Petani Kopi di Papua Pegunungan Butuh Pendampingan dan Fasilitas Produksi
Kopi dari Papua Pegunungan memiliki kualitas yang baik karena diolah secara organik dan lahan yang luas. Sayangnya, para petani belum dibekali peralatan dan minimnya pengetahuan proses produksi kopi.
Oleh
FABIO MARIA LOPES COSTA
·3 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS — Para petani kopi di sejumlah kabupaten di Provinsi Papua Pegunungan mengeluhkan minimnya kemampuan untuk meningkatkan kualitas kopi arabika produksi mereka. Petani membutuhkan pendampingan dari tenaga ahli dan fasilitas untuk membudidayakan kopi dari proses tanam hingga pascapanen.
Bertus Uopmabin, Ketua Kelompok Kopi Yepi Kiwi asal Distrik Kiwirok, Pegunungan Bintang, di Jayapura, Minggu (28/5/2023), memaparkan, pihaknya masih mengolah buah ceri dengan metode full washed atau basah. Pengeringan biji kopi juga hanya menggunakan alat yang seadanya, yakni menggunakan pisau untuk mengupas kulit biji kopi dan terpal sebagai wadah untuk menjemur biji kopi.
Bertus mengaku, proses pascapanen yang masih menggunakan metode tradisional tersebut menyebabkan produksi biji kopi arabika Kelompok Yepi Kiwi baru mencapai 300 kilogram per bulan. Padahal, setiap petani di Kelompok Yepi Kiwi memiliki luas lahan sekitar 1 hektar.
”Salah satu kendala lainnya adalah proses pemasaran produk kopi ini. Kami harus menggunakan pesawat ke Jayapura untuk memasarkan biji kopi yang belum disangrai kepada konsumen dengan harga jual mencapai Rp 115.000-Rp 120.000 per kilogram,” kata Bertus.
Bertus menuturkan, pihaknya berharap ada pelatihan bagi para petani kopi arabika yang mayoritas tersebar di daerah pegunungan Papua secara rutin. Ini, misalnya, kegiatan Papua Coffee Expo yang diselenggarakan pemilik usaha Meja Kopi dan Netika Consulting di Jayapura pada 24-27 Mei 2023.
”Dalam kegiatan ini, para petani tidak hanya mempromosikan produk kopi dari sejumlah kabupaten di wilayah Papua. Kami juga mendapatkan pelatihan penanaman hingga produksi pascapanen komoditas kopi,” tutur Bertus.
Ketua Kelompok Kopi Okbibab, Primus Uropmabin, yang juga berasal dari Pegunungan Bintang, mengatakan, pihaknya sama sekali tidak mendapatkan bantuan modal, baik dari dana desa maupun dana otonomi khusus, untuk menyediakan peralatan pascapanen. Padahal, kelompok beranggotakan 36 petani di Distrik Okbibab itu memanen 200-300 kilogram biji kopi per bulan.
”Anggota kelompok kami rata-rata memiliki 400 hingga 1.000 pohon kopi di setiap kebunnya. Sayangnya belum ada perhatian berupa bantuan modal, termasuk dari anggaran otonomi khusus, bagi para petani di Okbibab,” ungkap Primus.
Ketua Kelompok Kopi Kurima dari Kabupaten Yahukimo, Eliazer Sekenyap, saat ditemui di Papua Coffee Expo di Jayapura mengaku, banyak pohon kopi milik petani kelompoknya yang telah berusia lebih dari lima tahun. Hal ini menyebabkan hasil panen biji kopi di Kurima kurang optimal. Terdapat 37 petani yang tergabung dalam Kelompok Kopi Kurima.
”Mayoritas pohon kopi yang dimiliki anggota kelompok kami telah berusia lebih dari lima tahun. Seharusnya dilakukan upaya replanting atau penanaman kembali, tapi kami tidak mengetahui caranya,” ucap Eliazer.
Ketua Komunitas Kopi Port Numbay, Roger Liem, berpendapat, kopi arabika dari wilayah Papua Pegunungan memiliki kualitas level dunia karena menggunakan proses pengolahan yang organik. Selain itu, kopi arabika dari Papua Pegunungan menawarkan rasa yang beragam dan unik. ”Kopi arabika dari Papua Pegunungan memiliki kualitas yang baik dan memiliki rasa yang bervariasi, seperti citrus, cokelat, hingga kacang,” ujarnya.
Staf Ahli Bupati Pegunungan Bintang, Gabriel Goa, saat dihubungi, mengatakan, peningkatan kualitasi kopi arabika yang dihasilkan petani menjadi salah satu program utama Pemkab Pegunungan Bintang. Upaya tersebut akan menggandeng PT Javanero, salah satu perusahaan budidaya kopi berlevel nasional.
”Javanero memiliki pengalaman mempromosikan kopi hingga level internasional. Kami akan menjajaki kerja sama dengan Javenero untuk menghasilkan kopi Pegunungan Bintang yang dapat dipasarkan hingga luar negeri,” kata Gabriel.