Bertaruh Nyawa di Atas Sampan demi Sekolah
Anak-anak di daerah terpencil di Kepualaun Mentawai kesulitan mengakses sekolah hingga bertaruh nyawa. Penyediaan sekolah filial jadi alternatif di samping pembukaan akses transportasi.
Anak-anak Dusun Sinaka, Kepulauan Mentawai, saban hari bertaruh nyawa mendayung sampan ke sekolah dasar di dusun tetangga. Serangan buaya, cuaca buruk, dan risiko sampan terbalik senantiasa mengintai. Kehadiran sekolah filial yang dinanti-nanti tak kunjung tiba.
Reyhan Vicky Saogo (12) dan kawan-kawan bahu-membahu mendorong sampan di dermaga dusun. Mereka hendak menjemput rapor ke sekolah di dusun tetangga. Saat sampan mencapai air, Reyhan segera naik, disusul seorang kawan, Marjon (15). Perlahan-lahan siswa sekolah dasar itu mendayung sampan menuju selat.
Di dermaga, sembilan anak-anak SD lainnya, laki-laki dan perempuan, menunggu dan mengamati situasi. Cuaca tak begitu baik, Sabtu (17/6/2023) pagi itu. Hujan dan badai di malam hari masih menyisakan angin ribut dan gerimis di pagi hari.
Sekitar 30 meter mendayung—separuh jalan ke mulut selat—Reyhan dan kawannya kembali menepi. Ada pemilik perahu motor yang berbaik hati memberi tumpangan kepada anak-anak tersebut. Anak-anak Dusun Sinaka, Desa Sinaka, Kecamatan Pagai Selatan, ini tak jadi bertaruh nyawa pagi itu.
Akan tetapi, keberuntungan Sabtu pagi itu tak setiap hari berpihak pada Reyhan dan kawan-kawan. Kerap kali belasan anak-anak SD di Dusun Sinaka mesti bersampan sekitar satu jam dengan jarak 3,2 km melewati selat ke Dusun Koritbuah. Selanjutnya, anak-anak berjalan kaki sekitar 600 meter mendaki bukit ke SD 06 Sinaka.
”Saya naik sampan ke sekolah sejak kelas I. Biasanya berdua atau bertiga satu sampan dengan teman,” kata Reyhan, yang sudah menyelesaikan dua semester kelas V di SDN 06 Sinaka, sepulang sekolah. Ia dan siswa kelas V lainnya belum jadi menerima rapor karena guru wali kelas sudah pulang kampung.
Dusun Sinaka berada di Pulau Simatapi. Pulau ini berdampingan dengan Pulau Sinaka di sebelah utara, permukiman lama warga dusun. Dua pulau kecil ini terpisah dari Pulau Pagai Selatan di sebelah barat, daratan utama di kecamatan itu.
Perjalanan anak-anak nelayan itu menuju sekolah selalu diintai bahaya. Selat antara Pulau Simatapi, Pulau Sinaka, dan Pulau Pagai Selatan merupakan habitat buaya muara. Cuaca buruk juga bisa datang sewaktu-waktu. Belum lagi risiko sampan terbalik.
Anak-anak itu bersampan ke sekolah tak didampingi orang dewasa. Pagi-pagi, ayah-ibu mereka sudah pergi bekerja ke laut atau sawah-ladang di pulau seberang dan baru kembali saat petang.
”Kami cemas melihat anak-anak ke sekolah harus mendayung sampan. Buaya sering muncul. Tapi kami tak bisa mengantar,” kata Fitri Susanti Samaloisa (32), ibu Reyhan. Ia pun berharap kepada pemerintah agar Dusun Sinaka kembali punya SD supaya dua putrinya—adik-adik Reyhan—nanti tak harus mendayung sampan ke sekolah.
Anak-anak Elis Mawarni Samaloisa (36) juga mesti bersampan ke sekolah. Ada tiga putranya yang bersekolah di SD 06 Sinaka di Dusun Koritbuah, yaitu Oktrendi (14) kelas VI, Sumardius alias Sumar (12) kelas IV, dan Elvino (11) kelas IV (sebelum terima rapor).
Menurut Elis, selain berbahaya, sulitnya akses ke sekolah membuat pendidikan anak tidak maksimal. Tak jarang anak-anaknya bolos sekolah. Dalam sepekan, kadang hanya tiga hari ke sekolah. Bahkan saat musim badai bisa sepekan tidak sekolah.
”Sumar saja kemarin cuma sekali pergi ujian. Sampan tidak muat. Jadwal ujian Senin-Rabu, tapi hari Rabu baru pergi. Entah berapa nilai rapornya, entah naik atau tinggal kelas,” kata ibu enam anak yang tengah hamil tua ini, Sabtu (17/6/2023).
Selain karena cuaca buruk atau tidak dapat tumpangan sampan, lanjut Elis, penyebab anak-anak bolos juga karena berkurangnya motivasi. Kadang anak-anak sudah penat-penat mendayung, tiba di kelas tidak belajar karena guru tidak masuk atau terlambat.
”Sudah sering kami memohon agar sekolah diadakan lagi di sini, tetapi tidak pernah dianggarkan,” ujar Elis, yang sebelumnya sehari-hari bekerja di sawah dan ladang.
Kesulitan mengakses pendidikan dasar dialami anak-anak Dusun Sinaka sejak SD 06 Sinaka dipindah ke Dusun Koritbuah tahun 2014. Pemindahan sekolah ke permukiman baru itu seiring dengan relokasi mandiri sebagian besar warga pascatsunami Mentawai 2010. Meskipun dusun lama tak tersapu tsunami, warga khawatir karena lokasinya di pesisir.
Sejak relokasi tahun 2012 itu, Dusun Sinaka tak lagi menjadi pusat pemerintahan desa. Hanya segelintir keluarga yang tetap bertahan di sana. Walakin, lambat laun Dusun Sinaka ramai lagi. Sebagian warga yang pindah memilih kembali akibat jauhnya akses ke laut dan sawah-ladang serta krisis air di dusun baru.
Tidak hanya anak-anak SD, sebelumnya belasan anak-anak usia dini di Dusun Sinaka juga mesti mengikuti pendidikan anak usia dini (PAUD) di Dusun Koritbuah. Para ibu mesti menemani anak-anak mereka hingga menginap di rumah saudara. Pekerjaan di sawah dan ladang mau tidak mau mereka korbankan.
Untungnya, setahun terakhir, PAUD filial dibuka di Dusun Sinaka, hasil kerja sama Yayasan Citra Mandiri (YCM) Mentawai, pemerintah desa, dan Dinas Pendidikan Kepulauan Mentawai. Dua fasilitator YCM Mentawai secara sukarela menjadi guru PAUD yang berlokasi di mes yayasan tersebut.
Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Sinaka, Idris Maulana, mengatakan, keberadaan SD di dusun sangat mendesak. Pemerintah semestinya tak membiarkan anak-anak bertaruh nyawa bersampan ke sekolah.
Saat ini, kata Idris, ada sekitar 20 anak usia SD di Dusun Sinaka, tetapi tidak semuanya sekolah. ”Banyak anak Dusun Sinaka yang putus sekolah,” kata pria, yang bekerja sebagai pengepul gurita, lobster, teripang, dan hasil laut lainnya di Dusun Sinaka, Minggu (18/6/2023).
Putri Idris dulunya juga sempat bersekolah di SD 06 Sinaka. Setiap hari, Idris mesti mengantar-jemput anaknya dengan perahu motor. Namun, karena tuntutan pekerjaan, ia tak bisa melakukan itu setiap hari. Sejak 2020, sang anak ia pindahkan sekolah ke pusat kota di Sikakap.
Menurut Idris, ia bersama orangtua lainnya di Dusun Sinaka sejak 2020-2021 telah mengusulkan SD filial, setidaknya untuk kelas I-III. Sudah ada pembicaraan antara kepala desa, kepala sekolah, koordinator wilayah (korwil) pendidikan, dan lainnya. Dinas Pendidikan Kepulauan Mentawai pun menyetujui usulan pembukaan sekolah filial ini.
”Terakhir, surat keputusan dinas pendidikan menyebutkan, 1 Januari 2023 akan dibuka SD filial di Dusun Sinaka, tetapi belum ada realisasinya,”ujar Idris. Hal ini mengecewakan, padahal warga sudah membenahi bekas kantor Desa Sinaka untuk bangunan SD filial.
Kepala Desa Sinaka Tarsan Samaloisa mengatakan, sangat prihatin dengan kondisi yang dialami anak-anak di Dusun Sinaka. Pemerintah desa beberapa kali berbicara dengan kepala cabang dinas pendidikan, korwil pendidikan, dan kepala dinas pendidikan untuk mencari solusi.
”Salah satu solusinya adalah sekolah filial. Pembentukan SD filial di Dusun Sinaka. Tetapi sampai sekarang belum juga ada lanjutan atau realisasinya. Ini sangat kami sayangkan,” katanya, Senin (19/6/2023).
Menurut Tarsan, dari 14 dusun di Desa Sinaka, ada dua dusun yang tidak punya SD. Selain Dusun Sinaka, juga ada Dusun Matotonan, yang anak-anaknya mesti bersekolah ke SD 06 Sinaka. Sementara itu, dusun lainnya, Mangka Baga, punya gedung SD filial, tetapi kekurangan guru.
Kepala Divisi Informasi, Komunikasi, dan Kampanye Yayasan Citra Mandiri Mentawai Yuafriza mengatakan, kesulitan mengakses sekolah tidak hanya terjadi di Dusun Sinaka. Kondisi itu rata-rata juga terjadi di pedalaman Pulau Siberut, Pulau Pagai Utara-Selatan, dan sebagian Pulau Sipora, kecuali di pusat-pusat kecamatan.
Di Dusun Sibudda Oinan, Kecamatan Siberut Tengah, anak-anak SD, SMP, dan SMA mesti berjalan kaki lebih dari 1 jam menuju sekolah ke pusat kecamatan di Desa Saibi Samukop. Begitu pula dengan anak-anak di Dusun Simoilaklak, mesti jalan kaki 1 jam. ”Tidak ada transportasi reguler di sana. Jalannya jalan P2D dari tanah. Yang punya motor, bisa pakai motor kalau jalannya kering,” kata Yuafriza.
Yuafriza menjelaskan, pendidikan adalah hak warga negara. Layanan dasar ini harus dipenuhi pemerintah. Persoalan di Kepulauan Mentawai, wilayahnya sangat luas dengan permukiman penduduknya yang terpencar-pencar. Jangankan antardesa, antardusun saja jaraknya jauh dan kebanyakan tidak terhubung jalan darat.
Sementara itu, lokasi sekolah berada di pusat desa dan kecamatan. Dampaknya, siswa di luar itu harus berjalan kaki ke sekolah atau naik sampan kalau tidak ada jalan. Pilihan lain kos atau tinggal di asrama yang disediakan pemerintah desa meskipun jarang.
Menyediakan sekolah filial untuk SD dari kelas I-III atau I-IV, kata Yuafriza, bisa jadi alternatif untuk mengatasi daerah terpencil, seperti ini. Dengan demikian, anak-anak kecil tidak terpaksa harus terpisah dari orangtua untuk sekolah di pusat desa karena harus mengekos.
Sebagai contoh, YCM Mentawai dulu punya beberapa sekolah hutan (semacam SD filial) di Pulau Siberut untuk tempat belajar anak-anak di pedalaman. Salah satu sekolah ini di Dusun Tinambu, Desa Saliguma, Kecamatan Siberut Tengah, misalnya, sudah diserahkan pengelolaannya ke Dinas Pendidikan Kepulauan Mentawai.
”Selain itu, tentu jalan harus segera dibangun dan disediakan transportasi publik sehingga layanan pendidikan bisa inklusi dan dinikmati semua masyarakat Mentawai, terutama di pedalaman,” ujarnya.
Kepala Dinas Pendidikan Kepulauan Mentawai Oreste Sakeru mengakui, anak-anak di sejumlah lokasi di kabupaten ini, termasuk di Dusun Sinaka, masih kesulitan mengakses sekolah. Ada yang mesti mendayung sampan, berjalan kaki berjam-jam, dan sebagainya. Itu merupakan tantangan layanan pendidikan di daerah kepulauan.
Menurut Oreste, dinas akan membuka sekolah filial di lokasi tersebut. Selain jumlah siswa belum memadai untuk mendirikan sekolah biasa, sekolah filial merupakan solusi paling cepat untuk melayani kebutuhan anak-anak.
”Jawabannya, memang harus kami buka sekolah filial. Walaupun biayanya besar dan berat, itu mesti dilakukan karena ada amanat undang-undang. Tidak boleh satu warga pun yang tidak terlayani pendidikannya. Solusi sementara itu, sembari menunggu akses transportasi darat terbuka (ke sekolah induk),” kata Oreste, Senin (26/6/2023).
Untuk kasus di Dusun Sinaka, Oreste menjelaskan, dinas segera membuka SD filial untuk kelas rendah atau kelas I-III. ”Belum di tahun ajaran ini (Juli 2023), tetapi kami usahakan Januari 2024. Kami harus siapkan lokal, gedung lama mungkin masih kami rehab,” ujarnya.
Oreste menambahkan, jumlah SD di Kepulauan Mentawai saat ini 134 SD, termasuk 7 SD swasta. Masih dibutuhkan 20-30 SD lagi agar memenuhi aspek keamanan dan kenyamanan siswa. Walakin, kebutuhan itu tidak segera bisa direalisasikan, tetapi disesuaikan dengan skala prioritas.