Pengadilan HAM Ad Hoc dan Pengadilan HAM Disebut Kurang Efektif
Sejumlah hal disebut menjadi penghambat dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat. Pengadilan HAM dan Pengadilan HAM Ad Hoc yang ada saat ini dinilai kurang efektif.
Oleh
KRISTI DWI UTAMI
·4 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Keberadaan Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) Ad Hoc dan Pengadilan HAM di Indonesia disebut kurang efektif. Hal itu membuat penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat, baik yang terjadi di masa lalu maupun masa kini, terhambat. Jika dibiarkan berlarut-larut, penegakan keadilan diperkirakan bakal sulit tercapai.
Hal itu diungkapkan oleh hakim tinggi DKI Jakarta, Binsar M Gultom, dalam orasi ilmiah yang disampaikan pada acara pengukuhannya sebagai guru besar kehormatan di Universitas Islam Sultan Agung, Kota Semarang, Jawa Tengah, Jumat (14/7/2023). Binsar menjadi guru besar kehormatan yang ke-16 di Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung.
Pengadilan HAM Ad Hoc merupakan pengadilan yang dibentuk khusus untuk memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran HAM berat yang dilakukan sebelum adanya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Komnas HAM dan Jaksa Agung harus segera mengungkap dan menyelesaikan pemeriksaan kasus tersebut sehingga kasus tersebut bisa segera dilimpahkan ke Pengadilan HAM (Binsar Gultom).
Sementara itu, Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus di bawah peradilan umum yang digunakan untuk mengadili kejahatan-kejahatan tertentu yang termasuk dalam pelanggaran HAM berat.
Menurut Binsar, Pengadilan HAM Ad Hoc dan Pengadilan HAM yang ada kurang efektif. Hal itu dipicu sulitnya menetapkan pelaku pelanggaran HAM berat karena yang berpotensi melakukan pelanggaran adalah pihak aparat keamanan, yakni TNI dan atau Polri, yang bertugas di tempat kejahatan terjadi. Kondisi itu pun menyebabkan, baik pihak Jaksa Agung maupun DPR, enggan menindaklanjuti temuan Komisi Nasional HAM dengan berbagai alasan yang dinilai Binsar tidak rasional
“Memangnya kenapa kalau aparat keamanan yang melakukan? Itu tetap harus diproses. Soal tidak tahu siapa pelaku utamanya, sesuai dengan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, komandan atau atasan harus bertanggung jawab secara pidana atas peristiwa di wilayah teritorialnya,“ kata Binsar.
Tidak mudah menyerah
Kendati merasa kesulitan, Komnas HAM diharapkan Binsar tidak menyerah begitu saja, tetapi segera melakukan penggeledahan dan penyitaan terhadap barang bukti yang digunakan oleh pelaku kejahatan. Selanjutnya, Jaksa Agung harus segera melakukan penangkapan dan penahanan kepada para pelaku yang diduga keras melakukan pelanggaran HAM berat.
Faktor lain yang dianggap Binsar memicu kurang efekifnya Pengadilan HAM Ad Hoc dan Pengadilan HAM adalah ketidak-akurasian alat dan barang bukti akibat tidak segera diselesaikannya kasus. Kondisi itu membuat banyak barang bukti hilang atau rusak dan saksi meninggal dunia atau berpindah tempat tinggal. Kesempatan itu tak jarang dijadikan alasan membebaskan terdakwa pelanggaran HAM, baik di masa lalu maupun masa kini.
“Untuk mengatasi akurasi alat bukti dan barang bukti tersebut, para hakim HAM dan hakim HAM Ad Hoc harus memiliki pengetahuan luas di terkait kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu maupun kasus pelanggaran HAM berat di luar negeri,“ tutur Binsar.
Binsar mengusulkan tiga solusi untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Pertama, ketika Komnas HAM dan Jaksa Agung sudah selesai menyelidiki dan menyidik dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu, DPR harus segera mengeluarkan rekomendasi pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc kepada presiden, tanpa menolak temuan tersebut dengan alasan tidak ada pelanggaran HAM berat. Sebab, kewenangan menilai ada tidaknya berada di Pengadilan HAM Ad Hoc saat persidangan.
Kedua, jika kasus pelanggaran HAM berat tidak dapat diselesaikan melalui proses pengadilan, satu-satunya solusi adalah melakukan rekonsiliasi nasional. Proses itu juga wajib memedomani Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Ketiga, jika Pemerintah Indonesia tidak mampu menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat, pemerintah internasional melalui Pengadilan Kejahatan Internasional bisa mengambil alih kasus tersebut. Sehingga, kasus itu bisa diselesaikan di pengadilan internasional.
Sementara itu, solusi untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa kini adalah melalui proses hukum di Pengadilan HAM yang sudah ditetapkan secara permanen.
Binsar menambahkan, tidak boleh ada rekonsiliasi untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa kini, apalagi lagi upaya menutup-nutupi kasus tersebut.
"Komnas HAM dan Jaksa Agung harus segera mengungkap serta menyelesaikan pemeriksaan kasus tersebut. Sehingga kasus tersebut bisa segera dilimpahkan ke Pengadilan HAM," imbuhnya.
Binsar berharap, penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia tidak dianaktirikan. Binsar mendorong, Presiden Joko Widodo, di masa-masa akhir jabatannya untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat, seperti pemerintah menyelesaikan kasus-kasus hukum yang lain.
Guru Besar Hukum Internasional di Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana yang turut hadir dalam pengukuhan, Jumat, menyebut, apa yang disampaikan Binsar perlu menjadi perhatian pemerintah.
Hikmahanto berharap, ke depan, semua pihak, khususnya aparat keamanan memahami proses hukum terkait pelanggaran HAM berat.
“Kami tidak ingin para prajurit yang membawa nama besar Indonesia terlibat dalam pelanggaran HAM berat. Untuk itu, saya berharap para prajurit kita, TNI/Polri, bisa memahami apa itu pelanggaran HAM berat dan menghindari perbuatan yang masuk kualifikasi sebagai pelanggaran HAM berat,“ ucapnya.
Adapun Rektor Universitas Islam Sultan Agung Gunarto juga mengapresiasi buah pemikiran Binsar. Gunarto juga berharap solusi yang ditawarkan Binsar bisa membantu bangsa Indonesia merasakan nilai-nilai keadilan tumbuh di Pengadilan HAM Ad Hoc dan Pengadilan HAM di Indonesia.
“Ini satu kontribusi yang nyata (Binsar) untuk bangsa dan negaranya. Melalui pemikiran yang sangat penting tentang bagaimana peradilan HAM Ad Hoc dan Peradilan HAM di Indonesia ini bisa efektif ini sejalan dengan visi Universitas Islam Sultan Agung yang mendorong perwujudan Indonesia yang adil, sejahtera, dan dirahmati Allah,“ ujarnya.