Wadah Ekspresi bagi Perupa Minim, Geliat Budaya di Sumsel Mandek
Wadah bagi pegiat seni rupa di Sumatera Selatan untuk mengekspresikan karyanya dinilai masih minim. Mereka cenderung bekerja sendiri. Kondisi inilah yang membuat perkembangan kebudayaan di Sumsel cenderung stagnan.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
KOMPAS/RHAMA PURNA JATI
Seorang pengunjung sedang melihat karya seni di sebuah pameran karya seni bertajuk ”Ekspresi Musi” di Taman Budaya, Jakabaring, Palembang, Sumatera Selatan, Selasa (30/5/2023). Ada 148 karya seni dari 48 seniman yang tergabung dalam 12 komunitas di Sumsel.
PALEMBANG, KOMPAS — Wadah bagi pegiat seni rupa di Sumatera Selatan untuk mengekspresikan karyanya dinilai masih minim. Mereka cenderung bekerja sendiri. Kondisi inilah yang membuat perkembangan kebudayaan di Sumsel cenderung stagnan.
Hal ini disampaikan oleh sejumlah perupa yang mengikuti pameran seni rupa bertajuk ”Ekspresi Musi” di Taman Budaya, Palembang, Sumatera Selatan, dari 30 Mei-3 Juni 2023. Dalam pameran ini terdapat 148 karya seni rupa yang dibuat oleh 48 seniman dari 12 komunitas seni rupa di Sumsel.
Koordinator Pameran Seni Rupa Ekspresi Musi Rudi Maryanto, Selasa (30/5/2023), di Palembang menuturkan, ruang ekspresi bagi para perupa di Palembang sangat minim. Akibatnya, mereka harus bekerja sendiri untuk bisa mendapatkan ruang guna memamerkan karyanya. Misalnya bekerja sama dengan perbankan, kafe, dan sejumlah hotel. ”Karena ekosistem seni di Palembang belum terbentuk optimal,” ujarnya.
Aktivitas seni rupa di Palembang belum sepadat di Yogyakarta. Di sana, kegiatan berkesenian selalu bergulir hampir setiap minggu. Di Yogyakarta, ujar Rudi, ada galeri, pasar seni yang selalu menggelar pameran.
Beberapa pengunjung sedang melihat karya seni di sebuah pameran karya seni bertajuk ”Ekspresi Musi” di Taman Budaya, Jakabaring, Palembang, Sumatera Selatan, Selasa (30/5/2023). Ada 148 karya seni dari 48 seniman yang tergabung dalam 12 komunitas di Sumsel.
Aktivitas ini memunculkan ekosistem seni yang berkesinambungan di mana para pegiat seni rupa dapat memasarkan karyanya dan konsumen pun tidak sulit memperoleh karya yang diincarnya. ”Tak heran, banyak pegiat seni rupa di Sumsel juga merupakan jebolan dari Institut Seni Indonesia Yogyakarta,” ujarnya.
Padahal dari segi kemampuan, perupa di Sumatera Selatan tidaklah berbeda jauh dari beberapa kota seni di Indonesia. ”Hanya satu kekurangan perupa kita di Palembang, yakni minimnya wadah,” ujar Rudi.
Jika dikumpulkan, Rudi menduga ada sekitar 500 perupa yang ada di Sumsel. Hanya saja, sebagian besar memutuskan untuk berkarya sendiri tanpa tergabung dalam komunitas.
Karena ekosistem seni di Palembang belum terbentuk optimal.
Ketua Komunitas Seni Rupa Balarupa Marta Astrawinata menuturkan, wadah berkesenian sangat dibutuhkan bagi pegiat seni. Sebab, di sanalah para seniman bisa saling bertukar gagasan, ide, serta saling melengkapi satu dengan lainnya, termasuk tempat untuk regenerasi.
Beberapa pengunjung sedang melihat karya seni di sebuah pameran karya seni bertajuk ”Ekspresi Musi” di Taman Budaya, Jakabaring, Palembang, Sumatera Selatan, Selasa (30/5/2023). Pameran ini menjadi salah satu wadah ekspresi bagi para pegiat seni di Sumsel untuk memamerkan hasil karyanya.
Wadah ekspresi
”Terkait wadah ekspresi, tidak perlu membandingkan Sumsel dengan Yogyakarta yang memang memiliki segudang seniman. Dengan Jambi atau Lampung saja, kita masih kalah,” ujarnya.
Saat ini sebagian seniman di Palembang sedang berjuang untuk mencari tempat yang representatif untuk dijadikan tempat berkesenian. Selain Taman Budaya yang ada di daerah Jakabaring, Palembang, ada Balai Pertemuan yang terletak tak jauh dari Kantor Wali Kota Palembang, yang saat ini sedang diperjuangkan untuk dijadikan tempat berkesenian.
Budayawan Sumsel, Erwan Suryanegara, berpendapat, potensi seni di Sumsel sungguhlah besar. Akar seni di Sumsel pun telah tertanam sejak lama bahkan sejak masa megalitik. Hal ini terlihat dari karya megalitik pasemah yang menggambarkan adanya monumen Nusantara yang dibuat atas dasar keberagaman. ”Monumen yang dibuat tidak pernah sama,” ujarnya.
Hanya keunggulan peradaban ini tidak diteruskan secara maksimal dengan dukungan sistem pendidikan seni yang memadai. Berbeda dengan Solo, Padang, Yogyakarta, dan Makassar yang memiliki institut seni, di Palembang tidak ada lembaga pendidikan yang khusus bergelut di bidang itu.
KOMPAS/RHAMA PURNA JATI
Edy Fahyuni (55) seorang seniman seni rupa di Palembang, Sumatera Selatan, sedang menggambar gedung balai pertemuan di kawasan Sekanak, Palembang. Sejumlah seniman meminta agar gedung ini digunakan sebagai gedung kesenian.
Padahal, dahulu, Sumsel sudah memiliki sekolah seni yang cukup mumpuni. Namun, sekarang tidak lagi dan berganti menjadi Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 7 Palembang.
Karena itu, menurut Erwan, ke depan perlu dicanangkan untuk pembentukan Institut Seni Sriwijaya yang akan mengasah kemampuan berkesenian para generasi muda Sumatera Selatan. Dari sanalah akar berkesenian akan mulai bertumbuh.
Sekretaris Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumsel Megawati berkomitmen akan menyediakan ruang berekspresi bagi para seniman, salah satunya melalui taman budaya. Menurut dia, kegiatan berkesenian bisa memberikan penghidupan bagi setiap orang yang bergelut di dalamnya.
”Karena hanya manusia yang berintelegensi tinggi yang bisa berkesenian,” ujarnya.
Dirinya juga mengajak para generasi muda untuk turut berkarya dalam dunia seni. ”Dengan karya seni yang mumpuni, selain dapat menciptakan peluang kerja, juga dapat mengangkat nama Sumatera Selatan di kancah dunia,” ujarnya.