Pembukaan Lahan Masif Ditengarai Picu Banjir di Kolaka
Banjir kali ini diduga kuat imbas pembukaan lahan skala besar yang telah berlangsung puluhan tahun di wilayah Kolaka, Sultra. Wilayah hutan dan daerah resapan telah terbuka untuk perkebunan sawit dan pertambangan.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·3 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Banjir yang menerjang belasan desa di wilayah Kolaka, Sulawesi Tenggara, berangsur surut. Meski tidak ada korban jiwa, banjir merendam 13 desa di tujuh kecamatan dengan sejumlah titik longsor. Pembukaan lahan skala masif untuk perkebunan sawit hingga pertambangan ditengarai menjadi pemicu banjir kali ini.
”Kondisinya, air sudah surut dan warga mulai kembali beraktivitas membersihkan dampak banjir. Kami dan tim lainnya masih melakukan pendataan dan penanganan darurat di lapangan, utamanya akses dan kebutuhan utama masyarakat,” kata Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kolaka Syafar Baso Rantegau, dihubungi dari Kendari, Rabu (5/7/2023).
Berdasarkan data sementara, 13 desa dengan ribuan jiwa terdampak bencana banjir yang terjadi pada Selasa (4/7/2023). Belasan desa ini terletak di Kecamatan Wolo, Kolaka, Wundulako, Tanggetada, Polinggona, Watubangga, dan Baula.
Meski begitu, dampak paling besar terlihat di Kecamatan Polinggona. Ketinggian air lebih dari 1,5 meter dengan aliran yang deras. Banjir juga mengakibatkan beberapa ruas jalan terputus hingga jembatan roboh.
Menurut Syafar, banjir di sejumlah wilayah ini terjadi karena curah hujan yang tinggi dengan durasi cukup lama. Debit air sungai tidak tertampung sehingga melimpas dan merendam permukiman dan persawahan warga.
Kondisi air semakin tinggi karena bersamaan dengan pasang air laut di Teluk Bone. Akibatnya, air tertahan di tengah dan tidak mengalir ke muara. Sekitar 10 jam setelahnya, air mulai surut.
”Tapi juga tidak bisa dimungkiri adanya dampak dari perkebunan sawit yang berada di sekitar wilayah ini, meski pengaruhnya mungkin sekitar 10 persen. Karena kondisi sungai mengalami pendangkalan dan daerah resapan yang berkurang. Untuk pertambangan tidak dekat di Polinggona,” katanya.
Bencana hidrometeorologi menimpa wilayah Kolaka pada Selasa sejak dini hari. Tidak hanya banjir, bencana longsor juga terjadi di wilayah ini. Longsor membuat akses jalan Kolaka-Kendari di Kilometer 11 terputus pada Selasa pagi. Bidang jalan tertutup longsoran tanah. Meski begitu, longsor ini telah ditangani dan jalan kembali bisa dilalui kendaraan sekitar pukul 10.00 Wita.
Beberapa rumah warga juga terdampak longsoran tanah di sejumlah titik. Dua rumah warga di Kecamatan Watulondo rusak sedang akibat longsor dari tebing di sekitar tempat tinggal mereka.
Rahmad Hidayat (33), warga Desa Tanggebura, Watubangga, menuturkan, banjir kali ini merupakan yang terparah di wilayahnya. Meski dalam beberapa tahun terakhir terjadi banjir, ketinggian air hanya sekitar 20 sentimeter dan tidak berlangsung lama.
”Sudah ini banjir terparah. Soalnya di daerah hulu itu sudah terbuka semua dan menjadi perkebunan sawit. Dan sejak sawit masuk 2007 lalu, mulai tambah sering terjadi banjir,” katanya.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sultra Andi Rahman menjelaskan, banjir yang merendam belasan desa di tujuh kecamatan di Kolaka ini diduga kuat imbas pembukaan lahan skala besar yang telah berlangsung puluhan tahun. Wilayah hutan, daerah resapan, mulai dari hulu hingga pesisir, telah terbuka untuk sektor pertambangan dan kelapa sawit.
Kami kira dua sektor ini, yaitu perkebunan sawit dan pertambangan, berperan besar terhadap kerusakan ekologis di wilayah Kolaka.
Hal ini menyebabkan sedimentasi dari pembukaan lahan, yang lalu terbawa dan mengendap di sungai. Akibatnya, sungai menjadi dangkal dan tidak mampu menampung debit air ketika curah hujan sedang tinggi. Air pun melimpas dan merendam permukiman dan persawahan warga.
”Kami kira dua sektor ini, yaitu perkebunan sawit dan pertambangan, berperan besar terhadap kerusakan ekologis di wilayah Kolaka. Dampaknya, daerah yang tidak pernah terdampak banjir parah kali ini mengalaminya. Pemerintah tidak boleh menutup mata dan (diharapkan) segera mengambil langkah penanganan agar kondisi ini tidak semakin memburuk,” ucapnya.