Fenomena menitipkan nama anak pada kartu keluarga lain masih marak terjadi dalam penerimaan peserta didik baru di DIY. Terdapat oknum aparatur sipil negara hingga kepolisian yang melakukan praktik itu.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·4 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Fenomena menitipkan nama anak pada kartu keluarga lain masih marak terjadi dalam penerimaan peserta didik baru di Daerah Istimewa Yogyakarta. Terdapat oknum aparatur sipil negara hingga kepolisian yang melakukan praktik itu. Orangtua diimbau mengikuti aturan pendaftaran sebagaimana mestinya mengingat sistem zonasi diberlakukan untuk pemerataan kualitas pendidikan.
Ombudsman Republik Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta (ORI DIY) membuktikannya lewat penelusuran dari informasi yang beredar di masyarakat. Kasus paling menonjol berupa penitipan data sejumlah anak pada kartu keluarga (KK) milik pengelola kantin SMP negeri di Kota Yogyakarta. Adapun alamat KK dari pengelola kantin itu berada dalam lingkungan sekolah tersebut. Kebetulan sekolah itu tergolong favorit bagi warga DIY.
Lembaga itu memperoleh data berupa fotokopi KK dari satu alamat yang sama. Ada dua KK yang dilampirkan, yakni milik pengelola kantin dan menantunya. Dari kedua dokumen itu, sedikitnya ada 11 anak yang dititipkan namanya. Penitipan nama bertujuan agar anak tersebut bisa lolos jalur zonasi radius dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB) SMP dan SMA di DIY tahun ini.
”Modus terbarunya menitipkan ke pengelola kantin yang alamatnya sama dengan sekolah tersebut. Ini kami cek satu per satu bahwa memang semakin terkonfirmasi ada indikasi menumpang KK untuk kebutuhan PPDB,” kata Kepala ORI DIY Budhi Masturi saat dihubungi, Jumat (14/7/2023).
Dari hasil penelusuran, ungkap Budhi, empat anak dinyatakan lolos pada PPDB tersebut. Dua orang masuk ke SMP favorit itu, sedangkan dua lainnya masuk ke SMA di sekitar SMP tersebut. Pihaknya turut menyelisik profil orangtua yang belakangan diketahui sebagai pegawai dari dinas perhubungan, polisi, hingga guru dari sekolah terkait.
Sekolah-sekolah sekarang dalam pemberian layanan relatif sama.
Lebih lanjut, ujarnya, nama anak-anak itu dititipkan sejak setahun hingga dua tahun yang lalu. Sebab, zonasi radius mensyaratkan anak berdomisili setidaknya setahun sesuai alamat tersebut. Pihaknya telah mendatangi dan menanyai pemilik alamat.
Ia memastikan anak-anak itu tidak tinggal di alamat tersebut dalam kurun waktu yang ditentukan.
”Itu rumahnya hanya seperti kamar. Saya sudah lihat lokasi dan tempatnya. Saya juga sudah bicara sama pemilik KK, anak, dan guru-guru di situ,” lanjut Budhi.
Sangat mencolok
Budhi menyatakan, fenomena ”titip KK” sebenarnya bukan hal baru. Dari tahun ke tahun selalu saja ada laporan perihal itu yang diterimanya. Hanya, tahun ini, temuannya sangat mencolok karena terdapat lima hingga enam anak yang dititipkan pada satu dokumen yang sama. Pihaknya pun menduga temuan itu semacam fenomena gunung es. Banyak upaya penitipan lain dengan jumlah anak yang lebih sedikit.
Di sisi lain, ia juga menyayangkan keterlibatan aparatur sipil negara hingga kepolisian yang berpotensi mengurangi hak sekolah anak-anak lain. Apalagi, ia telah membuat pakta integritas bersama instansi-instansi tersebut agar mereka ikut menjaga asas keadilan dalam pelaksanaan PPDB. Setiap instansi juga diminta membuat edaran soal kesepakatan bersama itu kepada jajaran pegawainya.
”Kami mendorong ada satu kesepakatan lintas instansi untuk mengantisipasi terulangnya peristiwa ini. Kami juga memikirkan opsi bagaimana anak-anak ini setelah mereka terbukti masuk dengan cara yang curang. Termasuk bagaimana status orangtua mereka yang dari ASN dan kepolisian. Itu harusnya dapat evaluasi,” tuturnya.
Dihubungi terpisah, Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga DIY Didik Wardaya menerjunkan tim khusus untuk mengurangi kecurangan titip KK lewat jalur zonasi radius. Ada sejumlah petugas yang diminta untuk memverifikasi data anak-anak apakah benar-benar tinggal di tempat yang sesuai dengan alamat tertera. Apabila tidak sesuai, sistem itu akan menganulir anak tersebut.
Meski demikian, tutur Didik, tindakan orangtua yang dengan sengaja menitipkan nama anak sejak setahun sebelumnya tidak bisa dicegah. Lantas, anak-anak itu tetap bisa mengikuti PPDB lewat jalur zonasi reguler. Sistem yang ada tidak bisa menolaknya.
”Kemarin ada banyak yang kami anulir. Dari 1.800 orang yang mendaftar, setelah diverifikasi, hanya ada sekitar 270 yang memenuhi syarat zonasi radius. Artinya, memang penduduk setempat. Ini yang terjadi untuk wilayah DIY,” ujar Didik.
Ia menyatakan, keadilan PPDB hanya bisa dicapai jika orangtua menyadari semua sekolah memiliki kualitas yang sama. Tidak ada lagi istilah ”sekolah favorit”. Alasannya, penerapan sistem zonasi bertujuan untuk pemerataan layanan pendidikan. Upaya penitipan KK juga terkesan mengingkari niat pendidikan yang membentuk karakter unggul seorang anak.
”Sekolah-sekolah sekarang dalam pemberian layanan relatif sama. Saya punya bukti. Jagoan olimpiade sains dan penelitian sekarang merata, di sekolah-sekolah lain bermunculan. Ini bisa dibilang buah dari zonasi,” katanya.