Pemimpin Pesantren di Lombok Diduga Cabuli Santrinya
Seorang pemimpin pondok pesantren di Sikur, Lombok Timur, diduga melakukan tindak kekerasan seksual kepada santrinya. Modusnya dengan menjanjikan surga kepada korbannya.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·4 menit baca
MATARAM, KOMPAS — Kasus dugaan kekerasan seksual kembali mencuat di Nusa Tenggara Barat. Hal itu terjadi setelah seorang pemimpin pondok pesantren di Sikur, Kabupaten Lombok Timur, berinisial HSN (50), diduga mencabuli santrinya. HSN telah ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka.
Badaruddin, kuasa hukum korban dari Koalisi Anti-Kekerasan Seksual NTB dan Ketua Lembaga Studi dan Bantuan Hukum (LSBH) NTB, mengatakan, sampai saat ini baru satu korban HSN yang melapor dan mereka dampingi. Korban ini diduga mengalami kekerasan seksual pada 2023.
Meski demikian, kata Badaruddin, berdasarkan informasi yang mereka kumpulkan, korban HSN bisa jauh lebih banyak. Apalagi, HSN diduga melakukan perbuatannya sejak 2012. ”Dugaan kekerasan seksual dilakukan sejak 2012, lalu 2016 hingga 2023. Dari yang kami himpun, dugaannya ada 41 korban,” kata Badaruddin saat dihubungi, Minggu (28/5/2023).
Dia menjelaskan, berdasarkan pengakuan korban yang didampinginya, modus tersangka adalah dengan terlebih dahulu menggelar pengajian umum. Lalu, dilanjutkan pengajian khusus terkait seksualitas. Namun, dalam pengajian khusus itu, HSN membahas hubungan intim suami-istri yang harusnya belum waktunya diberikan kepada para santri.
Dari pengajian khusus itu, kata Badaruddin, jika tersangka tertarik kepada salah seorang santri perempuan, ia akan meminta santri itu untuk bertemu dengannya secara khusus. Namun, tersangka tidak memintanya sendiri, tetapi lewat perantara.
Saat bertemu berdua dengan santrinya itu, HSN diduga melakukan kekerasan seksual. Ia diduga menjanjikan berkah berupa surga kepada santri yang mau melayaninya. ”Perbuatan itu diduga bukan sekali, tetapi berkali-kali kepada satu santrinya,” kata Badaruddin.
Menurut Badaruddin, korban yang telah pindah sekolah saat ini dalam kondisi psikologis yang stabil. ”Itu yang kami prioritaskan di awal sejak mulai pendampingan. Hal itu agar kondisi psikologisnya tidak terganggu dan korban tidak mengambil tindakan yang mengancam keselamatannya. Kami juga sedang mengupayakan ganti rugi ke negara lewat Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban,” katanya.
Badaruddin berharap proses hukum terhadap HSN bisa berjalan dengan baik. Tersangka juga diberatkan hukumannya agar rasa keadilan terpenuhi. Jangan sampai hukuman yang diterima tersangka tidak sebanding dengan beban yang ditanggung korban.
”Sekarang, kami juga telah membuka posko pengaduan bagi siapa saja yang merasa pernah menjadi korban. Kami menjamin kerahasiaan identitas mereka,” kata Badaruddin.
Ditahan
Dalam konferensi pers di Mataram, Kepala Kepolisian Resor Lombok Timur Ajun Komisaris Besar Hery Indra Cahyono mengatakan, HSN telah ditangkap pada 16 Mei 2023. Sebelum HSN, Polres Lombok Timur juga menangkap LM (40) pada 4 Mei 2023 untuk laporan dugaan kekerasan seksual dari kasus berbeda.
Hery menyebut ada tiga korban dari dua kasus tersebut. Namun, dia menolak untuk merincinya. Dia juga tidak mengonfirmasi tentang jumlah korban kekerasan seksual yang diduga mencapai 41 orang. Hanya saja, menurut Hery, modus para tersangka adalah membujuk rayu korban. Terkait iming-iming janji masuk surga yang dilakukan HSN, kata Hery, masih didalami.
Dalam konferensi pers tersebut, HSN menolak memberikan keterangan apa pun. Saat digelandang petugas meninggalkan tempat konferensi pers, HSN sempat terdengar berteriak bahwa apa yang dituduhkan kepadanya adalah fitnah.
Kedua tersangka dijerat Pasal 81 juncto Pasal 76 D Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Ketetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang 2002 tentang Undang-undang Perlindungan Anak. Mereka terancam pidana penjara maksimal 15 tahun dan denda maksimal Rp 5 miliar.
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda NTB Komisaris Besar Teddy Ristiawan menambahkan, hak korban kekerasan seksual juga tengah diperjuangkan. Sama seperti yang disampaikan LSBH NTB, saat ini perihal itu tengah dalam koordinasi dengan LPSK.
Menurut Teddy, sesuai amanah Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, korban akan mendapatkan restitusi atau penggantian terhadap kerugian moril yang diderita.
Sebelumnya, di NTB juga mencuat kasus Baiq Nuril yang diduga menjadi korban kekerasan seksual pada 2018. Meski menjadi korban, Baiq Nuril justru dilaporkan dan menjadi tersangka Undang-Undang Informasi dan Traksaksi Elektronik (UU ITE). Kasus Baiq Nuril berakhir setelah mendapat amnesti dari Presiden Joko Widodo.