693 Pejabat dan Anggota Legislatif di Wilayah Papua Tidak Laporkan Harta
Dari hasil pendataan KPK di Papua, Papua Tengah, dan Papua Selatan, ditemukan 693 pejabat pemda dan anggota legislatif yang belum melaporkan harta kekayaan.
Oleh
FABIO MARIA LOPES COSTA
·3 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS — Sebanyak 693 orang yang terdiri dari pejabat pemerintah dan anggota legislatif di wilayah Papua belum menyampaikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara. Perihal ini berdasarkan pendataan Komisi Pemberantasan Korupsi hingga Mei 2023.
Kepala Satuan Tugas Koordinasi Supervisi Pencegahan Wilayah V Komisi Pemberantasan Korupsi Dian Patria, saat dihubungi dari Jayapura, Papua, Selasa (30/5/2023), membenarkan informasi tersebut. Ia mengatakan, temuan ini merupakan gabungan dari pejabat dan anggota legislatif yang belum menyampaikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang tersebar di 26 lembaga.
Dian memaparkan, 693 orang yang belum melaporkan LHKPN ini tersebar di tiga provinsi, yakni Papua, Papua Pegunungan, dan Papua Selatan. Daerahnya meliputi Merauke, Mappi, Boven Digoel, Biak Numfor, Supiori, Waropen, Kepulauan Yapen, Sarmi, Kabupaten Jayapura, Kota Jayapura, Tolikara, Pegunungan Bintang, Nduga, Mamberamo Tengah, Lanny Jaya, Yalimo, Yahukimo, dan Jayawijaya.
”Dari 693 orang ini, terdapat mantan kepala daerah yang sama sekali tidak melaporkan LHKPN selama menjabat. Hal ini menunjukkan banyak kepala daerah yang belum transparan melaporkan LHKPN. Padahal, sudah terdapat delapan kepala daerah di Papua yang ditangkap KPK,” kata Dian.
Ia menuturkan, banyaknya pejabat dan anggota legislatif yang belum melaporkan LHKPN menjadi indikasi potensi tindak pidana korupsi. Selain itu, adanya potensi tindak pidana pencucian uang karena tidak transparan menyampaikan harta kekayaan miliknya.
”KPK saat ini sedang mengembangkan metode untuk penyelidikan berdasarkan gaya hidup pejabat publik dan tidak patuh melaporkan LHKPN. Kami juga telah berkoordinasi dengan inspektorat di setiap kabupaten dan kota untuk mengingatkan pejabat dan anggota legislatif agar rutin melaporkan LHKPN,” kata Dian.
Dia menambahkan, tidak patuhnya pelaporan LHKPN menjadi salah satu indikator rendahnya nilai tata kelola pemerintahan di daerah-daerah tersebut. Misalnya, di Sarmi dengan nilai 19 dan Biak Numfor dengan nilai 37. Adapun angka standar nasional tata kelola pemerintahan secara nasional ialah 76.
KPK menggunakan aplikasi Monitoring Center for Prevention (MCP) untuk melihat tata kelola pemerintahan di kabupaten dan kota. Aplikasi ini menghitung nilai pencegahan korupsi di suatu daerah dengan skala 10 hingga 100.
Indikator untuk penilaian dengan MCP meliputi perencanaan dan penganggaran APBD, pengadaan barang dan jasa, manajemen aset daerah, manajemen aparatur sipil negara, pengawasan, perizinan, optimalisasi pajak daerah, dan tata kelola dana desa.
Sementara itu, Inspektur Provinsi Papua Anggiat Situmorang mengakui masih terdapat pejabat yang belum melaporkan LHKPN. Hal ini berdampak pada rendahnya nilai tata kelola pemerintahan di Papua.
”Kami telah berkoordinasi dengan seluruh jajaran inspektorat di delapan kabupaten dan satu kota di Papua. Mereka akan menyampaikan kepada setiap pejabat yang belum melaporkan LHKPN berdasarkan data dari KPK,” ucap Anggiat.