Saat Bapak Ditangkap dan Dituduh Mencuri di Kebun Sendiri
Sukemi, Sri Sukatmi, dan Sedar kini punya peran ganda sejak suami mereka ditangkap polisi. Mereka jadi bapak sekaligus ibu bagi anak-anak mereka yang masih bingung ayahnya ditangkap karena mencuri di kebun sendiri.
Sebulan lebih Sukemi (60) berperan ganda di dalam rumah. Sejak suaminya ditangkap polisi karena dituduh mencuri sawit di kebunnya sendiri, Sukemi dan dua perempuan lain yang bernasib sama harus bekerja di ladang sembari mengurus anak dan menjaga dapur tetap mengepul. Mereka hanyalah dampak dari konflik lahan antara warga dan perusahaan perkebunan yang berkepanjangan.
Sukemi baru pulang dari ladang, Senin (19/6/2023) sore, wajahnya penuh keringat karena berjalan 7-8 kilometer dari ladang ke rumahnya di Desa Kinjil, Kecamatan Kotawaringin Lama, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Desa itu memang tak jauh dari kebun perusahaan perkebunan sawit sehingga jalan pergi maupun pulang mereka melintasi jalan perusahaan.
Sukemi tak sendiri, ia bersama menantunya, Sri Sukatmi (32), dan kerabatnya, Sedar (50). Ketiganya menghabiskan banyak waktu di ladang sejak pagi hari. Sampai di rumah ketiga orang itu tak langsung bebersih diri. Mereka harus menyiapkan makanan untuk anak-anak mereka. Belum selesai nasi disantap, tamu berdatangan dari luar desa.
”Dulu kalau ke ladang itu kan sama bapak, tetapi sekarang bapak di penjara ya semuanya saya yang kerjakan, di ladang sampai di rumah,” ungkap Sukemi.
Wajah muram tak bisa mereka sembunyikan. Sukemi masih tak percaya suaminya, Aleng, dipenjara oleh polisi. Tak hanya suami, polisi juga menangkap anak semata wayangnya, Suwadi yang merupakan suami dari Sri Sukatmi.
Sukemi mengingat kembali hari itu, 27 April 2023 pagi hari. Suaminya bersama anak dan kerabatnya pamit ke kebun untuk memanen sawit seperti biasa. Usai memanen, mereka kembali ke rumah masing-masing. Sukemi sempat membuatkan makan siang untuk Aleng. Tak lama di rumah Aleng pamit ke ladang lagi untuk berburu tupai untuk makan malam.
Namun, sejak saat itu Aleng tak kembali. Aleng ditangkap di kebunnya sendiri saat sedang berburu. Sukemi bingung suaminya tak pulang dan hanya bisa berdiam diri di rumah. Semalam lewat, polisi datang ke rumah Sukemi hendak mencari Suwadi dan Maju.
Suwadi dan Maju ditangkap di rumah mereka sehari setelah peristiwa memanen buah sawit. Saat itu bahkan polisi menangkap dan menahan dua keponakan Aleng, Siar dan Jaka yang masih berumur 16 tahun. Setelah dua hari ditahan dan sempat dibotaki di Polres Kotawaringin Barat, Siar dan Jaka dipulangkan karena masih di bawah umur.
Aleng Sugianto (58), Suwadi (40), dan Maju (51) ditahan dan dipenjara di Polres Kotawaringin Barat atas tuduhan secara bersama-sama mencuri buah sawit milik PT Bumitama Gunajaya Abadi (BGA). Setidaknya, dari keterangan polisi, ketiga orang itu merugikan perusahaan perkebunan sawit sebesar Rp 2,9 juta.
Aleng, Suwadi, dan Maju merupakan tulang punggung keluarga. Istri dan anak mereka tentunya berharap penuh pada mereka. Sri Sukatmi, istri Suwadi sampai saat ini bekerja serabutan sambil mengurus ladang dan juga anak-anaknya yang masih SMP dan berusia enam tahun.
Di ladang yang cukup jauh dari rumah itu, Sri harus menyadap karet sambil mencari bahan makanan untuk dirinya dan keluarga. ”Anak-anak itu sudah tahu bapaknya berurusan sama hukum tetapi terus bertanya kapan bapak pulang, sampai sekarang saya bingung mau jawab gimana,” ungkap Sri, Minggu (25/6/2023).
Kompas menelusuri lahan tempat Aleng dan rekan-rekannya memanen buah sawit. Melewati jalan perkebunan sawit PT BGA, ladang milik Aleng berada tak jauh dari salah satu pintu keluar perusahaan, 2-3 km. Sepanjang perjalanan, pohon sawit dengan tinggi 5-7 meter berdiri di pinggir jalan. Begitu tiba di ladang Aleng, kawasan itu terlihat berbeda dengan kawasan perusahaan yang hanya menanam sawit dan ditanam begitu rapi berbaris.
Kebun Aleng tak hanya berisi pohon sawit, di dalamnya terdapat beberapa tanaman lain mulai dari karet dan tanaman kayu keras juga buah-buahan. Semak belukar juga ada di sela-sela baru pohon sawit. Sukemi dan Sri yakin tanah itu merupakan tanah milik mereka karena memiliki Surat Kepemilikan Tanah (SKT) yang terdaftar sejak 2020 dengan nomor 539.011/KJL/IV/2020. Bahkan, Sukemi masih ingat betul bagaimana tanah warisan itu bisa sampai di tangan Aleng diberikan oleh pendahulu mereka.
Di kebun itu, Sri dan Sukemi menunjukkan pondok kayu using yang merupakan tempat tinggal mereka. Pondok itu, sejak ditinggalkan, berfungsi sebagai gudang untuk menyimpan hasil bumi Aleng dan keluarga. Kini pondok kayu itu kosong karena belum ada hasil yang didapat dari kebun.
Kebun plasma
Sukemi bercerita jika lahan itu pada 2008 didaftarkan masuk dalam kebun plasma atau kemitraan dengan PT BGA melalui Koperasi Kompak Maju Bersama. Namun, sejak sawit ditanam di kebun itu dan 640 hektar kebun warga lainnya, Sukemi dan Aleng tidak pernah menerima satu sen pun uang bagi hasil dari perusahaan. Menurut Sukemi, Aleng tidak senang dengan syarat yang diajukan perusahaan dan hasil yang terlalu kecil dan meminta keluar dari kerja sama.
Namun, tanah tetap ditanam sawit oleh perusahaan dan hasilnya tetap diambil. Aleng, dan kawan-kawan pernah melaporkan hal itu ke Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) pada 2016. Ia juga meminta kepada koperasi agar lahannya dikeluarkan dari kemitraan atau kebun plasma pada 2020 dibuktikan dengan kesepakatan dengan pemerintah desa dan koperasi.
Menurut Aleng, dengan adanya kesepakatan keluar dari kerja sama plasma tanah itu ia kelola kembali sejak 2020, termasuk memanen buah sawit yang ada di dalamnya.
Dengan adanya kesepakatan keluar dari kerja sama plasma tanah itu ia kelola kembali sejak 2020, termasuk memanen buah sawit yang ada di dalamnya
Menanggapi hal tersebut, Corporate Affair PT BGA Jauhari Mahkrus saat ditemui di Pangkalan Bun mengaku melaporkan Aleng dan kawan-kawan karena sudah beberapa kali memberikan peringatan. Baginya, pelaporan ke polisi itu akan memberikan efek jera sehingga tidak merugikan anggota plasma lainnya yang sudah bekerja sama sekian lama dengan perusahaan.
Jauhari pun membenarkan Aleng dan keluarga tidak menerima hasil atau uang dari kebun plasma itu. Namun, bukan karena perusahaan atau koperasi tidak memberikannya, melainkan karena, menurut Jauhari, Aleng telah menjual kepemilikan tanah itu kepada orang lain. Argumentasi ini tidak pernah dibenarkan oleh Aleng pun keluarganya sendiri.
”Aleng sudah mendapatkan kavling plasma miliknya tetapi sudah dijual. Praktik jual-beli di bawah tangan itu kerap terjadi di kebun plasma. Kami sebenarnya sudah melarang,” ungkap Jauhari.
Maksud Jauhari dengan praktik jual-beli tanah itu bukan Aleng menjual tanahnya, melainkan menjual haknya dalam plasma. Dengan demikian, penerima hasil kebun plasma bukan lagi Aleng, melainkan orang lain yang mengaku sudah membeli hak plasma dari Aleng.
Sayangnya, Jauhari belum bisa menunjukkan apakah tanah yang sudah dijual Aleng itu merupakan lahan tempat Aleng memanen sawit atau bukan. ”Dalam pengertian kami iya (itu tanah tempat Aleng memanen),” katanya.
Jauhari menjelaskan, pihaknya sudah menjalankan kewajiban perusahaan terhadap masyarakat di sekitar perkebunan. Menurut dia, ketika lahan sudah dikerjasamakan dan hak-hak sudah diberikan anggota koperasi, seperti Aleng dan kawan-kawan, tidak bisa serta-merta keluar dari kesepakatan. Jauhari mengakui bahwa dirinya tahu jika ada surat kesepakatan dari desa ke Aleng soal keluar dari kerja sama, tetapi surat itu bermasalah karena salah satu tim desa mengaku tanda tangannya dipalsukan.
”Jangan dulu dipersepsikan perusahaan zalim dulu. Kalau perusahaan yang dizolimi masyarakat, wajar dong kami, perusahaan, protes,” ungkap Jauhari.
Aleng kini sudah menjadi tahanan kejaksaan. Kasusnya telah dilimpahkan. Ia diduga mencuri sawit perusahaan dengan total kerugian Rp 2,9 juta dan dituntut 7 tahun penjara sesuai dengan Pasal 363 Ayat 1 ke 4 KUHP.
Kepala Seksi Tindak Pidana Umum Kejaksaan Negeri Kotawaringin Barat Yudhi Satriyo Nugroho menjelaskan, terlepas dari persoalan lahan, Aleng dan kawan-kawan mengakui bahwa tanaman sawit yang ada di kebun tersebut merupakan milik perusahaan. Selain itu, bukti-bukti yang ditunjukkan penyidik juga ia nilai sudah memenuhi unsur pencurian secara bersama-sama dalam peristiwa tersebut.
Ketika ditanya soal restorative justice, Yudhi menjelaskan, hal itu tidak bisa dilakukan lantaran kerugian yang dihasilkan atas perbuatan pelaku lebih dari Rp 2,5 juta dan tuntutannya di atas 5 tahun penjara. ”Kami hanya fokus pada berkas yang dilimpahkan ke kami,” ujarnya.
Yudhi menjelaskan, dalam waktu dekat pihaknya akan melimpahkan kasus tersebut dan berlanjut ke persidangan. Aleng dan kawan-kawan akan menghadapi tuntutan penjara 7 tahun karena mencuri dari tanahnya sendiri.
Konflik lahan selalu menghiasi warga di sekitar perkebunan sawit di Kalimantan Tengah. Sukemi, Sri, dan Sedar hanyalah beberapa orang yang terkena dampak luar biasa dari konflik lahan yang seharusnya bisa diselesaikan dengan pikiran terbuka dan hati yang lapang.