Arsip M Yamin tentang Pembangunan Nasional Didorong Menjadi Ingatan Kolektif Bangsa
Arsip tentang Muhammad Yamin, pahlawan nasional Indonesia, terutama terkait peta jalan pembangunan nasional, didorong menjadi ingatan kolektif bangsa.
Oleh
YOLA SASTRA
·5 menit baca
PADANG, KOMPAS — Arsip tentang Muhammad Yamin, pahlawan Nasional Indonesia, terutama peta jalan pembangunan Nasional, didorong menjadi ingatan kolektif bangsa. Memori itu selanjutnya juga bisa direproduksi menjadi keputusan pembangunan negara di masa sekarang.
Usulan tersebut mencuat dalam diskusi bertema ”Arsip Muhammad Yamin Bukti Otentik Kebijakan Pembangunan Konstitusionalitas Republik Indonesia” di Padang, Sumatera Barat, Sabtu (20/5/2023). Diskusi ini diadakan oleh Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum (FH) Universitas Andalas (Unand) bersama Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI).
Duta Arsip, Rieke Diah Pitaloka, mengatakan, M Yamin tidak hanya ahli hukum, pemikir, seniman, terlibat menyusun naskah Sumpah Pemuda dan perumusan konstitusi. Dia juga salah satu aktor intelektual merumuskan rencana pembangunan nasional pertama yang merupakan turunan konstitusi.
”Yamin juga menjadi ketua dari Dewan Perancang Nasional (Depernas),” kata Rieke, anggota Komisi VI DPR.
Rieke menjelaskan, pada 28 Agustus 1959 Presiden Soekarno dalam amanatnya tentang pembangunan semesta berencana saat sidang pleno Depernas menyampaikan, ia menyerahkan perumusan cetak biru pembangunan nasional kepada Depernas yang diketuai Yamin.
Peta jalan pembangunan nasional itu kemudian ditetapkan melalui Ketetapan (Tap) Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) Nomor 2 Tahun 1960 tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961-1969.
Menurut Rieke, Depernas terdiri atas 513 pendiri bangsa sekaligus anggota DPR pertama yang dibagi ke dalam enam komisi.
Komisi tersebut adalah Komisi A: bidang mental, rohani, penelitian; Komisi B: bidang kesejahteraan; Komisi C: bidang pemerintahan keamanan dan pertahanan. Selain itu ada Komisi D: bidang produksi; Komisi E: bidang distribusi dan perhubungan; Komisi F: bidang keuangan dan pembiayaan.
”Orang banyak tidak tahu. Roadmap (peta jalan) pembangunan Indonesia sudah dibangun pada masa pemerintahan Bung Karno. Ketuanya adalah M Yamin,” kata politisi PDI-P ini.
Dalam peta jalan itu, kata Rieke, kebijakan pembangunan berbasis ilmu pengetahuan. Semua kampus dan lembaga penelitian dijadikan sebagai think tank (wadah pemikir) negara. Selain 513 anggota DPR pertama yang juga anggota MPR saat itu, ada sedikitnya 600 pakar dari berbagai bidang ilmu pengetahuan dan universitas yang terlibat sebagai wadah pemikir.
Kemudian, enam komisi Depernas tidak hanya mewakili satu partai politik, tetapi juga melibatkan semua partai politik. Hebatnya, di bawah kepemimpinan Yamin, semua anggotanya menanggalkan berdera partai politik masing-masing ketika berbicara soal perjuangan Indonesia adil dan makmur serta visi dan misi NKRI sebagaimana diamanatkan UUD 1945.
”Bung Yamin mengajarkan kepada kita warna-warni bendera partai politik ditinggalkan ketika bicara atas nama rakyat, bangsa, dan negara Indonesia. Jadilah peta pembangunan itu,” ujarnya.
Rieke menambahkan, ia mengapresiasi dukungan agar gagasan Yamin dalam arsip-arsip terkait peta jalan pembangunan nasional itu disahkan menjadi memori kolektif bangsa. Walakin, ia juga ingin gagasan itu tidak sekadar memori, tetapi juga direproduksi menjadi keputusan pembangunan bangsa di masa sekarang.
”Kenapa kita harus tergopoh-gopoh meniru model pembangunan negara lain. Padahal, kita punya konsep pembangunan republik yang disusun para pendiri bangsa yang mereka ikut berjibaku untuk memerdekakan RI. Kenapa kita tidak mencoba memperjuangkannya,” ujarnya.
Sebelumnya, Kepala UPT Kearsipan Unand Pramono mengatakan, ada peluang besar untuk mengusulkan arsip-arsip berisi gagasan M Yamin itu menjadi ingatan kolektif nasional. Syarat-syaratnya sudah terpenuhi, antara lain ada signifikansi sejarah, ada bentuk dan corak, serta ada signifikansi bagi sosial, spiritual, atau komunitas.
”Semua ini sudah terpenuhi oleh arsip tentang pembangunan bangsa terutama yang diusung M Yamin. Kriteria pelengkap juga memenuhi: ada keunikan dan kelangkaan, integritas, dan kondisinya sudah tersimpan baik di Arsip Nasional,” kata Pramono, yang juga filolog dan dosen sastra Minangkabau Unand.
Direktur Pusako FH Unand Charles Simabura mengatakan, apabila arsip-arsip tersebut memang memenuhi syarat untuk diusulkan sebagai ingatan kolektif bangsa, pihaknya pun mendukung. ”Saya pikir sudah selayaknya kita dorong bersama untuk diusulkan dan kami sebagai Pusako juga konsen dengan pemikiran Yamin,” katanya.
Gagasan Yamin
Charles sebelumnya menjelaskan, Yamin banyak menghasilkan gagasan tentang ketatanegaraan. Pahlawan nasional asal Sawahlunto, Sumbar, ini mendorong adanya peradilan agama dan adat, mendorong adanya ketentuan hak asasi manusia (HAM) dalam konstitusi, konsep persatuan dan kebinekaan, visi kedaulatan rakyat, kesejahteraan, dan sebagainya.
Selain itu, kata Charles, Yamin pula yang pertama kali mengusulkan adanya judicial review saat perumusan Undang-Undang Dasar (UUD). Gagasan itu sempat diperdebatkan Yamin dengan Soepomo saat merumuskan UUD dalam sidang BPUPK kedua tanggal 11-16 Juli 1945.
Dalam perdebatan itu, Yamin melihat pentingnya check and balances antarlembaga negara sehingga ia mengusulkan agar ada Balai Agung (sekarang disebut Mahkamah Agung).
Balai Agung tidak hanya melaksanakan kekuasaan kehakiman, tetapi juga diberi kewenangan untuk bisa membanding/menguji UU produk DPR jika UU itu melanggar konstitusi.
Sebaliknya, Soepomo yang tidak setuju pada waktu itu khawatir jika Balai Agung diberi wewenang pengujian itu, akan muncul kesan Balai Agung lebih tinggi dibandingkan dengan legislatif dan yudikatif. Gagasan Yamin ditolak karena ada persepsi bahwa judicial review meletakkan posisi Balai Agung di atas kekuasaan legislatif dan eksekutif.
”Yamin pada tahun 1945 sudah bicara soal judicial review yang kemudian baru kita terapkan saat perubahan ketiga UUD 1945 tahun 2001,” ujar dosen hukum tata negara Unand ini.
Dalam kegiatan itu, Kepala ANRI Imam Gunarto juga menyerahkan arsip risalah sidang BPUPK, arsip amendemen UUD pertama hingga keempat, dan arsip pola pembangunan semesta berencana yang dimotori Yamin.
”Arsip ini otentik. Meskipun wujudnya digital, yang otentiknya ada di ANRI, sama persis. Kami mohon dibagikan ke dinas arsip provinsi dan kabupaten/kota. Arsip ini agar digunakan oleh Pusako sebagai sumber kajian otentik,” kata Imam.