Kisah Ali, 23 Tahun Menanti Kepastian Hidup
Sudah 23 tahun keluarga Ali hidup di Indonesia sebagai imigran ilegal tanpa dokumen identitas apa pun. Keluarga asal Afghanistan-Suriah itu berharap inisiatif dari Pemerintah Indonesia untuk memperjelas status mereka.

Ali (27) bersiap dilantik menjadi Ketua Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Manado, 18 Maret 2023, di Manado, Sulawesi Utara.
Kejelasan identitas kependudukan menjadi hal yang selama 23 tahun terakhir ini dinantikan Ali (27), pengungsi Afghanistan, yang kini hidup di Kota Manado, Sulawesi Utara. Selama tinggal di Manado, Ali tidak mendapatkan perlakuan buruk dari masyarakat dan lingkungan sekitar. Bahkan, Ali terpilih dan dilantik menjadi Ketua Himpunan Mahasiswa Indonesia atau HMI cabang Manado.
Selama 13 tahun terakhir, Ali hidup dan keluarganya hidup di Kota Manado. Sebelumnya, ia tinggal di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Meskipun telah lebih dari dua dekade tinggal di Indonesia, status kewarganegaraan Ali belum jelas. Ali beruntung lingkungan tempat tinggalnya saat ini memberinya banyak kesempatan dan keleluasaan, termasuk di bidang pendidikan dan ekonomi.
Baca Juga: Kisah Keluarga Imigran Tahanan PBB
Sebuah upacara pelantikan yang dilaksanakan di Graha Gubernuran pada Minggu malam, 18 Maret 2023, membuktikan hal itu. Di gedung milik Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara itu, Ali yang secara hukum berstatus imigran ilegal dilantik menjadi Ketua HMI Cabang Manado.
Ketua Pengurus Besar (PB) HMI Raihan Ariatama datang jauh-jauh dari Jakarta untuk melantiknya langsung. Namun, kata Ali yang namanya memang hanya satu kata, Raihan nyaris batal datang setelah mengetahui Ali berstatus imigran ilegal melalui pertanyaan yang dikirimkan Kompas lewat pesan langsung (direct message) di Instagram.

Radinal Muhdar (27) memakaikan peci ke kepala Ali (27) sebagai tanda pelantikannya sebagai Ketua Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Manado di Graha Gubernuran, Manado, Sulawesi Utara, 18 Maret 2023. Radinal adalah Ketua HMI Cabang Manado periode 2021-2023, sementara Ali akan menjabat selama 2023-2024.
”Ketua PB takut waktu pelantikan, tiba-tiba (petugas) Imigrasi datang,” ujar Ali via telepon sehari menjelang hari pelantikan.
Ihwal kewarganegaraan pengurus dan ketua tidak diatur tegas di dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga HMI. Maka, malam itu, Ali sah menjadi Ketua HMI Cabang Manado 2023-2024 setelah mengucap sumpah setia bersama pengurus terpilih lainnya di bawah naungan Al Quran.
Baca juga: DK PBB Desak Taliban Cabut Larangan Perempuan Bekerja
Baginya, pelantikan itu membuktikan ia telah diterima kawan-kawannya, bahkan warga Manado secara umum, sebagai warga yang tak berbeda dari warga negara Indonesia (WNI) lainnya. Ia bahkan bisa kuliah di Jurusan Arsitektur Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) sampai lulus dengan gelar sarjana teknik pada 2019.
”Saya sudah merasa seperti orang Indonesia karena dari umur 4 tahun sudah berada di Indonesia, hanya saja dibatasi sistem administrasi. Tetapi, dalam kehidupan sehari-hari, bisa dikatakan tidak ada sekat antara saya dan masyarakat Indonesia, terutama di Manado. Kalau ada sekat, tidak mungkin saya diberikan kepercayaan dalam berbagai kegiatan di HMI,” kata Ali.

Ali (27) menunjukkan ijazah-ijazah pendidikannya dari SD sampai lulus S-1 di ruang tamu rumah kontrakannya di Wonasa Kapleng, Manado, Sulawesi Utara, 22 November 2022. Ali adalah sarjana arsitektur lulusan Universitas Sam Ratulangi.
Dalam pidatonya setelah dilantik, Ali menyatakan akan berfokus dalam pengaderan agar HMI bisa mencetak kader-kader berkualitas yang juga memajukan Islam. Namun, Ali tak menyinggung sedikit pun situasi politik Indonesia.
Sejak aktif di HMI pada 2017, Ali memang menjauhi aktivitas-aktivitas yang berbau politis, seperti aksi mahasiswa. Ia tak ikut aksi Reformasi Dikorupsi pada 2019 ataupun aksi penolakan Undang-Undang Cipta Kerja pada 2020. ”Karena saya bukan warga negara Indonesia, takutnya jadi masalah,” katanya.
Bukan pengungsi
Ali lahir pada 3 Juli 1995 di Damaskus, Suriah. Ayahnya, almarhum Mohammad Rahim, adalah orang beretnis Hazara dari Afghanistan, sementara ibunya, Amira Mustafa (50), berasal dari Suriah. Ia memiliki kakak bernama Amar (30) dan adik bernama Fatimah (25).
Ali memiliki seorang paman yang juga etnis Hazara dari Afghanistan bernama Mohammad Yaqub (62) dan bibi asal Suriah, Aqila Douraiyah (50). Pasangan itu memiliki lima anak, yaitu almarhum Sajjad, Zahra (27), Yahya (23), serta anak laki-laki yang dinamai dengan Tahanan PBB, dan anak perempuan yang dinamai Tahanan PBB II.

M Yaqub M Karim (61, kiri), Aqila Douraiyah (50, kanan depan), Tahanan PBB II alias Sakinah (12, berseragam), dan Amira Mustafa (50, berbaju merah jambu) berjalan meninggalkan Universitas Sam Ratulangi, Manado, Sulawesi Utara, setelah menghadiri acara wisuda Amar, 9 Februari 2023.
Kedua anak terakhir mereka dinamai dengan Tahanan PBB sebagai bentuk protes kepada Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) yang dinilai tidak memproses status mereka sebagai pengungsi. Dalam kehidupan sehari-hari, Tahanan PBB dipanggil dengan Nur (19) dan Tahanan PBB II dipanggil Sakinah (12).
Kecuali Amar, mereka semua tinggal di sebuah kontrakan dengan tiga kamar tidur di daerah Wonasa Kapleng, Kecamatan Singkil, Manado. Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Sulut membiayai sewa rumah tersebut Rp 40 juta setahun.
Amar menikahi perempuan Manado, memiliki seorang putri, dan kini tinggal di rumah mertuanya di daerah Karombasan. Adapun Rahim dan Sajjad meninggal pascainsiden bakar diri di Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Manado pada 2019.
Kini, sudah 23 tahun keluarga Ali hidup di Indonesia sebagai imigran ilegal tanpa dokumen identitas apa pun, yakni 11 tahun di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, dan 13 tahun di Manado. Permohonan suaka mereka kepada UNHCR telah ditolak tiga kali, yaitu pada 2000, 2009, dan 2018 karena dinilai ”tidak kooperatif”.
Akibatnya, mereka tidak mendapatkan status sebagai pengungsi dan tak dapat dipindahkan ke negara ketiga pemberi suaka, termasuk Australia.
Australia adalah negara tujuan utama mereka ketika kabur dari Kabul, Afghanistan, antara akhir 1999 dan awal 2000. Mereka pun terjebak di Indonesia, negara yang tak menerima pengungsi karena tak meratifikasi Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi.

Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Manado, Sulawesi Utara, 7 Maret 2023.
Melalui pernyataan tertulis, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kanwil Kemenkumham) Sulut Ronald Lumbuun menyebut keluarga Ali sebagai immigratoir, atau pelanggar aturan keimigrasian. ”Harus dikenai tindakan administratif keimigrasian berupa detensi (penahanan) dan deportasi sesuai UU Keimigrasian,” katanya.
Kendati demikian, sampai hari ini, Ali dan keluarganya masih berada di Indonesia. ”Sudah ada upaya oleh Divisi Keimigrasian Kanwil Kemenkumham Sulut untuk berkoordinasi dengan pihak Kedutaan Afghanistan di Jakarta terkait dengan penanganan mereka, tetapi proses pemulangan sulit dilakukan karena keadaan politik di sana,” kata Ronald.
Di sisi lain, Ali dan keluarganya tak bisa dinaturalisasi menjadi WNI. UU No 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan mengatur pemberian kewarganegaraan hanya dapat diakses oleh mereka yang masuk secara sah ke Indonesia dan memiliki penghasilan tetap. Artinya, mereka harus taat membayar pajak.

Ali (27) memanen selada dari kebun hidroponik di teras rumahnya di Wonasa Kapleng, Manado, Sulawesi Utara, 12 September 2022. Sebagai imigran ilegal yang sudah 23 tahun tinggal di Indonesia, berhidroponik adalah salah satu cara untuk bermata pencarian.
Terdampar
Ali tak ingat banyak tentang Kabul, tempat tinggalnya ketika berusia 3-4 tahun, apalagi Damaskus, kota kelahirannya. Jika menerawang ke masa lampau, ingatan hanya akan membawanya ke sebuah kapal kayu reyot yang terombang-ambing di tengah Samudra Hindia.
”Di kapal itu, kami dijanjikan akan selamat, dibawa ke negara lain (Australia). Lebih kurang 14 hari kami di kapal. Kondisinya kacau karena mesin kapal rusak. Kemudian, malam-malam di tengah laut, tante saya (Aqila) melahirkan adik sepupu saya, Yahya. Setelah itu, lebih kurang tiga hari kami di laut sampai kapal terdampar di Sumbawa,” kata Ali.
Adalah Yaqub dan Rahim, paman dan ayah Ali, yang membawa mereka sekeluarga dalam perjalanan panjang hingga terdampar di Indonesia. Dua kakak beradik itu telah mengungsi sejak 1986 ke Damaskus akibat perang antara Afghanistan dan Uni Soviet, disusul perang antarkelompok Mujahidin yang berlangsung tahun 1978-1996.
Harapan untuk hidup tenang di Kabul sempat mengambang setelah kekuasaan direbut Taliban pada 1996. Namun, Taliban begitu kejam, terutama terhadap perempuan. Hal ini sangat menakutkan bagi Amira dan Aqila yang hidup di Suriah jauh sebelum kemunculan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Di samping itu, kata Yaqub, ayah dan saudara laki-lakinya telah dibunuh oleh Taliban.

M Yaqub M Karim (61) di teras rumah kontrakannya di Wonasa Kapleng, Manado, Sulawesi Utara, 23 Maret 2023.
Pada akhir 1999, Yaqub dan Rahim membawa keluarga mereka kabur dengan bantuan penyelundup manusia. ”Kami ketemu orang di Pakistan. Dibilang mau bikin paspor (untuk antar kami) ke Australia. Saya kasih uang sekitar 12.000 dollar AS, sudah dengan tiket pesawat,” ujar Yaqub dalam bahasa Indonesia dengan aksen Afghanistan yang kental.
Perjalanan mereka akhirnya kandas di pesisir Desa Tongo, Sumbawa Barat. Dari sana, mereka dibawa ke Sumbawa Besar, Kabupaten Sumbawa, untuk wawancara penentuan status pengungsi dengan UNHCR. Akan tetapi, UNHCR menilai mereka tak punya ketakutan yang beralasan untuk mencari suaka di negara lain.
Yaqub pun mempertanyakan hal ini. ”Bisa persoalkan dengan UNHCR, kenapa kami ditahan di sini sampai lama begini? Atau dengan Imigrasi. Untuk apa sampai 20 tahun lebih? Saya kelihatan bebas, tetapi (terasa) seperti di penjara,” ujarnya.
Menurut data UNHCR, per 31 Desember 2022, ada 12.706 pengungsi dan pencari suaka (asylumseeker) di Indonesia. Sekitar 1,4 persen dari mereka harus menunggu sekitar 10 tahun sebelum dipindahkan ke negara ketiga. Namun, masa tunggu itu tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan yang dialami keluarga Ali.

Suasana blok deteni Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Manado, Sulawesi Utara, 7 Maret 2023.
Ketika dihubungi, Public Information Officer UNHCR Indonesia, Mitra Salima Suryono, mengatakan, dirinya tak dapat mengungkap alasan penolakan permohonan suaka keluarga Ali. Namun, ia menyatakan, ada beragam faktor yang menyebabkan UNHCR menilai nyawa seorang pencari suaka tak terancam di negaranya.
”Misalnya, karena konflik sudah berakhir ketika permohonan suaka mereka kami terima atau tempat tinggal mereka bukan daerah yang terkena dampak konflik atau perang,” katanya.
Di samping itu, ada pula faktor-faktor lain yang terkait dengan pandangan politik, agama, ras, suku, atau orientasi seksual pencari suaka.
Ali tak sepakat dengan hal ini. Ia yakin orangtuanya membawanya pergi dari Afghanistan karena nyawa mereka terancam. ”Kami naik ke kapal itu (menuju Australia) dalam kondisi yang tidak normal untuk keluar dari negara konflik, menuju negara di mana kami bisa bertahan hidup,” katanya.
Di tengah ketidakpastian ini, Ali dan keluarganya pun melanjutkan kehidupan. Ali memiliki kebun selada hidroponik di halaman rumah kontrakannya. Ia juga mengojek daring, melayani permintaan desain bangunan, serta kerja serabutan lainnya.

Dari kiri: Tahanan PBB I alias Nur, Fatimah, Rahim, Tahanan PBB II alias Sakinah, Aqila Douraiyah, dan Amira Mustafa menggelar aksi protes di Rumah Detensi Imigrasi Manado, Sulawesi Utara, setelah permohonan status pengungsi mereka ditolak UNHCR, 14 Januari 2019.
Amar dan Zahra, kakak kandung dan sepupu Ali, juga bekerja serabutan. Mereka menyandang gelar S-2 dari Unsrat. Amar di bidang agrobisnis, sedangkan Zahra di arsitektur.
Kini, Ali berharap Pemerintah Indonesia bisa menawarkan solusi untuknya. Secara pribadi, ia ingin menjadi WNI.
”Jika tidak bisa, kami tidak akan melawan. Tapi, kami minta negara (Indonesia) mampu mencarikan jalan keluar, memanggil UNHCR untuk menyelesaikan masalah status kami,” katanya.
Baca juga: Para Siswi Afghanistan Menyambung Mimpi di Madrasah