Pengelolaan Tambang Legal Berbasis Lingkungan Perlu Segera Dilakukan di Gunung Botak
Saatnya negara mengambil alih tata kelola penambangan liar di Gunung Botak, Maluku. Berton-ton emas dieksploitasi secara tidak bertanggung jawab. Kerusakan lingkungan pun kini ada di depan mata.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·4 menit baca
NAMLEA, KOMPAS — Penambangan emas liar di Gunung Botak, Pulau Buru, Maluku, telah berlangsung selama lebih kurang 12 tahun. Berton-ton emas telah dieksploitasi secara tidak bertanggung jawab. Kerusakan lingkungan yang ditimbulkan pun sangat parah. Pengelolaan tambang legal yang memperhatikan lingkungan perlu segera dilakukan demi menyelamatkan kawasan tersebut.
Dalam catatan Kompas, tambang emas liar itu dimulai sejak tahun 2011. Para petambang serta penyandang dana yang kebanyakan datang dari luar Maluku itu menggunakan bahan berbahaya, seperti merkuri dan sianida, untuk untuk mengolah emas. Terjadi kerusakan lingkungan yang sangat parah akibat kegiatan ilegal itu.
Sekitar empat tahun setelah beroperasi, tepatnya pada Mei 2015, Presiden Joko Widodo memerintahkan agar tambang itu segera ditutup. Perintah lisan dikeluarkan setelah Presiden mendapat laporan ketika berkunjung ke Pulau Buru. Lokasi kunjungan kala itu berada tak jauh dari Gunung Botak.
Sekitar enam bulan setelah Presiden kembali, mulai dilakukan penertiban. Selanjutnya operasi penertiban digelar puluhan kali, tetapi penyandang dana dan petambang selalu saja kembali. Hingga Kamis (22/6/2023), jumlah petambang diperkirakan 13.000 orang.
Untuk mencari solusi, pada Kamis siang berlangsung pertemuan sejumlah pihak di Desa Dava, kaki Gunung Botak. Pihak dimaksud di antaranya MIND.ID selaku perusahaan induk (holding) BUMN pertambangan, perwakilan dari BUMN, PT Aneka Tambang Tbk, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Pemerintah Kabupaten Baru, Pemerintah Provinsi Maluku, dan para tokoh adat di Gunung Botak.
Komisaris Utama MIND.ID Doni Monardo menyatakan, selain kerusakan lingkungan, banyak persoalan lain yang timbul akibat tambang liar, seperti pembunuhan, kecelakaan kerja, peredaran narkoba, dan prostistusi. ”Bahkan dulu pernah ada peredaran senjata api,” ujar Ketua Umum Persatuan Purnawirawan TNI Angkatan Darat itu.
Di sisi lain, eksploitasi emas secara tidak bertanggung jawab itu menyebabkan negara kehilangan banyak sumber daya mineral. Informasi yang diperoleh Doni dari Kementerian ESDM menyebutkan, setiap tahun, negara kehilangan hingga 100 ton emas akibat penambangan liar, termasuk di Gunung Botak.
Sementara itu, masyarakat sekitar tidak mendapatkan manfaat berarti dari kehadiran tambang liar. Berdasarkan data Pemerintah Kabupaten Buru, daerah berpenduduk 137.990 jiwa itu menempati urutan kedua untuk tingkat kemiskinan ekstrem di Maluku. Angkanya mencapai 7,05 persen.
Selain kerusakan lingkungan, banyak persoalan lain yang timbul akibat tambang liar, seperti pembunuhan, kecelakaan kerja, peredaran narkoba, dan prostistusi.
Menurut Doni, penambangan resmi menjadi solusi untuk mengatasi berbagai persoalan itu. PT Aneka Tambang Tbk yang merupakan bagian dari MIND.ID didorong untuk mengambil kesempatan tersebut. Doni telah dan akan memfasilitasi agar perusahaan di bawah BUMN itu dapat hadir di Gunung Botak. ”Ini dikelola agar masyarakat menikmati kesejahteraan,” ujarnya.
Syarif Faisal Alkadrie, Corporate Secretary Division Head PT Antam Tbk, yang hadir dalam pertemuan menyampaikan kesanggupannya untuk terlibat pembicaraan lebih jauh mengenai pengelolaan potensi di Gunung Botak. PT Antam punya pengalaman panjang dalam mengelola penambangan emas. Sejauh ini belum diketahui cadangan emas di lokasi itu.
Faisal juga berjanji, jika berjalan nanti, pihaknya akan melibatkan masyarakat setempat dalam usaha penambangan. Ia menjamin, hak-hak masyarakat sebagaimana yang diatur dalam regulasi akan dipenuhi. Perbaikan lingkungan juga menjadi tanggung jawab perusahaan.
Permintaan daerah
Sekretaris Daerah Kabupaten Buru Ilias Hamid dan Sekretaris Daerah Provinsi Maluku Sadali Le sama-sama mendukung legalisasi tersebut. Ketika mendapat kesempatan berbicara, keduanya punya harapan yang sama agar tambang Gunung Botak dapat dikelola dengan baik demi kesejahteraan masyarakat.
Baik Ilias maupun Sadali punya kekhawatiran akan kerusakan lingkungan yang timbul akibat tambang. Telah terjadi pencemaran di sungai yang mengairi areal pertanian setempat. Pencemaran juga terjadi hingga ke pesisir Teluk Kayeli yang menjadi muara sungai.
Gandi Ashari Wake, perwakilan masyarakat adat di sekitar Gunung Botak, juga menyatakan dukungan mereka terhadap langkah legalisasi itu. Menurut dia, tambang ilegal lebih banyak mudaratnya. Mengenai persoalan pembebasan lahan yang sering jadi kendala, Ashari berpandangan, dukungan dari masyarakat adat akan memperlancar proses tersebut.
Ashari pun mengingatkan, jika nantinya jadi mengelola tambang di Gunung Botak, pemerintah harus memperhatikan sungguh-sungguh dampak lingkungan yang akan timbul. Pasalnya, berkaca pada sejumlah wilayah usaha pertambangan di Indonesia, masih sering terjadi kerusakan lingkungan yang berdampak pada masyarakat sekitar. ”Tolong dikaji sebaik mungkin,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Teknik dan Lingkungan Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Sunindyo Suryo Herdadi menuturkan, pihaknya telah menerima permohonan dari Pemerintah Provinsi Maluku terkait penetapan wilayah izin usaha pertambangan dan wilayah pertambangan rakyat. Usulan itu belum diputuskan. ”Usulan Pak Gubernur (Maluku) sudah diproses. Mungkin dalam waktu dekat (akan diputuskan),” katanya.