Pameran seni rupa Batas Luar karya 20 perupa/pelukis serta 5 mendiang maestro di Visma Gallery, Surabaya, Jawa Timur, ingin menegaskan eksistensi ”Bumi Pahlawan” dalam perkembangan dan pusaran seni rupa Indonesia.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·5 menit baca
Dalam indikator populasi, ekonomi, sosial, dan politik, Surabaya turut menjadi yang terpandang di penjuru negeri. Namun, dalam pusaran budaya terutama seni rupa, ibu kota Jawa Timur “dianggap” berada di periferi atau batas luar. Tiada gading yang tak retak.
Periferi bisa merupakan keniscayaan atau sekadar pernyataan. Biarlah sekitar 40 lukisan dan instalasi seni rupa bertajuk Batas Luas yang bicara dalam pameran di Visma Gallery, Surabaya, 30 Mei-11 Juni 2023. Karya hasil dari 20 pelukis/perupa serta 5 mendiang maestro kelahiran atau warga Bumi Pahlawan. Eksibisi juga sebagai hadiah peringatan 730 Tahun Surabaya pada 31 Mei 2023.
Lihatlah misalnya karya Jumaadi berjudul Perahu. Inilah lukisan akrilik pada kulit bison yang ditatah berukuran 100 cm x 73 cm. Karya ini seolah ilustrasi dari bahtera Nuh tetapi cuma menyelamatkan vegetasi atau tumbuhan. Jumaadi diaspora di Australia, kerap mewakili Negeri Kanguru ke pameran dunia. Namun, mungkin segelintir yang memahami kampung kelahiran di Surabaya.
Begitu juga karya instalasi fotografi Facing Shadows (120 cm x 80 cm) karya Suvi Wahyudianto. Sosok siluet hitam di tengah menatap kompleks bangunan, ada yang bertingkat, rumah sederhana, dan tulisan kecil Jalan Cemara. Mungkin instalasi ini mozaik memori sang perupa yang nyaris tak pernah pameran di Surabaya meski nama mengangkasa merambati negeri-negeri luar. Bahkan, telah ditetapkannya Yogyakarta daripada Surabaya sebagai ruang hidup karena mungkin lebih terasa atmosfer dan ekosistem pusaran seni rupa.
Karya lainnya dari Dhukan Wahyudi, lukisan akrilik pada kanvas (100 cm x 121 cm) yang diberi judul Melintas di Atas Kota Chagall. Dhukan terinspirasi sekaligus merespons lukisan Marc Chagall pada 1918 yang berjudul Over The Town (141 cm x 197 cm).
Dhukan hanya memakai unsur lanskap bagian bawah Over The Town berupa rumah-rumah atau perkampungan. Namun, ia mengganti latar dari terang menjadi gelap serta sosok sepasang manusia yang melayang digantikan kelinci berbusana tuksedo, berkacamata trendi, dan sedang aksi mengudara menggunakan motor kros.
“Lukisan saya memang merespons Over The Town karya Marc Chagall yang saya amat kagumi,” kata Dhukan. Latar gelap atau malam adalah waktu kreatif bagi Dhukan yang ‘hidup’ dan berkarya ditemani bercangkir-cangkir kopi hitam tanpa gula dan berbatang-batang rokok. Kelinci ibarat dirinya dan kita yang ingin bebas tetapi juga terancam dikekang sebagai korban percobaan.
Cukup terhenyak dengan karya Vincent Prijadi Purwono, pemuda autis 19 tahun, melalui lukisan akrilik pada kanvas berjudul Soldier In New York (100 cm x 100 cm). Sosok laskar rubah dengan topi hitam menutupi hampir seluruh wajah dan dua granat asap melinkar di dada. Di belakang ada lokomotif tua yang kukuh dan bernomor 1206. Lukisan terinspirasi dari potongan gambar dalam ingatan ketika melihat permainan atau gim dalam jaringan (online).
Selain mereka ada karya-karya dari Agung Tato, Agus Koecink, Asri Nugroho, Benny Wicaksono, Ben Wong, Dhanoe, Doddy ‘Mr D” Hernanto, Fabiola Natasha, Jenny Lee, Joni Ramlan, Jopram, Laksmi Shitaresmi, Lini Natalini Widhiasi, LK Bing, Syalabi Asya, dan Yoes Wibowo. Pameran juga menampilkan sebagian karaya mendiang maestro lukis Surabaya yakni Amang Rahman Jubair, Hening Purnamawati, Ivan Hariyanto, Lim Keng, dan Tedja Soeminar.
Periferi
Menurut kurator Irawan Hadikusumo, periferi biasanya digunakan untuk penggambaran kesenjangan sosial misalnya hubungan negara kaya dan negara miskin. Periferi dianggap sebagai wilayah di batas luar yang tertinggal dalam berbagai aspek pemajuan kehidupan masyarakat. Namun, dalam konteks kebudayaan, istilah ini dipakai untuk menyebut kota-kota di batas luar pusaran perkembangan seni rupa Indonesia misalnya Surabaya.
Irawan melanjutkan, tidak dapat dipungkiri bahwa daerah-daerah yang mendapat sorotan atau malah dianggap elite dalam pusaran seni rupa ialah Yogyakarta, Bali, dan Bandung sebagai penghasil. Jakarta atau Ibu Kota juga mendapat sorotan tetapi lebih sebagai pasar seni rupa. “Surabaya di mana? Bagaimana kehidupan seni rupa di lainnya?,” katanya.
Pameran memang pada akhirnya menampilkan karya-karya yang dianggap oke dari para perupa/pelukis Surabaya. Eksibisi menjadi suatu pernyataan bahwa Bumi Pahlawan juga eksis, ada, dalam pusaran seni rupa meski dianggap berada di batas luar.
Bahwasanya, pelukis Dhanoe mengatakan, seni rupa bukan kompetisi dan tidak ambil pusing dengan status periferi pada Surabaya atau tidak. Dhanoe mengakui jarang pameran di Surabaya karena apresiasi dan publikasi lebih terasa ketika di luar dalam eksibisi tunggal atau bersama. “Padahal, kolektor-kolektor lukisan yang gila, duitnya tidak akan habis, banyak dari Surabaya,” ujarnya.
Surabaya dikenal karena sejarah keberaniannya sehingga itulah yang mungkin karakter yang jangan dilupakan oleh para perupa dan pelukisnya
Dhanoe meneruskan, tetap berkarya di Surabaya karena memang menikmati dan mensyukuri ruang hidup di sini. Tiada jaminan akan terus di Bumi Pahlawan karena seni budaya itu dinamis. Meski ada pilihan untuk statis misalnya berada di zona nyaman, tetapi proses ke sana pada prinsipnya dinamis. “Saya berpameran di mana saja tempat yang mengapresiasi karya saya,” katanya.
Dhukan sependapat bahwa batas luar tidak menjadi persoalan. Surabaya merupakan bandar terkemuka di Nusantara adalah keniscayaan dan sejarah perjalanan peradabannya yang diyakini sudah 730 tahun. Surabaya tetap bisa menjadi dirinya sendiri dalam pusaran seni rupa Indonesia tanpa harus ngotot seperti Bali, Yogyakarta, atau Bandung.
“Surabaya dikenal karena sejarah keberaniannya sehingga itulah yang mungkin karakter yang jangan dilupakan oleh para perupa dan pelukisnya,” kata Dhukan. Keberanian itu telah dicontohkannya dalam merespons karya maestro dunia Marc Chagall. Respons bukan secara negatif melainkan positif karena kecintaan dan kekaguman Dhukan sehingga memberikan tempat terhormat bagi sebagian karya Marc Chagall yang diberi sentuhan respons manusiawinya.
Surabaya bisa ada di mana-mana termasuk dari perupa/pelukis yang sebagian hidup diaspora. Sepertinya bukan masalah berada di batas luar karena memang sudah ada yang berkarya tidak di dalam. Seni rupa Surabaya akan terus ada seiring perjalanan kotanya. Akan hilang jika Surabaya dihapus dalam memori manusia dalam segala wujudnya yang notabene mustahil.