357 Pejabat dan 41 Anggota Legislatif di Papua Barat Daya Belum Lapor LHKPN
Sebanyak 357 pejabat pemerintah dan 41 anggota legislatif di Provinsi Papua Barat Daya belum melaporkan LHKPN berdasarkan pendataan KPK.
Oleh
FABIO MARIA LOPES COSTA
·3 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS — Sebanyak 357 pejabat pemerintahan dan 41 anggota legislatif di Provinsi Papua Barat Daya belum menyampaikan laporan harta kekayaan penyelenggara negara. Hal ini berdasarkan temuan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Kepala Satuan Tugas Koordinasi Supervisi Pencegahan Wilayah V Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dian Patria saat dihubungi dari Jayapura, Papua, Rabu (24/5/2023), membenarkan informasi tersebut. Ia mengatakan, 357 pejabat eksekutif dan 41 anggota legislatif tidak patuh menyampaikan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) berdasarkan data KPK hingga bulan Mei tahun 2023.
Dian memaparkan, temuan ini tersebar di sejumlah kota dan kabupaten wilayah Papua Barat Daya. Daerah-daerah ini meliputi Kota Sorong, Kabupaten Sorong Selatan, Kabupaten Maybrat, dan Kabupaten Tambrauw.
Pejabat pemerintah yang belum melaporkan LHKPN, antara lain, adalah Kabupaten Sorong Selatan 246 orang, Kota Sorong 105 orang, Kabupaten Maybrat 4 orang, dan Kabupaten Tambrauw 2 orang. Anggota legislatif yang belum melaporkan LHKPN ialah Kabupaten Maybrat 20 orang, Kabupaten Sorong Selatan 19 orang, dan Kota Sorong 2 orang.
”Temuan ini menunjukkan adanya indikasi pejabat eksekutif dan legislatif yang tidak patuh melaporkan LHKPN. Hal ini bisa menjadi deteksi awal untuk dilakukan penyelidikan tindak pidana korupsi dan pencucian uang,” ujar Dian.
Dian menuturkan, tidak patuhnya pelaporan LHKPN menjadi salah satu indikator rendahnya nilai tata kelola pemerintahan di Papua Barat Daya yang hanya 26. Sementara angka standar nasional tata kelola pemerintahan secara nasional ialah 76.
Adapun KPK menggunakan aplikasi Monitoring Center for Prevention (MCP) untuk melihat tata kelola pemerintahan di kabupaten dan kota. Aplikasi menghitung nilai pencegahan korupsi di suatu daerah dengan skala 10 hingga 100.
Indikator untuk penilaian dengan MCP meliputi, perencanaan dan penganggaran APBD, pengadaan barang dan jasa, manajemen aset daerah, manajemen aparatur sipil negara, pengawasan, perizinan, optimalisasi pajak daerah dan tata kelola dana desa.
”Selain tidak patuhnya LHKPN, penyalahgunaan aset pemerintah juga menjadi salah satu pemicu rendahnya nilai tata kelola pemerintahan di Papua Barat Daya. Dari data sementara kami, ditemukan penyalahgunaan 19 unit kendaraan dinas di Sorong Selatan dan 15 aset bermasalah di Raja Ampat,” ujar Dian.
Ia berharap para pejabat pemerintah daerah di Papua Barat Daya bisa meningkatkan kepatuhan pelaporan LHKPN dan memperbaiki sejumlah indikator dalam MCP. Upaya ini meningkatkan kualitas layanan pemerintah dan program yang ditujukan bagi masyarakat bermanfaat serta tepat sasaran.
Penanganan aset daerah
Diketahui, Papua Barat Daya merupakan provinsi ke-38 di Indonesia yang dimekarkan dari Provinsi Papua Barat pada akhir tahun lalu. Daerah yang terdiri dari satu kota dan lima kabupaten ini dengan angka kemiskinan mencapai 10 persen.
”Oknum yang tak mau mengembalikan aset pemda di Papua Barat Daya dapat diproses hukum. Kami telah bersinergi dengan pihak kepolisian setempat untuk menindaklanjuti masalah ini,” ujar Dian.
Sementara itu, Penjabat Gubernur Papua Barat Daya Muhammad Musaad berharap pelaksanaan pembangunan di Papua Barat Daya yang berstatus daerah otonom baru berjalan sesuai dengan prosedur sehingga dapat berdampak bagi kesejahteraan masyarakat. ”Kami berkomitmen melaksanakan berbagai program pembangunan yang baik sehingga Papua Barat Daya menjadi contoh bagi daerah lain,” kata Musaad.