Mendambakan Sinyal Telekomunikasi di Ujung Selatan Mentawai
Sebagian besar masyarakat di ujung selatan Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, masih tak tersentuh jaringan internet ataupun telepon seluler. Jaringan telekomunikasi program Bakti Kemenkominfo belum menyentuh tiap dusun.
Saat teknologi komunikasi semakin canggih, sebagian besar masyarakat di ujung selatan Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, masih tak tersentuh jaringan internet ataupun telepon seluler. Jaringan telekomunikasi program Bakti Kementerian Komunikasi dan Informatika belum mampu menjangkau setiap dusun.
Sebagaimana warga dusun lain, Marsian Himpun Samaloisa (37) dan keluarganya mesti berangkat ke Sikakap berbelanja kebutuhan keluarga. Momen kunjungan ke pusat perdagangan di Pulau Pagai Utara-Selatan itu menjadi kesempatan terbaik bagi mereka menikmati sinyal telepon dan internet dengan ponsel Android.
Kunjungan beberapa hari ke Sikakap dimanfaatkan Marsian untuk menghubungi sanak saudaranya yang merantau di Padang. Kesempatan itu juga ia gunakan untuk update status dan mengunggah foto-video kegiatan di dusun ke Facebook. Tak lupa pula ia mengunduh lagu dan film untuk dinikmati saat kembali ke rumah.
”Kalau sudah balik ke dusun, tidak ada gunanya HP lagi. Di sini tidak ada jaringan. HP cuma untuk dengar lagu dan nonton film di saat suntuk,” kata Marsian ketika dijumpai di rumahnya, Dusun Mangka Ulu, Desa Sinaka, Kecamatan Pagai Selatan, Selasa (20/6/2023).
Baca juga : Rahmat Ziki, Pak Mantri di Pelosok Mentawai
Dusun Mangka Ulu di ujung selatan Pulau Pagai Selatan belum terjangkau sinyal seluler ataupun internet. Layanan listrik PLN juga belum masuk. Untuk mengecas baterai ponsel, warga menggunakan listrik tenaga surya kapasitas kecil bantuan pemerintah ataupun genset.
Menurut Marsian, warga dusun biasanya mengakses telepon seluler dan internet saat berkunjung ke Sikakap. Di Sikakap, warga bisa mengakses jaringan E atau EDGE dari operator Telkomsel untuk telepon seluler. Sementara itu, internet hanya bisa diakses dengan membeli voucerWi-Fi dari internet satelit milik pengusaha setempat. Paling murah harga voucer itu Rp 15.000 untuk 1 GB dengan masa berlaku 24 jam.
Akses dari Dusun Mangka Ulu ke Sikakap hanya jalur laut menggunakan perahu motor dengan waktu tempuh 5-6 jam (pakai mesin 15 PK). Ongkos menumpang perahu motor ke Sikakap Rp 70.000 sekali perjalanan. Itu bukan angkutan reguler, melainkan menumpang perahu orang yang kebetulan ke Sikakap.
Adapun saat ada keperluan mendesak, kata Marsian, warga bisa mengakses sinyal telepon seluler dan internet 4G dari menara base transceiver station (BTS) Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti) di Dusun Matobat, pusat pemerintahan Desa Sinaka. Warga harus menempuh jalur laut 1,5-2 jam karena jalan darat belum terbuka.
Marsian menyebut, warga sudah lama mendamba hadirnya sinyal telepon seluler ataupun internet. Jaringan telekomunikasi sangat penting untuk berkomunikasi dengan keluarga dan mengakses informasi. Warga dusun pun seperti terisolasi dari dunia luar. Kadang sumber informasi hanya mengandalkan warga yang baru kembali dari Sikakap.
”Usulan masyarakat melalui pemerintah desa sudah ada. Sudah diusulkan juga mungkin ke atas. Entah di mana tersendatnya. Barangkali program pemerintah belum ada untuk di sini,” ujar Marsian, yang sehari-hari bekerja sebagai petani.
Warga Dusun Sinaka, Desa Sinaka, yang lebih dekat sekitar 30 menit ke pusat desa dibandingkan Dusun Mangka Ulu juga mengalami hal serupa. Sinyal telepon seluler ataupun internet serta jaringan listrik PLN belum ada di dusun bekas pusat pemerintahan desa ini.
Sutrisno Madogaho (33), warga Dusun Sinaka, mengatakan, ia biasanya mengakses telepon seluler dan internet saat di Sikakap atau di pusat desa. Kedua lokasi itu hanya bisa diakses dengan perahu motor dalam hitungan jam.
Baca juga : Jerat ”Stunting” di Pelosok Mentawai
Sebenarnya, warga Dusun Sinaka bisa mengakses internet melalui Wi-Fi poskesdes di Dusun Koritbuah, sekitar 20 menit perjalanan dengan perahu motor dan jalan kaki. Namun, kualitas internet dari program Bakti itu tak dapat diandalkan. Wi-Fi juga tidak menyala 24 jam karena tak ada listrik di poskesdes. Pun jika tenaga kesehatan sedang tugas keluar, otomatis Wi-Fi tak bisa dihidupkan.
”Jangankan untuk menelepon, kirim chat saja susah. Harus tunggu beberapa menit baru terkirim. Wi-Fi juga tidak selalu hidup. Siapa yang butuh internet, biasanya bawa bensin 1 liter atau iuran untuk hidupkan genset 1-1,5 jam,” kata nelayan penangkap gurita ini, Senin (19/6/2023).
Sutrisno melanjutkan, warga sudah sejak lama memohon kepada anggota DPRD yang berkunjung ke sana agar Dusun Sinaka dan sekitarnya punya akses telekomunikasi. Beberapa kali warga dijanjikan akan didirikan menara BTS di dusun. Walakin, itu hanya sebatas janji-janji saat kampanye.
Akses telekomunikasi ini memang masih jadi masalah. Warga mesti naik perahu ke dusun lain yang ada jaringannya.
Menurut dia, selain untuk berkomunikasi dengan sanak saudara, keberadaan sinyal telepon seluler dan internet sangat dibutuhkan untuk menjual tangkapan. Lancarnya akses komunikasi memungkinkan para nelayan untuk mencari investor atau pemodal dari luar agar usaha lebih maju dan kesejahteraan meningkat.
”Kadang-kadang kalau sudah kenal satu investor, kami dipermainkan. Investor dari luar perlu agar tidak ada monopoli. Selain itu, kami juga bisa dirikan agen di sini agar nilai jual gurita lebih tinggi. Itu semua butuh akses komunikasi yang lancar,” ujarnya.
Kepala Desa Sinaka Tarsan Samaloisa mengatakan, dari 14 dusun di desa ini, hanya tiga dusun yang punya akses komunikasi, yaitu Matobat, Kosai Bagatsagai, dan Koritbuah. Di Matobat, ada menara BTS Bakti. Di Kosai Bagatsagai ada Wi-Fi internet satelit milik pengusaha lokal dan Wi-Fi internet satelit Bakti di SMP 3 Pagai Selatan. Adapun di Koritbuah ada Wi-Fi internet satelit Bakti.
”Akses telekomunikasi ini memang masih jadi masalah. Warga mesti naik perahu ke dusun lain yang ada jaringannya. Kami berharap ada tambahan menara BTS. Satu titik lagi saja didirikan di ujung sini (sekitar Dusun Sinaka) sudah bersyukur kami. Beberapa kali kami usulkan sejak lama, tapi belum juga,” kata Tarsan, Senin (19/6/2023).
Keberadaan jaringan telekomunikasi, ujarnya, sangat urgen bagi masyarakat untuk mengakses informasi. Selain itu, wilayah Desa Sinaka juga sangat luas dengan jarak antardusun saling berjauhan dan tidak semua terkoneksi dengan jalan darat. Luas desa ini 265,87 kilometer persegi—40 persen dari luas DKI Jakarta—terluas dibandingkan tiga desa lain di Kecamatan Pagai Selatan (BPS, 2022).
Tarsan melanjutkan, ketiadaan jaringan telekomunikasi di setiap dusun membuat pengeluaran pemerintah desa membengkak. Sebagai contoh, pemerintah desa mesti mengantarkan surat undangan rapat ke setiap dusun dengan perahu motor. Jika di setiap dusun ada internet, surat undangan bisa dikirimkan via e-mail.
Ketiadaan sinyal juga berpengaruh terhadap layanan kesehatan di Desa Sinaka. Petugas kesehatan di dusun-dusun—tidak setiap dusun ada—biasanya hanya perawat atau bidan. Saat melayani pasien yang kondisinya darurat atau parah, perawat dan bidan ini butuh berkomunikasi dengan dokter di puskesmas sebelum memberi rujukan.
Baca juga : Bertaruh Nyawa di Atas Sampan demi Sekolah
Kepala Puskesmas Bulasat Erika Rumahorbo menuturkan, karena tak bisa berkonsultasi dengan dokter, tenaga kesehatan terpaksa merujuk semua pasien. Padahal, kadang ada pasien yang tak perlu dirujuk, cukup diberi obat dengan konsultasi jarak jauh dengan dokter.
Kondisi tersebut merepotkan pasien dan tenaga kesehatan. Jarak dusun ke puskesmas di Desa Bulasat, yang juga melayani Desa Sinaka ini, termasuk jauh. Jarak tempuh dari Dusun Mabolak, wilayah paling selatan Desa Sinaka ke puskesmas, misalnya, mencapai empat jam, yaitu tiga jam jalur laut ke pusat desa di Dusun Matobat, ditambah satu jam perjalanan dengan mobil ke puskesmas.
”Seandainya ada sinyal, tenaga kesehatan bisa langsung konsultasi dengan dokter tanpa pasiennya harus ke sini sehingga tak perlu banyak habis waktu dan materi. Kasian pasiennya,” kata Erika di Puskesmas Bulasat, Rabu (21/6/2023).
Secara terpisah, Kepala Bidang Informatika Dinas Komunikasi dan Informatika Kepulauan Mentawai Samuel Haratua Siswono mengakui, memang masih banyak wilayah di kabupaten ini belum terjangkau jaringan telekomunikasi.
Samuel menjelaskan, sebagian besar jaringan telepon seluler di Kepulauan Mentawai merupakan bantuan dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) melalui program Bakti. Adapun berdasarkan term of reference (TOR) Bakti, satu desa cuma dapat satu menara BTS yang ditempatkan di pusat desa.
Kendala kami di Mentawai, masyarakat desa tidak berkumpul di satu lokasi.
Jika mengacu kepada TOR Bakti, kata Samuel, setiap desa sudah terlayani menara BTS Bakti dengan sinyal 4G. Jumlah desa di Kepulauan Mentawai sebanyak 43 desa, sedangkan menara BTS bantuan Bakti sudah 51 unit. Masalahnya, sebagian besar dusun tak dapat menjangkau sinyal dari menara BTS di pusat desa.
”Kendala kami di Mentawai, masyarakat desa tidak berkumpul di satu lokasi. Desa Sinaka, misalnya, ada 14 dusun. Sesuai TOR Bakti, sudah ada satu BTS di pusat desa. Namun, karena dusunnya terpencar dan berjauhan, tidak cukup satu menara,” paparnya, Senin (3/7/2023).
Menurut dia, rata-rata desa di Kepulauan Mentawai memiliki kondisi seperti di Desa Sinaka, lokasi dusun terpencar dan saling berjauhan. Apalagi di Pulau Pagai Utara-Selatan dan Siberut Barat, banyak yang belum terjangkau sinyal. Oleh sebab itu, mesti ada perlakuan khusus di Kepulauan Mentawai agar semakin banyak warga tersentuh sinyal telekomunikasi.
”Kami beberapa kali mengajukan proposal, melalui kepala daerah juga. Harapannya, Mentawai dapat perlakuan berbeda dari daerah lain. Karena dusunnya terpisah-pisah, jauh, jangan dipatok satu desa satu menara BTS. Itu yang kami minta ke teman-teman Bakti, semoga bisa dipertimbangkan,” ujarnya.