Tekad Tekan ”Stunting”, Sulut Soroti Kehamilan Remaja
Pemerintah bertekad menekan angka tengkes atau ”stunting” hingga ke angka 12,37 persen pada 2024 demi mendukung pencapaian target nasional sebesar 14 persen. Pemprov diharapkan turut mengatasi kehamilan remaja.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·5 menit baca
MANADO, KOMPAS — Pemerintah bertekad menekan angka tengkes atau stunting hingga ke angka 12,37 persen pada 2024 demi mendukung pencapaian target nasional sebesar 14 persen. Pemerintah kabupaten dan kota berharap pemerintah provinsi bisa turut mengintervensi, terutama dalam mengatasi kehamilan remaja.
Berdasarkan hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI), prevalensi tengkes di Sulut turun dari 21,6 persen pada 2021 menjadi 20,5 persen atau setara dengan 2.870 anak di bawah lima tahun (balita) pada 2022. Hingga akhir 2023, prevalensi tengkes diharapkan terus berkurang hingga 15,42 persen, kemudian ditekan lebih jauh ke 12,37 persen.
Hal ini mengemuka dalam penilaian hasil kinerja delapan aksi konvergensi percepatan penurunan tengkes tahun 2022 Provinsi Sulut yang digelar di Kalawat, Minahasa Utara, Senin-Rabu (29-31/5/2023). Setiap pemerintah kabupaten/kota memaparkan hasil kerjanya.
Dari 15 kabupaten/kota di Sulut, enam di antaranya berhasil mencapai atau melampaui target prevalensi tengkes, antara lain Manado dan Kepulauan Siau Tagulandang Biaro (Sitaro). Sebaliknya, tengkes justru meningkat di lima kabupaten/kota, seperti Minahasa Utara dan Kepulauan Talaud.
Dalam paparan pada Selasa (30/5), Wakil Wali Kota Manado Richard Sualang mengatakan, ada 95 anak balita dengan gangguan pertumbuhan per Agustus 2022, menurun dari 120 kasus pada 2021. Menurut data SSGI, Manado mencatatkan penurunan prevalensi dari 23,8 persen menjadi 18,4 persen selama periode itu. Capaian ini sedikit melampaui target 18,93 persen yang ditetapkan sebelumnya.
”Kami memantau 1.000 hari pertama kehidupan anak. Ada juga beberapa kelompok sasaran, seperti remaja 10-18 tahun, calon pengantin, dan ibu hamil. Kami juga beri tablet tambah darah, bina keluarga remaja, dan konseling reproduksi dan keluarga berencana (KB),” kata Richard.
Kendati demikian, ada beberapa masalah yang dihadapi, seperti rendahnya kesadaran masyarakat untuk mengukurkan bayi di puskesmas dan kekurangan dana karena penyesuaian anggaran. ”Ada juga kesulitan pendataan anak stunting karena keengganan masyarakat yang tidak mau anaknya dikasih label stunting,” kata Richard.
Kepala Dinas Kesehatan Manado Steaven Dandel menambahkan, terdapat pula masalah pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif selama enam bulan setelah kelahiran. Beberapa bayi tidak mendapatkannya karena ibu di kota jasa, seperti Manado, hanya mendapatkan cuti pascakehamilan selama tiga bulan, kemudian kembali sibuk bekerja.
”Memang sulit di daerah perkotaan, tetapi itu bukan alasan. Jadi, kami intensifikasi kelas ibu hamil serta konseling selama kehamilan karena ASI eksklusif itu intervensi utama pencegahan stunting,” kata Steaven.
Sementara itu, Kepulauan Sitaro mencatatkan penurunan prevalensi stunting, menurut SSGI, dari 22,5 persen menjadi 14,4 persen selama 2021-2022. Angka itu setara dengan 37 anak balita pada 2021, kemudian turun menjadi 22 pada 2022.
Kehamilan remaja
Bupati Sitaro Eva Sasingen mengatakan, ada beberapa fasilitas kesehatan yang dikerahkan untuk mengatasi stunting, yaitu dua rumah sakit, 13 puskesmas, 128 pos pelayanan terpadu (posyandu), dan 10 balai penyuluh KB. Kendati begitu, ada satu kendala yang, menurut dia, sulit diatasi pemkab, yaitu kehamilan remaja yang rentan berujung pada tengkes.
”Belum tercapainya target menghapus stunting itu karena tingginya angka kehamilan remaja. Tahun 2021 ada 173 kehamilan dari total 859 ibu hamil yang jadi sasaran. Tahun 2022 baru turun ke 141. Provinsi tolong bantu sosialisasi ke sekolah-sekolah karena kebanyakan remaja hamil adalah anak-anak SMA, dan SMA ada di bawah kewenangan provinsi,” kata Eva.
Hal senada disuarakan Yohanes Kamagi, Sekretaris Daerah Kabupaten Talaud. Prevalensi tengkes di sana, menurut hasil SSGI, adalah 25,8 persen pada 2021 atau 588 anak. Pada 2022, jumlahnya menurun menjadi 430, tetapi persentasenya meningkat menjadi 26 persen. Salah satu penyebab masalah itu adalah pergaulan bebas di kalangan remaja.
”Ini disebabkan juga oleh kondisi ekonomi, penyakit ibu, dan pengetahuan orangtua. Akibatnya, ada 72 persen dari jumlah bayi di bawah usia enam bulan yang tidak dapat ASI eksklusif,” katanya.
Untuk sementara, baik di Sitaro maupun Talaud, anak tengkes dibantu dengan menunjuk pejabat daerah sebagai orang tua asuh. Di samping itu, ada pula program lain, seperti pemberian makanan tambahan, yang juga melibatkan pihak swasta dan badan usaha milik daerah (BUMD).
Asisten Teknis Wilayah Sulawesi Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Sam Patoro Larobu mengatakan, saat ini memang hanya ada 2.870 anak tengkes yang menjadi beban provinsi. Namun, ada 1.308 ibu hamil kekurangan energi kronis (KEK), 1.921 ibu hamil risiko tinggi, dan 1.153 kehamilan remaja.
”Ada calon anak stunting dari sebanyak 4.342 calon ibu. Kita masih punya empat bulan sampai Oktober sebelum SSGI dilaksanakan lagi. Itu masi belum menghitung remaja yang sembunyi-sembunyi hamilnya,” kata Sam.
Sementara itu, Kepala Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Sulut Diano Tino Tandaju berharap pemerintah daerah bisa mengakselerasi kinerja. Pencegahan tengkes harus menjadi gerakan, bukan hanya program. BKKBN siap membantu dengan menyediakan 7.044 orang dalam tim pendamping keluarga se-Sulut.
Namun, hal ini harus diimbangi dengan komitmen pemerintah memanfaatkan Bantuan Operasional Keluarga Berencana (BOKB). Dari total dana Rp 54,97 miliar yang disediakan pada 2023, baru Rp 2,19 miliar yang dimanfaatkan di Sulut. Itu pun hanya oleh delapan daerah.
Hal yang sama terjadi pada BOKB tengkes. Dari Rp 24,81 miliar yang dianggarkan, baru Rp 603,59 juta yang terpakai oleh lima daerah. ”Semua tergantung para pemimpin. Uang sudah ada, metode sudah ada, tinggal kebijakan strategis ini dijalankan pemerintah kabupaten/kota,” kata Tino.
Saat ini, prevalensi tengkes 20,5 persen di Sulut merupakan yang terendah di Sulawesi. Sulawesi Barat berada di posisi pertama dengan prevalensi 35 persen, disusul Sulawesi Tengah dengan 28,2 persen.