Mengungkit Kebangkitan Seni Kartun dan Sketsa di Semarang
Kebangkitan seni kartun dan sketsa akan diungkit melalui pameran ataupun lomba-lomba. Seni rupa kartun dan sketsa dinilai efektif untuk menyampaikan pesan kepada generasi muda.
Oleh
KRISTI DWI UTAMI
·4 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Seni kartun dan sketsa dinilai kurang mendapatkan sorotan di Kota Semarang, Jawa Tengah. Padahal, Semarang memiliki sejarah sebagai gudangnya kartunis dan seniman sketsa. Pemerintah setempat berkomitmen akan menyelenggarakan berbagai kegiatan, seperti lomba dan pameran, untuk menggairahkan dunia seni kartun dan sketsa.
Budayawan sekaligus Guru Besar Ilmu Antropologi Universitas Negeri Semarang Tjetjep Rohendi Rohidi mengatakan, Semarang menjadi bagian yang membanggakan dalam bidang seni rupa, termasuk seni kartun dan sketsa. Di kota tersebut muncul banyak maestro dengan karya-karya kartun ataupun sketsa yang masyhur, seperti Jitet Koestana, Koesnan Hoesi, Dhar Cedhar, Nunk Bila, Ifoed, Masdi, Mas Goen, dan Prie GS.
Kartun yang dihasilkan oleh kartunis-kartunis Semarang, dinilai Tjetjep, datang dari kelucuan yang muncul dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu yang membuat kartun-kartun tersebut bisa dinikmati oleh siapa saja.
Meskipun demikian, seni kartun dan sketsa, disebut Tjetjep, masih sering kali dianggap sebagai seni kelas dua. ”Ini menjadi hal yang penting untuk dipahami karena sebenarnya dalam karya seni rupa itu tidak ada kelas-kelas seperti itu,” kata Tjetjep di sela-sela Pameran Kartun dan Sketsa di Selasar Lobi Gedung SMA Negeri 1 Semarang, Minggu (28/5/2023).
Tjetjep menyebut, seni kartun terus berkembang mengikuti zaman. Pada tahun 1960-an, kartun menjadi salah satu representasi ekspresi. Partai politik, misalnya, sering kali menggunakan kartun untuk menyerang partai lain dan menunjukkan partainya lebih baik dari partai lain.
”Pada masa itu, mengungkapkan sesuatu dengan kartu bisa dilakukan secara bebas. Kartun dijadikan media untuk bercanda, bahkan mengumpat dengan bebas. Bisa dibilang, kartunis itu menghaluskan umpatan dengan karya-karyanya,” tutur Tjetjep.
Memasuki masa Orde Baru, banyak kartunis yang dibungkam hingga tak bisa berkutik. Kondisi itu membuat cara-cara penyampaian kartun berubah menjadi sangat halus sehingga setelah itu sangat jarang orang yang menyampaikan ekspresi lewat kartun.
Cara satu-satunya agar seni kartun tetap eksis adalah dengan bermigrasi ke platform digital. Kalau masih tidak, ya, risikonya akan mati.
Kartunis asal Semarang, Jitet Koestana, menyebut, redupnya eksistensi kartun terjadi seiring dengan banyaknya media cetak yang tutup. Pada tahun 1980-1990an, hampir semua media cetak memiliki kolom kartun yang bisa diisi oleh para kartunis. Kini, tidak banyak media cetak yang masih menyediakan kolom kartun.
”Cara satu-satunya agar seni kartun tetap eksis adalah dengan bermigrasi ke platform digital. Kalau masih tidak, ya, risikonya akan mati,” ucap Jitet yang merupakan mantan kartunis harian Kompas tersebut.
Reuni
Untuk kembali membangkitkan seni kartun dan sketsa, alumni SMA Negeri 1 Semarang mengadakan pameran kartun dan seni rupa di selasar lobi gedung SMA Negeri 1 Semarang pada Minggu (28/5/2023)-Sabtu (3/6/2023). Ada puluhan kartun dan sketsa yang dipamerkan dalam acara yang menjadi rangkaian pembuka reuni alumni SMAN 1 Semarang tahun 1991 tersebut.
”Berbicara soal reuni pasti erat kaitannya dengan nostalgia. Di era kami SMA dulu, internet belum masuk. Kebutuhan informasi kami dipenuhi oleh radio, televisi, dan media cetak. Di media cetak itulah kami menemukan kartun-kartun yang menghibur. Kami ingin bernostalgia dengan masa-masa itu,” ujar Bimo Adhi, Ketua Reuni Alumni 1991 SMAN 1 Semarang.
Menurut Bimo, kartun bisa menjadi media untuk menyampaikan kritik dengan santun. Hal ini diharapkan bisa menginsiprasi siswa-siswa di SMAN 1 Semarang sebagai bagian dari generasi penerus bangsa.
”Kalau terkait dengan sketsa, kami rasa sketsa merupakan salah satu cara yang tepat untuk mengabadikan bangunan SMAN 1 Semarang. Kemegahan bangunan yang penuh sejarah itu menjadi kebanggaan tersendiri bagi kami, para alumni,” imbuh Bimo.
Sementara itu, Wali Kota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu juga bertekad untuk kembali membangkitkan seni kartun dan sketsa di wilayahnya. Hal itu dilakukan dengan mengadakan pameran yang skalanya lebih besar.
”Nanti juga akan kami buat lomba membuat sketsa di Balai Kota Semarang karena selama ini belum pernah ada lomba seperti itu di balai kota. Dengan cara ini, anak-anak yang punya bakat di bidang seni sketsa bisa terwadahi. Sembari membuat sketsa, mereka juga diharapkan bisa turut mengenal Kota Semarang, pemerintahnya, maupun sejarah kotanya,” kata Hevearita.
Menurutnya Heveraita, memberikan pemahaman kepada anak-anak melalui visual, seperti kartun, akan lebih efektif dibandingkan dengan lewat penuturan. Misalnya, dalam pameran kartun dan sketsa di SMAN 1 Semarang dipajang sebuah kartun karya Dhar Cedhar yang menggambarkan seseorang menebang pohon. Di batang pohon tersebut ada tulisan radikalisme dan terorisme. Melalui gambar kartun tersebut, anak-anak diyakini Heveraita akan lebih mudah memahami pesan bahwa radikalisme dan terorisme harus ditumbangkan.