Cadangan Nikel Kritis, Warga Sultra Minim Rasakan Manfaat Tambang
Cadangan nikel terbukti hanya tinggal 5,5 tahun. Saat ini situasi cadangan sudah kritis.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
KOMPAS/SAIFUL RIJAL YUNUS
Foto aerial kawasan pemurnial nikel PT Virtue Dragon Industrial Park (VDNIP) di Morosi, Konawe, Sulawesi Tenggara, Rabu (22/3/2023). Ribuan pekerja dari dua perusahaan di kawasan ini, yaitu PT Virtue Dragon Nickel Industry dan PT Obsidian Stainless Steel, mogok kerja menuntut berbagai hal ke perusahaan yang dianggap tidak menaati aturan ketenagakerjaan.
KENDARI, KOMPAS — Cadangan nikel terbukti di Indonesia saat ini tersisa 9,5 tahun dengan jumlah kebutuhan pasokan nikel mencapai 114 juta ton per tahun. Saat semua smelter nikel selesai konstruksi dan berdiri, cadangan nikel terbukti hanya tersisa 5,5 tahun. Di satu sisi, masifnya pertambangan dan pengolahan nikel tidak berdampak banyak ke daerah penghasil nikel seperti di Sulawesi Tenggara.
”Cadangan nikel terbukti saat ini mencapai 1,085 miliar ton. Sementara jumlah kebutuhan nikel per tahun mencapai 114 juta ton untuk menyuplai 37 smelter nikel. Dengan kondisi saat ini, nikel akan habis 9,5 tahun mendatang,” kata Direktur Industri Logam Kementerian Perindustrian Liliek Widodo, di Kendari, Sultra, Kamis (8/6/2023). Ia menyatakan hal itu selepas Rakor Pertambangan bersama Komisi Pemberantasan Korupsi. Kegiatan ini dihadiri oleh Pemprov Sultra, pemda, instansi terkait, serta sejumlah asosiasi pertambangan dan perdagangan.
Berdasar data yang ada, ia melanjutkan, saat ini ada 18 smelter nikel yang sedang dibangun di sejumlah daerah. Smelter ini akan beroperasi dalam beberapa tahun mendatang dan akan menambah kebutuhan nikel sebanyak 146 juta ton per tahun. Dalam posisi tersebut, cadangan nikel terbukti hanya tersisa 7,5 tahun. Di samping itu, juga ada tujuh smelter yang sedang dalam tahap feasibility study.
”Kalau total semua smelter ini selesai dan berjalan sekaligus, cadangan nikel terbukti hanya tinggal 5,5 tahun. Situasinya sudah kritis. Tentu itu dengan catatan tidak ada eksplorasi baru yang menambah cadangan nikel terbukti,” katanya.
KOMPAS/SAIFUL RIJAL YUNUS
Cadangan nikel terbukti di Indonesia saat ini 1 miliar ton. Meski begitu, kebutuhan pasokan nikel untuk industri pengolahan terus meningkat dan saat ini hanya tersisa 9,5 tahun sebelum cadangan terbukti habis. Saat semua smelter selesai, cadangan nikel tersisa 5,5 tahun.
Untuk cadangan terkira, saat ini mencapai 3,5 miliar ton. Jika semua smelter berfungsi maksimal, cadangan terkira ini juga akan ikut habis dalam 18 tahun mendatang. Salah satu daerah dengan cadangan nikel terbesar di Indonesia berada di Sulawesi Tenggara.
Oleh karena itu, pihaknya mendorong agar ada pembatasan fasilitas pengolahan dan pemurnian nikel. Seharusnya, fasilitas yang ada didorong untuk melakukan pengolahan turunan nikel agar deposit nikel tidak terkuras habis.
Hilirisasi nikel juga mendorong bahan baku limonite untuk diolah lebih jauh lagi. Sejauh ini, puluhan smelter mengolah nikel saprolite atau yang memiliki kadar tinggi (1,7 ke atas) menjadi produk feronikel ataupun Nickel Piq Iron (Npi).
“Kami telah bahas ini di ruang lingkup kami. Ke depannya harus terus diupayakan agar menjadi pembicaraan bersama sehingga ada Keputusan kuat,” terangnya.
Di Sulawesi Tenggara, saat ini ada tiga smelter nikel yang berjalan. Selain PT Antam Tbk di Kolaka yang merupakan Badan Usaha Milik Negara, dua lainnya adalah perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA). Dua perusahaan tersebut adalah PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) dan PT Obsidian Stainless Steel (OSS).
Data produksi sejak 2020 hingga 2022, PT Antam mengekspor 327.120 ton feronikel, PT OSS mengeskpor 618.185 ton feronikel, dan PT OSS mengekspor 2.174.691 ton feronikel. Nilai ketiganya berkisar US 8,1 miliar dollar AS.
KOMPAS/SAIFUL RIJAL YUNUS
Rapat Koordinasi Pertambangan di Sulawesi Tenggara yang diselenggarakan oleh KPK berlangsung di Kendari, Sulawesi Tenggara, Kamis (8/6/2023). Rapat ini mengungkap sejumlah hal yang menjadi permasalahan pertambangan selama ini, salah satunya adalah banyaknya pelanggaran dari pelaku penambangan dan industri serta minimnya pendapatan daerah.
Kepala Satuan Tugas Koordinasi Supervisi dan Bidang Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dian Patria menjabarkan, maraknya pertambangan nikel dan smelter tidak berdampak banyak ke daerah. Sebab, pendapatan hingga angka kemiskinan di daerah masih tinggi.
”Pemprov Sultra, misalnya, pendapatan asli daerah (PAD)-nya hanya Rp 1,6 triliun atau 35,67 persen dari total anggaran. Di Konawe, yang memiliki tambang dan smelter besar, PAD-nya hanya Rp 219 miliar atau 13 persen dari total anggaran,” kata Dian.
Bahkan, ia melanjutkan, daerah kaya nikel dan lokasi smelter justru memiliki angka kemiskinan yang tinggi selama bertahun-tahun terakhir. Di Konawe, jumlah penduduk miskin mencapai 32 persen dari total penduduk, sementara di Kolaka sebanyak 31 persen.
Belum lagi dengan persoalan perusahaan pertambangan nikel yang tidak patuh dan taat dalam proses dari awal hingga akhir. Sejumlah perusahaan diketahui tidak taat pajak, melakukan sejumlah pelanggaran, hingga kasus penambangan ilegal.
”Jadi, menurut kami, memang harus ada sejumlah langkah untuk memperbaiki sektor nikel ini, mulai hulu dari hilir. Kita tidak ingin nikel habis, sementara masyarakat hanya menanggung dampaknya,” katanya.
Sejumlah kepala daerah juga mengeluhkan pengelolaan sektor pertambangan yang belum berdampak signifikan. Sementara dampak pertambangan terus dirasakan masyarakat, baik dalam pelaksanaan maupun dampak bencana yang terjadi.
KOMPAS/SAIFUL RIJAL YUNUS
Kondisi pertambangan nikel di daerah bukit Desa Tambakua, Langgikima, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, seperti terlihat pada Senin (5/8/2019). Tidak adanya pengawasan berarti membuat penambangan rentan terjadinya pelanggaran dari perusahaan.
Bupati Konawe Selatan Surunuddin Dangga mengatakan, pihaknya sangat mendukung langkah penertiban dan perbaikan sektor pertambangan. Sebab, selama ini banyak terdapat tambang ilegal hingga smelter yang hanya di atas kertas.
”Banyak izin pertambang yang hidup, tidak menambang, tetapi mengirim ore. Ada juga yang rencana bikin smelter, tetapi tidak jadi-jadi. Kami di daerah di demo terus, tetapi kewenangan tidak ada sama kami. Semuanya ada di pusat,” tuturnya.
Daerah kaya nikel dan lokasi smelter justru memiliki angka kemiskinan yang tinggi selama bertahun-tahun terakhir.
Sekretaris Daerah Konawe Ferdinan Sapan menyampaikan, ada tiga kluster besar dalam pengelolaan pertambangan dan industri pengolahan selama ini yang harus diperbaiki, mulai dari perizinan, tata kelola, hingga pendapatan daerah.
”Ketiganya harus betul-betul diupayakan agar sektor pertambangan maksimal,” katanya.
Sehari sebelumnya, Pemkab Konawe dan Pemprov Sultra memasang plang penunggak pajak di PT VDNI. Perusahaan PMA asal China tersebut menunggak Pajak Air Permukaan dan Pajak Penerangan Jalan senilai Rp 74,5 miliar. Pajak tersebut telah ditagihkan selama bertahun-tahun, tetapi tidak kunjung dibayar.