Kerusakan Hutan Bakau di Kawasan Konservasi Jayapura Sulit Direhabilitasi
Penebangan dan penimbunan material pasir menyebabkan kerusakan hutan bakau di kawasan konservasi Wisata Alam Teluk Youtefa sulit untuk direhabilitasi.
Oleh
FABIO MARIA LOPES COSTA
·3 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS — Perusakan hutan bakau oleh sekelompok orang di kawasan konservasi Taman Wisata Alam Teluk Youtefa mencapai sekitar 2 hektar. Upaya rehabilitasi kawasan itu sulit terlaksana terjadi penimbunan material galian C selama sebulan terakhir.
Danial Idris selaku Tenaga Fungsional Pengendali Ekosistem Hutan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua di Jayapura, Kamis (13/7/2023), mengatakan, hutan bakau di kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Teluk Youtefa sudah berusia lebih kurang 15 tahun sebelum ditebang dan ditimbun dengan material. Ia menilai upaya penanaman kembali bakau sulit terealisasi dalam waktu cepat karena sudah tercampur material lain, yakni batu kapur yang ditimbun di lokasi tersebut.
Danial memaparkan, proses penanaman bakau tidaklah mudah dan diperlukan perlakuan khusus. Sebab, terdapat sejumlah tantangan yang menyebabkan pohon bakau gagal tumbuh seperti pasang surut air laut.
Diketahui penetapan status TWA Teluk Youtefa berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 714. Total luasan TWA Teluk Youtefa berdasarkan data terakhir mencapai 233,12 hektar.
Adapun TWA Teluk Youtefa berada dekat Pantai Hamadi di Distrik Jayapura Selatan. Masyarakat di sejumlah kampung, seperti Enggros dan Tobati di Kota Jayapura, yang menggantungkan hidupnya dari hutan bakau di kawasan tersebut untuk mencari ikan.
”Penimbunan berpotensi menyebabkan penanaman bakau susah dilaksanakan meskipun dilakukan upaya pengerukan. Hal ini sungguh disayangkan karena bakau memiliki banyak fungsi yang sangat penting bagi masyarakat setempat. Salah satunya adalah tempat pemijahan ikan,” kata Danial.
Hal senada disampaikan Kepala BBKSDA Papua Atanasius Guntara Martana. Ia berpendapat, upaya penanaman kembali pohon bakau di lokasi tersebut kembali seperti kondisi semula membutuhkan waktu lebih dari 20 tahun.
”Kami sama sekali tidak mengetahui tujuan pembukaan hutan bakau di TWA Teluk Youtefa. Untuk penyelidikan kasus ini, kami akan berkoordinasi dengan Polda Papua dan Balai Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Papua. Pelaku yang terlibat terancam 5 tahun penjara dan denda sebesar Rp 2 miliar,” tutur Atanasius.
Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Papua Yan Ormuseray mengatakan, pihaknya bersama masyarakat adat, Pemkot Jayapura, Polda Papua, dan BBKSDA Papua telah menghentikan aksi perusakan hutan bakau di TWA Teluk Youtefa sejak Selasa (11/7/2023). Total 11 truk dan satu alat berat telah disita, sedangkan 11 sopir truk telah diperiksa dalam kasus ini.
Kami sungguh prihatin dengan aksi perusakan hutan bakau di kawasan TWA Sorong.
Ia menegaskan, aksi penebangan hutan dan penimbunan pasir di TWA Teluk Youtefa telah melanggar sejumlah regulasi yang berkaitan dengan lingkungan hidup. Salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem.
”Kami sungguh prihatin dengan aksi perusakan hutan bakau di kawasan TWA Sorong. Aksi ini sangat bertentangan dengan kebijakan nasional yang dicanangkan Presiden Joko Widodo untuk melaksanakan gerakan penanaman bakau,” kata Yan.
Inspektur Satu Irmun Jaya selaku penyidik dari Direktorat Kriminal Khusus Polda Papua mengatakan, pihaknya akan memeriksa segala pihak yang terlibat dalam pembukaan hutan bakau di kawasan TWA Teluk Youtefa. Diduga salah satu oknum pengusaha yang terlibat dalam aksi perusakan hutan bakau di TWA Teluk Youtefa tersebut berinisial S.
Tokoh perempuan dari masyarakat adat Kampung Enggros, Petronela Meraudje, menuturkan, sangat merugikan masyarakat setempat yang mayoritas berprofesi sebagai nelayan di kawasan Teluk Youtefa, yakni Tobati dan Enggros. Ia menuntut para pelaku segera mengeruk kembali pasir yang ditimbun di lokasi tersebut agar masyarakat adat Kampung Enggros dan Kampung Tobati akan melakukan kembali penanaman.
”Selama ini kami menjaga hutan bakau karena berfungsi sebagai tempat berkumpulnya ikan. Kini kehidupan masyarakat di Tobati dan Enggros yang berprofesi sebagai nelayan terancam karena semakin sulit mencari ikan akibat perbuatan para pelaku,” ujar Petronela.