Tradisi ”Brandu” Diduga Ikut Picu Penularan Antraks di Gunungkidul
Penularan antraks di Gunungkidul diduga terkait dengan tradisi ”brandu”. Dalam tradisi itu, warga mengumpulkan iuran untuk pemilik ternak yang mati atau sakit, lalu daging hewan tersebut dibagikan untuk dikonsumsi.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·3 menit baca
WONOSARI, KOMPAS — Penularan antraks pada manusia di Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, diduga ikut dipengaruhi tradisi brandu yang kerap dilakukan warga saat ada hewan ternak mati atau sakit. Butuh upaya khusus untuk menghentikan praktik ini agar tidak memakan korban jiwa lainnya di kemudian hari.
Brandu merupakan tradisi mengumpulkan iuran untuk diserahkan pada pemilik ternak yang mati atau sakit. Daging hewan itu lantas dibagikan kepada orang-orang yang mengumpulkan iuran.
”Itu (tradisi brandu) adalah salah satu yang membikin kita enggak berhenti-henti ada antraks,” kata Kepala Bidang Kesehatan Hewan di Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Gunungkidul Retno Widyastuti, Rabu (5/7/2023), di Gunungkidul.
Sebelumnya diberitakan, terjadi penularan antraks di Dusun Jati, Desa Candirejo, Kecamatan Semanu, Gunungkidul. Pada 4 Juni 2023, seorang warga Dusun Jati meninggal di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr Sardjito, Kabupaten Sleman, DIY. Berdasarkan hasil tes, warga tersebut terkonfirmasi positif antraks.
Setelah itu, sebanyak 143 warga telah dilakukan pemeriksaan serologi untuk mengetahui apakah mereka tertular antraks atau tidak. Hasilnya, sebanyak 87 orang dinyatakan positif antraks. Namun, rata-rata dari mereka tidak mengalami gejala apa-apa.
Retno menjelaskan, tradisi brandu sudah dikenal lama di Gunungkidul. Dia menyebut, tradisi itu sebenarnya memiliki tujuan baik, membantu warga yang ternaknya mati agar tidak menderita kerugian sangat besar. Namun, tradisi tersebut berpotensi membahayakan kesehatan. Ternak mati bisa saja menularkan penyakit.
Kepala Desa Candirejo, Renik David Warisman, mengatakan, sebelum munculnya kasus antraks di Dusun Jati, memang ada warga setempat yang melakukan brandu. Menurut David, tradisi brandu merupakan bentuk simpati masyarakat terhadap tetangga yang ternaknya mati.
“Kalau para petani itu tabungannya hewan ternak itu. Sehingga kalau ternaknya mati itu musibah. Jadi, untuk meringankan beban dari pemilik ternak yang mengalami musibah, caranya seperti itu,” katanya.
Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Gunungkidul Wibawati Wulandari mengatakan, penularan antraks di Dusun Jati diduga terjadi karena warga mengonsumsi daging sapi yang sakit. Dia menambahkan, ada beberapa ekor sapi di Dusun Jati yang sakit, lalu mati.
Namun, warga tetap nekat mengonsumsi daging sapi yang telah mati itu. Bahkan, Wibawati menyebut, ada sapi yang mati dan telah dikubur sesuai dengan prosedur standar operasi (SOP). Namun, bangkainya digali lagi. Dagingnya lalu dikonsumsi sebagian masyarakat.
Kita akan lakukan upaya-upaya ke depan yang bisa meringankan beban saudara-saudara kita yang hewan ternaknya sakit atau mati
Wakil Bupati Gunungkidul Heri Susanto mengatakan, pihaknya berulang kali meminta masyarakat tidak mengonsumsi daging hewan ternak yang sakit atau mati. Namun, dia mengakui, masih ada warga yang melakukan brandu karena merasa sayang dengan hewan ternak yang mati.
“Kalau sosialisasi saya pikir sudah terus-menerus. Kawan-kawan dari Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan sudah mengedukasi dan mensosialisasikan agar hewan ternak yang sakit itu tidak dibrandu, tidak dikonsumsi,” ujar Heri.
Selain sosialisasi, Heri menambahkan, harus ada upaya untuk meringankan beban warga yang hewan ternaknya sakit atau mati. Hal ini agar masyarakat tidak lagi melakukan tradisi brandu yang bisa membahayakan kesehatan.
“Kita akan lakukan upaya-upaya ke depan yang bisa meringankan beban saudara-saudara kita yang hewan ternaknya sakit atau mati,” tuturnya.