Warung Kopi Pontianak Melintasi Zaman
Sungai Kapuas di Kota Pontianak, Kalbar, pernah menjadi jalur utama yang sibuk. Di tepiannya tumbuh pusat ekonomi, seperti pasar dan pelabuhan. Dari sanalah tumbuh budaya minum kopi di warung kopi.
Sungai Kapuas di Kota Pontianak, Kalimantan Barat, pernah menjadi jalur utama yang sibuk. Di tepiannya tumbuh pusat ekonomi, seperti pasar dan pelabuhan. Dari sanalah tumbuh budaya minum kopi di warung kopi yang seiring waktu menyebar ke sudut-sudut kota.
Keriuhan di warung kopi sudah tampak sejak pagi hari di berbagai sudut Kota Pontianak. Orang-orang mengawali hari dengan ngopi sebelum berangkat bekerja atau ke kantor. Bahkan, pada malam hari, warung kopi masih dipadati orang yang melepas kepenatan setelah beraktivitas seharian.
Hal itu juga tampak di daerah Pasar Tengah, daerah tepian Sungai Kapuas. Di sana ada warung kopi yang berdiri sejak lama. Riska (40), generasi ketiga pemilik warung kopi Langit Biru di Pasar Tengah sejak pagi hingga sore masih tampak melayani para konsumen.
”Pembeli yang banyak dari karyawan yang bekerja di sekitar pasar dan pelabuhan,” ujar Riska, Selasa (13/6/2023).
Per hari rata-rata laku sekitar 100 gelas. Warung kopi tersebut berdiri sejak 1970-an. Bangunan yang menjadi tempat warung kopi didirikan pada 1930. Tiang-tiang dari kayu ulin masih tampak kokoh.
Namun, ada pula warung kopi yang lebih tua, bahkan disebut-sebut sebagai warung kopi tertua di Pontianak, yaitu warung kopi Djaja berdiri sejak tahun 1935 di Jalan Tanjungpura, masih di kawasan Pasar Tengah. Suhar (29), generasi kelima warung kopi Djaja, menuturkan, yang masih aktif mengelola warung kopi merupakan generasi keempat dan kelima.
”Dari generasi pertama sudah orang sini (Pontianak) karena kerja di pelayaran di pelabuhan. Generasi pertama bisa dikatakan sebagai kru kapal dagang Eropa. Yang saya dengar seperti itu,” tuturnya.
Sejak awal berdiri hingga kini segmentasi pelanggan warung kopi merupakan pemilik toko, karyawan toko, pekerja pelabuhan, dan peminat kopi lama. Setelah ngopi mereka langsung bekerja, sehingga perputaran konsumen cepat. Oleh sebab itu, warung kopi tersebut tidak pernah diperluas dari awal berdiri hingga kini 3,5 meter x 27 meter.
Generasi sekarang memaknai warung kopi tersebut sebagai warisan turun-temurun atau ikon, juga semacam branding. Walaupun zaman terus berubah, masih menyeduh kopi dengan alat tradisional sebagai bentuk menghormati atau merawat ingatan dengan leluhur.
Warung kopi pun kini tidak hanya terpusat di Pasar Tengah dan pelabuhan tepian Kapuas, tetapi di berbagai sudut kota Pontianak. Beberapa di antaranya akrab di telinga para pencinta ngopi. Di Jalan Merapi, salah satunya terdapat warung kopi Asiang berdiri sejak 1958.
Asiang (68), pemilik sekaligus baristanya memiliki kekhasan saat menyeduh kopi, yakni tidak menggunakan baju. Orang yang ngopi silih berganti berfoto dengan dia. Dalam beberapa kali kesempatan berbincang dengan Asiang, ia mengatakan menyeduh kopi tanpa baju menjadi branding.
Warung kopi juga tersebar di Jalan Gajah Mada sehingga mendapat julukan ”Coffee Street”. Heri Wonoto (41), pemilik warung kopi Winny, salah satu warung kopi di Jalan Gajah Mada, mengatakan, warung kopi miliknya, pada 1980 merupakan toko kelontong yang merupakan usaha orangtua.
Pada tahun 2002, toko kelontong ia jadikan warung kopi. Hal itu berawal dari hobi ngopi dan nongkrong bersama kawan-kawan. Pada awal buka hanya 8-9 meja dengan penjualan hanya puluhan cangkir per hari. Setahun setelah itu berkembang mencapai 30-40 meja dengan penjualan hari-hari biasa ratusan cangkir.
”Basis konsumen awalnya teman-teman sekolah dan kuliah. Dari awal buka warung kopi tidak menyediakan Wi-Fi dan tidak pernah ada acara nonton bareng. Orang ke sini untuk ngopi, ngobrol, dan nongkrong,” tuturnya lagi.
Konsep warung kopi pun kian berkembang. Di beberapa sudut kota juga tampak rumah-rumah lama ”disulap” menjadi kedai kopi dengan konsep yang modern dan beragam varian. Yudi (39), pemilik warung kopi Nowadays, di Jalan M Hambal, memulai usaha kopi pada 2012, tetapi kala itu masih menyewa ruko dengan seduhan secara tradisional.
Pada 2015 ia melihat perkembangan industri makanan dan minuman, dia mulai mengembangkan usahanya. Waktu itu warung kopi modern di Pontianak menurutnya masih sedikit. Ia mengirim saudaranya belajar menjadi barista di Jakarta.
Pada tahun 2020 ia mulai membuka kedai kopi Nowadays menggunakan rumah tua yang merupakan rumah tinggal temannya. Ia menggunakan garasi dan ruang keluarga dengan ukuran sekitar 7 meter x 6 meter dipoles menjadi kedai kopi.
”Biaya sewa lebih terjangkau. Konsumen yang ngopi juga merasa di rumah, lebih homey. Rata-rata konsep warung kopi rumahan menyiapkan ruang bekerja, bagi berbagai profesi, antara lain desainer, arsitek, dan pegiat seni,” ujar Yudi.
Rumah lama ternyata lebih mudah dimodifikasi menjadi kedai kopi. Konsep interior mengandalkan originalitas dari rumah gaya lama. Pemilik kedai tinggal menata pencahayaan dan sirkulasi udara serta memberi sentuhan warna. Sambutan konsumen juga baik terutama dari generai Z.
Rumah tersebut dibangun awal tahun 1980-an. Beberapa komponen masih menggunakan kayu ulin/belian. Atapnya sirap, hanya sekarang dilapis seng. Ia memoles dengan sentuhan warna dan pendingin ruangan.
Di situ terdapat ruang memajang produk-produk pegiat seni lokal, antara lain lukisan, buku-buku penerbit lokal, dan buah tangan kesenian. Di situ juga pernah digelar kegiatan kolaborasi jual-beli barang dan buku. Karya seni ditukar dengan karya seni. Misalnya, jika ada yang memiliki karya puisi, yang bersangkutan membacakan puisinya, kemudian puisi ditukar dengan salah satu karya seni.
Meniti pandemi
Warung kopi Pontianak pun terus meniti zaman. Pandemi Covid-19 yang lalu merupakan ujian terberat bagi eksistensi warung kopi. Dampak pandemi juga sempat dirasakan Yudi kala itu. Apalagi, pada 2020 ia baru aktif mengembangkan warung kopi tersebut, bersamaan dengan awal pandemi.
”Waktu itu banyak pembatasan. Melihat budaya ngopi di Pontianak yang lazimnya bersama-sama, sulit menjual kopi dengan bungkus bawa pulang (take away). Untuk bisa bertahan, kopi diantar ke rumah konsumen karena memiliki basis konsumen,” ungkap Yudi.
Hal yang sama dirasakan Heri dengan warung kopi Winny miliknya. Heri mengatakan, saat pendemi nyaris bangkrut. Saat pandemi sempat tutup tiga bulan pada tahun 2020. Belasan karyawan dipulangkan ke daerahnya.
”Karyawan pulang ke kampung masing-masing waktu itu. Setidaknya kalau di kampung mereka masih bisa makan,” ujar Heri.
Senada dengan itu, Limin (43), pemilik warung kopi Aming, menuturkan, situasi saat pandemi mencekam. Usaha menghadapi ketidakpastian. Omzet menurun hingga 90 persen. Warung kopinya masih bisa bertahan karena sudah lama berkecimpung dalam bisnis kopi bubuk sejak 1970-an dan warung kopi tahun 2002. Usahanya mampu bertahan karena melakukan efisiensi. Selain itu, ia sudah memiliki basis konsumen yang kuat.
Baca juga: Saat Warung Kopi di Pontianak Merana
Bagi masyarakat yang biasa ngopi di warung kopi, pendemi lalu membuat mereka kehilangan ruang perjumpaan. Benus Syamsiar (40), warga Pontianak, salah satu yang merasakannya.
”Saat pandemi menjadi janggal karena biasanya ngopi sembari berjumpa teman, tiba-tiba ngopi sendiri di rumah sambil merenungkan ketidakpastian,” ungkapnya.
Namun, akhir 2021 perlahan warung kopi di Pontianak pulih. Kini aktivitas di warung kopi kembali normal. Warung kopi di sudut-sudut kota kembali menunjukkan geliatnya sejak pagi hingga malam hari.
Tepian Kapuas
Pamong Budaya Ahli Pertama Bidang Kesejarahan di Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XII Provinsi Kalbar Yusri Darmadi, saat ditemui, Rabu (21/6/2023), menuturkan, sekitar awal abad ke-20 di Pontianak terdapat wilayah yang menjadi pusat-pusat ekonomi. Pusat ekonomi itu berupa pertokoan yang lmayoritas dikelola warga Tionghoa. Perkembangan bisa dilihat dari peta-peta pada masa itu mulai dari tahun 1930-an hingga 1940-an.
Kawasan tersebut dinamakan Voorstraat yang kini bernama Jalan Tanjungpura. Pusat-pusat pertokoan tersebut terletak di pinggiran Sungai Kapuas hingga ke pelabuhan. Hingga kini kawasan tersebut masih ada. ”Dari situlah dimulai budaya ngopi,” ujar Yusri.
Jalur sungai sangat strategis kala itu karena jalur darat terbatas pada awal abad ke-20. Semua serba melalui sungai atau parit yang lebar di Pontianak. Akhirnya orang sering berinteraksi di Pasar Tengah di tepian Kapuas untuk mendiskusikan segala hal sebagai titik temu. Kapuas menjadi jalur utama antardaerah hingga ke perhuluan, maupun ke luar negeri, yakni Singapura. Suasana juga lebih santai. Belum lagi di sekitarnya pernah ada bioskop.
Baca juga: "Jembatan" Peradaban yang Dilupakan
Keberlanjutan budaya minum kopi di warung kopi terawetkan hingga kini. Penikmatnya semakin beragam. Pelayan juga berasal dari beragam etnis. Warung kopi juga tidak hanya terpusat di tepian Sungai Kapuas, tetapi meluas ke berbagai sudut Kota Pontianak seiring perkembangan wilayah dan berkembangnya jalur darat. Warung kopi pun menjadi ikon kota Pontianak.
Suasana egaliter juga terasa dalam diskusi literasi termasuk sastra, bisnis, dan sebagainya di warung kopi. Suasana tanpa sekat itu memunculkan kreativitas. Warung kopi yang kini menjadi ruang publik yang populer telah terbentuk dari sebuah sejarah yang panjang dan mengakar.
Senada dengan itu, pengajar Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tanjungpura, Pontianak, Donatianus, menuturkan, Pontianak terbentuk dari pelabuhan, pertemuan pelayaran antardaerah di dalam Kalbar maupun antarpulau. Karena pertemuan antarmanusia yang banyak ragam, salah satu media yang paling enak, murah, dan mudah, adalah sama-sama minum kopi.
Pegiat literasi Kalbar dan penulis buku Mencari Ruang Publik di Warung Kopi, Ahmad Sofian, menuturkan, keberadaan warung kopi di tepian Kapuas bahkan sudah ada sejak 1890-an yang terdapat pada bait Syair Pangeran Syarif dari Keraton Matan, Ketapang. Ia menggambarkan adanya warung-warung di pasar China, kini dikenal Pasar Tengah.
”Tahun itu sudah terindikasi ada warung-warung kopi di kawasan itu,” ungkap Sofian.
Dari pemberitaan surat kabar lama juga ada menggambarkan warung kopi. Contohnya, di surat kabar Halilintar 1920-an disebutkan warung-warung kopi di Pontianak. Warung kopi pun seiring waktu menyebar ke berbagai sudut kota.
Warung kopi awalnya berada di Pasar Tengah dan pelabuhan di Jalan Tanjungpura dulu Voorstraat gelombang pertama. Kemudian, gelombang kedua, menyebar ke sekitar jalan Diponegoro, Merapi, Gajah Mada, dan sekitar Nusa Indah.
Setelah itu, gelombang ketiga, marak di Jalan Gajah Mada dan sekitarnya. Gelombang keempat, warung-warung kopi lebih dekat ke area permukiman kawasan urban. Gelombang kelima, warung kopi lebih tidak berjarak ke permukiman, hampir di mulut-mulut gang rumah warga.
Warung kopi juga hadir dengan konsep modern. Pada periode ini juga muncul rumah-rumah lama yang interiornya didesain ulang menjadi kedai kopi. Kini di Pontianak warung kopi diperkirakan mencapai ribuan jumlahnya.
Pontianak memang tak dikenal sebagai penghasil kopi, namun di sini budaya ngopi terus hidup didorong oleh keinginan berkumpul bersama dalam satu tempat.