Proses Rehabilitasi Selesai, 10 Orangutan Dilepasliarkan di Kalteng
Sepuluh orangutan kembali dilepasliarkan di Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya, Kalteng. Salah satu yang dilepasliarkan adalah orangutan hasil repatriasi dari Thailand.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Pemerintah bersama Yayasan Borneo Orangutan Survival kembali melepasliarkan 10 orangutan ke habitat barunya di Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya, Kalimantan Tengah. Sebelum dilepasliarkan, orangutan itu telah melewati proses rehabilitasi dan reintroduksi selama bertahun-tahun.
Sepuluh orangutan itu terdiri dari dua orangutan jantan dan delapan orangutan betina. Mereka akan dikirim ke Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya (TNBBBR) wilayah kerja Resor Tumbang Hiran, Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah II Kasongan, dalam dua kali perjalanan.
Pada perjalanan pertama, dikirim empat orangutan pada Rabu (14/6/2023) sore. Adapun sisanya akan dikirim pada Jumat (16/6/2023).
Chief Executive Officer Yayasan Borneo Orangutan Survival (BOS) Jamartin Sihite menjelaskan, salah satu orangutan yang dilepasliarkan itu merupakan hasil repatriasi dari Thailand. Orangutan betina itu diselundupkan dari Indonesia ke Thailand pada 1990, lalu kembali ke Indonesia pada 2006.
Orangutan itu membutuhkan waktu 17 tahun untuk menjalani rehabilitasi dan kembali memiliki sifat liarnya. Hal ini karena saat dibawa ke tempat rehabilitasi dan reintroduksi di Nyaru Menteng, Kalimantan Tengah, orangutan itu sudah dewasa.
Orangutan tersebut tak lagi memiliki sifat liar karena terlalu lama hidup dengan manusia sehingga mengikuti cara tingkah laku manusia, seperti cara berjalan dan jenis makanan.
”Kalau masuk ke sini (tempat rehabilitasi) sudah besar, itu proses rehabilitasinya agak lama. Kalau masuknya masih kecil, pasti lebih cepat,” ujar Jamartin, Rabu sore, di Palangkaraya, Kalteng.
Dengan pelepasliaran 10 orangutan itu, setidaknya terdapat 199 orangutan yang sudah dilepasliarkan di TNBBBR. Sejak 2016, Yayasan BOS bersama pemerintah telah 27 kali melakukan pelepasliaran ke lokasi tersebut.
Jika dihitung dengan lokasi lain, Yayasan BOS telah melepasliarkan 515 orangutan ke habitat aslinya di Kalteng ataupun Kalimantan Timur. Rinciannya, sebanyak 389 orangutan dilepasliarkan di Kalteng dan 126 di Kaltim.
Jamartin menyebut, sampai saat ini, masih terdapat sekitar 400 orangutan yang direhabilitasi oleh Yayasan BOS dan belum dilepasliarkan. Untuk melakukan pelepasliaran, Yayasan BOS membutuhkan dukungan semua pihak. Sebab, lokasi pelepasliaran harus dipastikan dalam kondisi terlindungi agar bisa menjadi habitat orangutan.
Oleh karena itu, Yayasan BOS juga bekerja sama dengan perusahaan perkebunan sawit dan beberapa perusahaan industri lain untuk menjaga habitat orangutan. Menurut Jamartin, perusahaan perlu belajar untuk menciptakan lingkungan usaha yang ramah terhadap satwa.
Jika dihitung dengan lokasi lain, Yayasan BOS telah melepasliarkan 515 orangutan ke habitat aslinya di Kalteng ataupun Kalimantan Timur.
”Kenyataannya, 70 persen lebih orangutan hidup di luar kawasan konservasi. Untuk itu, Yayasan BOS bekerja sama dengan pihak swasta supaya mereka tahu apa yang harus dikerjakan kalau ada orangutan,” tutur Jamartin.
Menurut Jamartin, konflik perusahaan dengan satwa liar bisa berkurang jika pemahaman terhadap perlindungan satwa dan habitatnya dimiliki oleh perusahaan. ”Kami selalu ajak mereka (perusahaan) untuk membuat wilayah high conservation value (nilai konservasi yang tinggi) di awal, bukan akhir. Jadi, kalau itu memang wilayah untuk satwa, ya, korbankanlah (kepentingan perusahaan) karena nilai konservasinya tinggi,” katanya.
Desa ramah satwa
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalteng Sadtata Noor Adirahmanta menyatakan, luas kawasan hutan di Kalteng kian menyusut karena berbagai kepentingan. Oleh karena itu, perlu solusi jangka panjang untuk bisa mengembalikan semua orangutan yang sedang direhabilitasi ke hutan.
Salah satu solusi yang bisa dilakukan, kata Sadtata, adalah pembentukan desa ramah satwa. Di Kalteng, setidaknya sudah ada dua desa yang berkomitmen menjadi desa ramah satwa, yakni Desa Tahawa dan Desa Parahangan di Kabupaten Pulang Pisau.
Melalui program itu, Sadtata menjelaskan, masyarakat didampingi agar memahami cara menjaga hutan dan satwa liar yang ada. Di sisi lain, masyarakat juga tetap mendapat keuntungan ekonomi.
”Jadi, kalau ada orangutan tidak perlu heboh, lalu melapor ke BKSDA, suruh ngambil. Enggak usah. Biar saja (orangutan) di hutan mereka, dijaga oleh masyarakat. Kami ajari masyarakat untuk jadi pemandu peneliti, pemandu wisata, dan lain-lain,” katanya.
Menurut Sadtata, sudah ada lima desa lain yang berkomitmen menjadi desa ramah satwa. ”Kami berharap, mungkin dalam 10 tahun lagi, masyarakat enggak heboh lagi kalau ada orangutan, lalu bisa ikut menjaga,” ucapnya.
Kepala Balai TNBBBR Andi Muhammad Kadhafi menambahkan, pelepasliaran orangutan kali ini sekaligus meresmikan pondok pemantauan yang baru dibangun. Dengan adanya pondok itu, petugas akan melakukan pemantauan dari waktu ke waktu untuk memantau perkembangan orangutan yang dilepasliarkan.
Pondok tersebut berada di jalur Sungai Hiran, Resor Tumbang Hiran, Seksi Pengelolaan Taman Nasional) Wilayah II, Kalteng. Keberadaan pondok itu diharapkan membuat pelepasliaran orangutan menjadi lebih baik.
”Pemanfaatan daerah aliran Sungai (DAS) Hiran dan DAS Bemban untuk pelepasliaran orangutan sejak tahun 2016 merupakan upaya menjaga persebaran orangutan. Hasilnya, selama ini tercatat sudah tujuh kelahiran alami di TNBBBR sejak pelepasliaran pertama,” kata Andi.