Mengokohkan Surabaya sebagai Tempat Kelahiran Bung Karno
Kota Surabaya semakin mengokohkan sebagai kota tempat kelahiran Soekarno dengan terus dilakukan pengungkapan sejarah terutama yang terjadi di kota pahlawan ini.
Oleh
AGNES SWETTA PANDIA
·4 menit baca
”Sebelum hadir di acara bedah buku ini, saya baru meresmikan Sekolah Dasar Negeri Sulung yang selama ini sebagai SDN Alun-alun Contong,” kata Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi membuka sambutannya pada peluncuran buku Merahnya Ajaran Bung Karno: Narasi Pembebasan Ala Indonesia karya Airlangga Pribadi Kusman, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Airlangga Surabaya, Sabtu (17/6/2023).
Sekolah Dasar Negeri (SDN) Alun-alun Contong I/87 mulai hari ini resmi menjadi SDN Sulung Surabaya. Pengembalian nama sekolah yang terletak di Jalan Sulung Sekolahan No 1/87, Kecamatan Bubutan, Surabaya, tersebut, tidak lepas dari peristiwa sejarah di belakangnya.
Pada acara peresmian tersebut hadir sejumlah tokoh pemerhati sejarah, akademisi, hingga komunitas Begandring Soerabaia. Eri mengungkapkan, latar belakang pengembalian nama SDN Sulung tersebut ialah sebagai upaya untuk mengingat kembali sejarah bangsa.
Hal tersebut berdasarkan dari data penelusuran sejarah komunitas Begandring Soerabaia. Ayah Presiden pertama RI Soekarno atau Bung Karno, Raden Soekemi Sosrodiharjo, dahulu pernah mengajar di SD tersebut.
Soekmi pernah mengajar di SDN Sulung yang jaraknya sekitar 1 kilometer dari kawasan Peneleh, Surabaya, rumah kelahiran Bung Karno berada. Tak jelas apa alasannya tiba-tiba nama sekolah berubah menjadi SDN Alun-alun Contong yang mengakibatkan sejarahnya hilang.
”Ini yang akhirnya harus dikembalikan lagi namanya," ujar mantan Kepala Bappeko Surabaya ini.
Suatu bangsa atau kota tidak akan bisa menjadi besar kalau tidak mengingat sejarah. Terlebih, Kota Surabaya telah melahirkan banyak tokoh-tokoh pejuang dan pahlawan yang membela bangsa.
”Di Kota Surabaya ini lahir Bung Karno. Bagaimana ayahnya berjuang untuk pendidikan mengajar di SD Sulung. Guru politiknya (Bung Karno) yang luar biasa menjadi tokoh nasional, HOS Tjokroaminoto, juga di Surabaya,” ujarnya.
Untuk itu, Eri mengajak seluruh elemen masyarakat, khususnya para pelajar Surabaya, agar dapat meneruskan api perjuangan para pahlawan. Sebagai Kota Pahlawan, sudah seharusnya warga Surabaya juga memiliki jiwa-jiwa kepahlawanan.
”Karena itulah, sejak dini saya meminta kepada Dinas Pendidikan Surabaya, baik PAUD, SD-SMP, maupun nanti SMA untuk memberikan pelajaran terkait sejarah kebangsaan,” ungkapnya.
Bagaimana perjuangan Soekarno bisa merebut kemerdekaan. Dan, salah satu perjuangan itu dimulai ketika dia lahir. Ayahandanya adalah guru di SD Sulung sehingga di sekolah inilah dimulai api perjuangan Bung Karno. (Eri Cahyadi)
Menurutnya, bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak lupa dengan sejarahnya. Maka dari itu, melalui sekolah kebangsaan tersebut, Eri berharap para pelajar Surabaya tidak melupakan sejarah perjuangan para pahlawan.
”Bagaimana perjuangan Bung Karno bisa merebut kemerdekaan. Salah satu perjuangan itu dimulai ketika dia lahir. Ayahandanya adalah guru di SD Sulung sehingga di sekolah inilah dimulai api perjuangan Bung Karno,” ucapnya.
Sekolah kebangsaan
Dalam kesempatan itu, Eri juga sempat mengajar sekolah kebangsaan di SDN Sulung. Peserta sekolah kebangsaan diikuti pelajar dari jenjang SD hingga SMP di Kota Surabaya. Dalam momen itu, ia mengajak anak-anak untuk dapat meneladani jiwa-jiwa kepahlawanan Bung Karno.
”Tadi saya juga sampaikan ke anak-anak bahwa tidak pernah Soekarno bertempur melawan orang-orang pribumi, orang Indonesia. Tidak ada dulu pejuang berantem dengan warganya, yang ada adalah bertempur melawan Belanda. Lha, kok sekarang malah ada tawuran antarwarga, tawuran antarsekolah,” ujarnya.
Ia menyebut, terjadinya tawuran antarpelajar disebabkan nilai-nilai kebangsaan tidak masuk ke dalam jiwa arek-arek Suroboyo. Tentunya, hal ini menjadi tanggung jawab bersama, baik itu orang tua, guru, wali kota, maupun DPRD Surabaya. Sejak dini anak-anak harus meresapi nilai-nilai kepahlawanan dan agama melalui sekolah kebangsaan.
Pada peluncuran buku Merahnya Ajaran Bung Karno: Narasi Pembebasan Ala Indonesia, menjadi pembicara utama secara daring Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Hasto Kristiyanto, dengan narasumber cucu Bung Karno, Puti Guntur Soekarno; pengamat pertahanan, Connie Rahakundini; dan politisi PDI-P, Said Abdullah.
Hasto mengutip salah satu tulisan dalam buku tersebut, menyebut Bung Karno sebagai ahli tauhid. Bung Karno percaya bahwa manusia harus menyatu dengan Yang Maha Kuasa. Bung Karno ikut ikhtiar memperjuangkan Indonesia merdeka. Bahkan, dalam ajaran Bung Karno terlihat dalam pidato-pidatonya yang sering kali memasukkan unsur-unsur agama.
”Bung Karno percaya bahwa Indonesia merdeka bukan sekadar perjuangan politik, tetapi juga perjuangan spiritual,” ujar Hasto.
Selain itu, Hasto juga memberi tanggapan isi buku tersebut yang merupakan kumpulan pemikiran pemikiran Bung Karno. Menurut dia, buku tersebut memberikan gambaran lengkap tentang pemikiran Bung Karno dan bagaimana ia mengaplikasikannya dalam mengambil keputusan negara.