuk ke akun PPDB sampai data yang tidak sesuai. Ada juga aduan dari jalur prestasi terkait sertifikat,“ ujarnya.
Menurut Kartika, para pelapor berasal dari wilayah Bandung Raya untuk calon siswa SMP dan SMA. Sementara dari Purwakarta, Garut, Bekasi, hingga Depok berasal dari calon siswa SMA. Untuk Kota Depok dan Bekasi, lanjutnya, pengawasan ada di Ombudsman Jakarta Raya.
“Kami membentuk narahubung di masing-masing dinas pendidikan kabupaten, kota, dan provinsi. Setelah laporan yang masuk dilakukan verifikasi, kami akan teruskan kepada para narahubung, jadi semuanya satu pintu,“ ujarnya.
Berbagai kendala terkait PPDB yang tersiar di media sosial membuat Lalan Jaelani (32) enggan menyekolahkan anaknya di sekolah negeri. Warga Kecamatan Banjaran, Kabupaten Majalengka, ini memilih memasukkan anaknya yang berumur 6 tahun di sekolah islam terpadu.
Lalan masih meragukan kualitas sekolah negeri yang belum merata. Apalagi, saat ini orangtua siswa hanya bisa memilih sekolah berdasarkan lokasi terdekat, bukan dari reputasi sekolah yang sebelumnya telah terbentuk.
“Di dekat rumah saya ada sekolah negeri, tetapi saya masih belum yakin sekolah itu bisa menjamin kualitas pendidikan anak saya, terutama karakter. Kalau pemerintah bisa memastikan kualitasnya, saya dengan senang hati memasukkan anak-anak saya ke sekolah negeri,“ ujarnya.