Pluralisme yang Melebur dalam Perumahan-perumahan di Medan
Kota Medan sejak awal tumbuh sebagai kota multietnis yang sangat plural. Masyarakat dari etnis Nusantara hingga beragam etnis luar negeri kini melebur perumahan-perumahan yang sama.
Oleh
NIKSON SINAGA, AUFRIDA WISMI WARASTRI
·5 menit baca
KOMPAS/NIKSON SINAGA
Masyarakat dari berbagai etnis beraktivitas dan membaur di pusat perdagangan di Jalan KH Zainul Arifin, Kampung Madras (disebut juga Kampung Keling), Medan, Sumatera Utara, Senin (12/6/2023). Daerah-daerah di Kota Medan yang sebelumnya tersegmentasi berdasarkan etnis sejak masa Hindia Belanda kini sudah melebur. Medan bertumbuh menjadi kota multikultural.
Kota Medan sejak awal tumbuh sebagai kota multietnis yang sangat plural. Masyarakat dari etnis Nusantara hingga beragam bangsa dari luar negeri berkembang selama ratusan tahun di Medan. Jika di awal permukiman di Kota Medan tersegmentasi, kini masyarakat dari berbagai etnis melebur di perumahan-perumahan baru.
”Perumahan-perumahan baru yang melebur mulai muncul sejak tahun 1980-an. Ketika itu tumbuh kesadaran untuk meleburkan masyarakat yang dipisahkan permukiman yang tersegmentasi etnis,” kata antropolog dari Universitas Negeri Medan (Unimed), Erond Litno Damanik, Rabu (14/6/2023).
Kota Medan berkembang sebagai kota kosmopolitan dengan warga yang sangat plural sejak era perkebunan tembakau pada 1863. Masyarakat dari berbagai etnis, seperti Jawa, Minangkabau, dan sejumlah daerah, di Sumatera hidup dan berkembang selama ratusan tahun di Medan. Demikian juga etnis Tionghoa dan Tamil yang awalnya didatangkan sebagai pekerja di perkebunan.
”Selama ratusan tahun, sejumlah etnis yang hidup di Medan bertumbuh dan berkembang dalam sekat permukiman yang tersegmentasi,” kata Erond.
Masyarakat dari berbagai etnis beraktivitas dan membaur di kawasan Kesawan, Medan, Sumatera Utara, Rabu (14/6/2023).
Erond menyebut, perumahan-perumahan yang melebur mulai muncul sejak tahun 1980-an. Ketika itu muncul kegelisahan karena warga yang sangat plural tidak membaur di ruang-ruang publik. Kegelisahan itu antara lain diungkapkan antropolog Unimed, Profesor Usman Pelly.
Setelah tahun 1980-an, muncul perumahan-perumahan baru dengan konsep yang membaur. Multikultur Medan antara lain tecermin di perumahan kompleks Taman Setia Budi Indah, Jalan Setia Budi. Di perumahan kelas menengan-atas dengan jumlah rumah ribuan unit itu hidup aneka suku bangsa dengan rukun.
Mantan Kepala Lingkungan 21, Kelurahan Tanjungrejo, Kecamatan Medan Sunggal, yang membawahi dua blok dengan 210 keluarga dari puluhan blok di kompleks itu, Agus Hadiono (59), menyebut, belasan suku dan kebangsaan tinggal bersama di kompleks. Agus mengenal baik seluruh warganya berikut latar belakangnya.
”Ada Minang, Jawa pendatang seperti dari Semarang, Surabaya, Jawa Pujakesuma (putra Jawa kelahiran Sumatera), Aceh, Karo, Mandailing, Nias, Batak, Melayu, Palembang, Toba, Gayo, Pakpak, Bali, Bugis, China, India, juga warga asing dari Jerman, Swedia, Selandia Baru, Belanda, Filipina, dan Belgia,” katanya sambil mengingat satu-satu warganya berikut namanya, Kamis (15/6/2023). Ada juga warga Afrika namun kini sudah pindah ke kompleks lain.
Sejumlah apartemen menjulang tinggi di Jalan Balai Kota hingga Jalan Putri Hijau, Medan, Sumatera Utara, Rabu (14/6/2023). Masyarakat Kota Medan dari berbagai etnis kini membaur di hunian-hunian vertikal.
”Perawakannya saja macam-macam, budayanya juga macam-macam, tetapi semua menyambut orang lain dengan akrab,” kata Agus. Selama 33 tahun menjadi kepala lingkungan dan baru tahun ini pensiun, Agus merasakan nyaris tidak ada konflik di kompleks itu karena semua saling menghargai. Semua warga hidup rukun.
”Kalau ada riak-riak itu soal pertetanggaan biasa. Misalnya, dulu ada pencurian kecil-kecilan, sekitar sepuluh tahun lalu. Pertentangan yang terjadi bukan soal suku dan agama,” kata Agus. Kriminalitas seperti geng sepeda motor yang jamak terjadi bisa diatasi bekerja sama dengan Babinsa dan Koramil setempat dengan membangun posko keamanan dan ketertiban umum.
Mereka yang lama tinggal di Medan pun pada akhirnya akan luluh mengikuti ’cakap ala Medan’.
Agus melayani administrasi kependudukan warga yang multikultur itu dengan gembira. Biasanya warga negara asing yang tinggal di kompleks menikah dengan warga Indonesia sehingga sudah mengerti bahasa Indonesia. ”Tetapi ada juga yang datang karena tugas, jadi pakai bahasa Inggris. Kalau pakai bahasa Inggris, saya agak kerepotan,” kata Agus, lalu tertawa.
Sudah menjadi hal biasa bagi warga jalan pagi bertemu tetangga dengan warna kulit, kebudayaan, dan bahasa yang berbeda. Mereka yang lama tinggal di Medan pun pada akhirnya akan luluh mengikuti ”cakap ala Medan”.
Masyarakat beraktivitas di Perumahan Nasional (Perumnas) Simalingkar di Medan, Sumatera Utara, Selasa (13/6/2023). Masyarakat Kota Medan dari berbagai etnis membaur di berbagai perumahan di Kota Medan.
”Sekitar 50 persen warga memang sibuk dengan urusan pekerjaannya sendiri,” kata Agus. Namun, kegiatan keagamaan dan kelompok warga yang tergabung dalam serikat tolong menolong juga berlangsung seperti kebanyakan di permukiman lain.
Kompleks seluas sekitar 300 hektar itu memiliki enam lingkungan. Saking besarnya ada empat kelurahan dan dua kecamatan yang menaungi, yakni Kelurahan Tanjungrejo dan Sunggal yang masuk Kecamatan Medan Sunggal, dan kelurahan Asam Kumbang dan Tanjungsari, yang masuk Kecamatan Medan Selayang. Dibangun mulai tahun 1984, kompleks memiliki sekitar 3.000 rumah dengan puluhan blok. Sebanyak 2.400 rumah di kompleks Taman Setiabudi Indah I dan 600 rumah di kompleks Taman Setiabudi Indah II.
”Waktu saya masuk ke sini tahun 1991 masih sedikit rumah yang berdiri,” kata Kepala Pengelola Taman Setiabudi Indah I dan II PT Ira Widya Utama Bahaluddin Batubara. Berbagai suku bangsa di Tanah Air memang tinggal di kompleks itu dari Aceh sampai Papua.
Sementara, warga negara asing yang tinggal di kompleks juga berasal dari sejumlah negara dan benua, mulai Inggris, Jepang, Australia, hingga Afrika. ”Memang jumlahnya tidak banyak, tetapi ada,” kata Bahal.
KOMPAS/NIKSON SINAGA
Masyarakat beraktivitas di Jalan Amaliun, kawasan Kota Matsum, Medan, Sumatera Utara, Rabu (14/6/2023). Daerah-daerah di Kota Medan yang sebelumnya tersegmentasi berdasarkan etnis sejak masa Hindia Belanda kini sudah melebur. Pada masa Hindia Belanda, Kota Matsum merupakan permukiman untuk penduduk Melayu, Minangkabau, dan Mandailing.
Atribut pemilu
Sejauh ini tidak pernah ada konflik yang terjadi antarwarga selain urusan tembok yang berimpit pada beberapa warga saja.
Untuk menjaga kerukunan warga, dalam setiap pemilihan umum, pengelola melarang tegas pemasangan atribut kampanye di dalam kompleks. ”Kalau ada yang memasang langsung kami copot. Kebanyakan warga sadar diri tidak melakukannya,” kata Bahal.
Lapangan sepak bola yang ada di dalam kompleks semata-mata digunakan untuk kegiatan olahraga dan kegiatan warga, bukan untuk kampanye pengumpulan massa. ”Penduduknya kan beraneka ragam. Jadi kami harus menjaga situasi,” kata Bahal.
Warga Perumahan Nasional (Perumnas) Simalingkar juga merasakan hidup di permukiman yang melebur. Ada ribuan unit rumah sederhana yang dibangun di sisi selatan Kota Medan itu. ”Sejak awal, Perumnas Simalingkar ini dihuni beragam suku bangsa,” kata Marlon Hasibuan (55), warga Perumnas Simalingkar.
KOMPAS/NIKSON SINAGA
Warga beraktivitas di Jalan Gwangju, kawasan Kesawan, Medan, Sumatera Utara, Rabu 914/6/2023). Sejumlah ruas jalan di Medan menggunakan nama-nama unik, seperti nama daerah/kota di Nusantara, kota-kota luar negeri, perabot dapur, hingga alat tulis. Penamaan ini menunjukkan Medan sudah menjadi kota yang sangat terbuka sejak dulu.
Marlon menyebut, dia tinggal di Perumnas Simalingkar sejak tahun 1989. Seiring dengan perkembangan kota, Perumnas Simalingkar menjadi permukiman yang sangat padat. Meskipun dihuni oleh berbagai suku, seperti Batak Toba, Simalungun, Karo, Mandailing, Jawa, Minang, dan Aceh, hampir tidak ada konflik sosial antarwarga. ”Masalah di sini dari dulu adalah tindakan kriminal seperti pencurian yang marak,” kata Marlon.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, warga kelas menengah atas di Medan juga melebur di hunian-hunian vertikal. Beberapa apartemen dibangun di jantung kota, seperti apartemen The Reiz Condo, Podomoro City Deli Medan, The Wahid, dan Sentraland Sukaramai.
Permukiman di Kota Medan semakin berkembang dan akhirnya akan sama semua yakni permukiman yang membaur.
Kepala Bidang Penataan Bangunan dan Lingkungan Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman, dan Penataan Ruang (PKPPR) Medan Ikhwanza Syahputra mengatakan, seiring dengan perkembangan kota, permukiman-permukiman di Medan semakin melebur. ”Permukiman di Kota Medan semakin berkembang dan akhirnya akan sama semua, yakni permukiman yang membaur,” kata Ikhwanza.
Ikhwanza mengatakan, meskipun penduduk satu permukiman melebur, Kota Medan tetap terhindar dari konflik sosial. Hal itu karena masyarakat semakin sadar kalau mereka hidup di kota yang sangat plural.
Meski demikian, Ikhwanza menyebut, permukiman-permukiman yang berkelompok selama lebih dari ratusan tahun perlu dipertahankan. Hal itu juga menjadi salah satu keunikan Medan sebagai sebuah kota.