Jangan sampai harum tanaman aromatis seperti yang pernah dihirup Louis de Bougainville sekitar tiga abad silam itu bisa hilang selamanya. Mari, menjaga agar harumnya jangan sampai hilang ditelan tambang.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
Hamparan pohon kayu putih (Melaleuca cajuputi) membentang sejauh mata memandang kala menyusuri pinggiran permukiman Namlea, ibu kota Kabupaten Buru, Provinsi Maluku, suatu siang pada Juni 2023. Melalui olahan minyaknya, tanaman itu memberi keberkahan bagi banyak orang selama berabad-abad.
Louis de Bougainville, penjelajah Perancis yang mengelilingi dunia antara November 1766 sampai Maret 1769, pernah mengalami keberkahan itu. Ia memberi catatan berjudul ”Berkat di Buru” sebagaimana dirangkum George Miller dalam buku berjudul Indonesia Timur Tempo Doeloe.
Louis menceritakan bahwa mereka menghirup aroma harum yang menyenangkan berasal dari tanaman aromatis yang tak lain adalah minyak kayu putih. Minyak dari hasil penyulingan tanaman kayu putih itu dipakai untuk menyembuhkan lebih dari separuh anak buah kapal yang ia pimpin. Mereka terserang penyakit kulit dan kelamin.
Dalam persinggahannya di Pulau Buru selama enam hari ini, ia mendapati pabrik penyulingan minyak kayu putih di kota kecil bernama Cajeli yang kini dikenal dengan nama Kayeli. Rombongan Louis kemudian bertolak ke Batavia, pusat kekuasaan Pemerintah Kolonial Belanda saat itu.
Pabrik minyak itu oleh masyarakat Pulau Buru dinamakan ketel. Juni 2023 lalu, ketel dijumpai di beberapa tempat di Pulau Buru. Salah satunya di Desa Lala, Kecamatan Namlea, yang dikelola oleh Weni (41) bersama keluarga selama belasan tahun terakhir.
Di tempat itu terdapat dua tungku yang masing-masing mengusung satu tong. Tampak proses penyulingan baru saja dimulai. Setiap tong berisi 250 kilogram daun kayu putih dicampur air lebih kurang 100 liter. Api terus menyalah dari tungku untuk memanaskan tong tersebut.
Setelah satu jam, mulailah tetesan pertama dari hasil penyulingan. Tetes demi tetes terus keluar hingga tetes terakhir sekitar 6 jam kemudian. Setiap tong menghasilkan sekitar 1,86 liter minyak kayu putih yang siap digunakan. Jika dijual, harga keseluruhan minyak kayu putih itu Rp 450.000.
Proses pengolahan mulai dari pengumpulan daun. Sebagian daun dibawa oleh buruh atau pemilik lahan tempat kayu putih tumbuh. Hasil pengolahan dibagi dua dengan penyedia daun. ”Mulai dari persiapan daun sampai selesai itu butuh waktu tiga hari,” ucap Weni.
Industri lanjutan
Minyak kayu putih itu kemudian oleh industri lanjutan dikemas ke dalam ukuran yang berbeda. Harga jual hampir tiga kali lipat dari pabrik penyulingan. Hingga kini, permintaan pasar masih tinggi.
Ketika pandemi Covid-19 merebak di Tanah Air 2020-2023, banyak orang berburu minyak kayu putih. Di tingkat pabrik penyulingan, harganya naik hingga dua kali lipat. ”Ada yang datang setor uang lebih dulu. Waktu itu katanya minyak kayu putih dapat membunuh virus korona,” tutur Weni.
Banyak masyarakat Indonesia menggunakan minyak kayu putih untuk mengatasi masalah kesehatan, seperti flu, demam, masuk angin, dan sekadar menghangatkan badan. Minyak kayu putih dapat digunakan untuk semua kelompok umur sesuai takaran. Penggunaannya dengan cara digosok atau ukup.
Mengutip dari laman resmi Pemerintah Kabupaten Buru, tanaman kayu putih yang tumbuh di Pulau Buru mencapai 122.000 hektar. Luas areal itu setara dengan 11,03 persen dari total luas Pulau Buru. Tak heran apabila ada orang yang menjuluki Pulau Buru sebagai ”Pulau Kayu Putih”.
Karakter tanaman itu dapat tumbuh liar di tanah berbatuan yang tandus. Tanaman tersebut tetap mengeluarkan tunasnya kendati pernah terbakar berkali-kali. ”Bahkan ada yang dipotong kemudian digali akarnya, tapi kalau ada sepotong akar yang masih tertinggal, pasti tumbuh lagi,” ucap Dimas (34), warga Pulau Buru.
Pada saat pengambilan data sekitar 18 tahun silam oleh Universitas Pattimura Ambon, produksi minyak kayu putih di Pulau Buru masih tinggi. Dalam satu tahun, produksinya mencapai 333,3 ton. Minyak yang diproduksi secara sporadis oleh masyarakat itu dijual ke pengumpul hingga ke industri farmasi untuk diproses lalu dijual ke pasar.
Hasil kerja tambang satu minggu bisa sama dengan hasil kerja minyak kayu putih selama satu tahun. Maka, saya memilih di sini. (Samsudin)
Sekretaris Daerah Kabupaten Buru Ilias Hamid mengatakan, pemerintah mendorong pengolahan minyak kayu putih terus dikembangkan oleh pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Dukungan melalui bantuan modal secara langsung maupun difasilitasi ke jalur perbankan lewat kredit usaha rakyat.
Disadari, sejak dulu, pengolahan minyak kayu putih oleh masyarakat Pulau Buru masih sebatas di tahap penyulingan. Mereka hanya sebagai pemasok bahan baku minyak. Keuntungan yang lebih besar malah didapat oleh pengepul hingga industri farmasi yang semuanya beroperasi di luar Pulau Buru.
Para pengusaha sebagian menggunakan nama Pulau Buru sebagai merek dagang. Mereka memanfaatkan nama besar daerah itu yang melegenda dengan kayu putihnya. Namun, ada pula yang sengaja tidak menyebutkan. Sementara di sisi lain, kontribusi pengolahan minyak kayu putih ke pendapatan daerah nyaris nihil.
Pengaruh tambang
Merasa manfaat ekonomi yang diterima tidak sebanding, banyak warga yang menyuling minyak memilih berhenti. Mereka beralih menjadi pekerja tambang yang berlokasi di pulau itu. Namanya tambang emas liar Gunung Botak, sekitar 2 jam perjalanan darat dari Namlea. Tambang emas ilegal itu mulai beroperasi pada 2011.
”Hasil kerja tambang satu minggu bisa sama dengan hasil kerja minyak kayu putih selama satu tahun. Makanya, saya memilih di sini,” ujar Samsudin (45), buruh tambang saat ditemui di Gunung Botak pada Juni 2023. Samsudin tak lagi menyuling minyak kayu putih sejak 2014.
Kini, banyak ketel yang berdiri di dekat hutan tanaman kayu putih tidak terawat sehingga produksi minyak kayu putih terus berkurang. Belum ada data terbaru mengenai jumlah produksi minyak kayu putih sejak tambang mulai beroperasi di Pulau Buru.
Tantangan lain adalah tidak ada regenerasi untuk penyulingan minyak kayu putih. Rata-rata pekerja saat ini berusia di atas 40 tahun, sementara kebanyakan anak muda memilih ke tambang. Mereka yang bertahan itu pun lantaran tak punya banyak pilihan. Bekerja di tambang memang menggiurkan, tetapi berisiko tinggi. Mereka memilih bertahan.
Berkurangnya penyulingan minyak kayu putih menjadi kabar tak sedap, terutama bagi para pencintanya. Dikhawatirkan jangan sampai harum tanaman aromatis seperti yang pernah dihirup Louis de Bougainville sekitar tiga abad silam itu bisa hilang selamanya. Mari, menjaga agar harumnya jangan sampai hilang ditelan tambang.