Awan Hujan di Sumsel Masih Terjadi sampai Juni 2023
Pertumbuhan awan hujan di Sumatera Selatan diprediksi masih akan berlangsung sampai Juni 2023. Penerapan teknologi modifikasi cuaca terus diupayakan untuk mengisi embung dan membasahi lahan gambut.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Pertumbuhan awan hujan di Sumatera Selatan diprediksi masih akan berlangsung sampai Juni 2023. Penerapan teknologi modifikasi cuaca terus diupayakan untuk mengisi embung dan membasahi lahan gambut.
Koordinator Bidang Observasi dan Informasi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Sultan Mahmud Badaruddin II, Palembang, Sinta Andayani, Jumat (19/5/2023), mengatakan, potensi tumbuhnya awan hujan untuk saat ini masih ada. Kondisi itu dipengaruhi oleh angin monsun Australia.
”Untuk wilayah Sumatera Selatan masih lemah. Beberapa hari ini adanya pola angin belokan dan konvergensi juga mendukung peningkatan potensi hujan,” ujarnya.
Walaupun masih ada peluang hujan, secara umum curah hujan diprediksi akan terus menurun, baik secara intensitas, jumlah, maupun sifat hujan sudah terjadi secara signifikan. ”Kami perkirakan hingga Juni masih ada potensi awan hujan walaupun semakin sedikit,” ungkap Sinta.
Namun, menurut Sinta, Juli dan Agustus diperkirakan merupakan puncak musim kemarau dan semakin jarang hujan atau bahkan tidak ada hujan sama sekali dalam sebulan. Saat inilah semua pihak harus lebih waspada.
Sinta menjelaskan, penerapan teknologi modifikasi cuaca (TMC) saat ini dipusatkan di Jambi. Dalam penerapannya, BMKG Sumsel masih ikut berkoordinasi bersama tim dari BMKG Jambi dan BMKG pusat, Badan Riset dan Inovasi Nasional, serta instansi terkait lainnya.
Proses TMC pun sudah dilakukan sejak 1 Mei, tetapi saat ini sedang ada penundaan kegiatan untuk evaluasi tahap pertama dan support terkait pelaksanaan TMC untuk mendukung Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur.
Kepala Balai Pengendalian Perubahan Iklim dan Kebakaran Hutan dan Lahan (PPIKHL) Wilayah Sumatera Ferdian Kristianto menuturkan, TMC di wilayah Sumatera sudah dilakukan di beberapa daerah, seperti di Kabupaten Pelalawan, Bengkalis, Dumai, dan Rokan Hilir.
Sementara untuk di kawasan Jambi, TMC juga telah diterapkan di Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Tanjung Jabung Timur, dan Muaro Jambi. Adapun untuk di Sumsel, TMC telah diterapkan di Musi Banyuasin dan Banyuasin. Nantinya TMC akan dilanjutkan ke wilayah Muara Enim dan Ogan Komering Ilir.
Proses rekayasa cuaca melalui TMC akan dilakukan secara bertahap tergantung dari peluang awan hujan, termasuk eskalasi tingkat kebasahan lahan, terutama di area gambut. Menurut Ferdian, area gambut perlu dibasahi karena kawasan tersebut sangat rawan kebakaran saat kering.
Sampai saat ini beberapa kawasan gambut yang rentan terbakar masih memiliki air yang cukup sehingga tidak mudah terbakar. Hanya, intensitas pengawasan akan ditingkatkan mendekati masa puncak, yakni pada Agustus 2023.
”Banyak bahan bakar yang bisa menjadi pemicu kebakaran. Ketika kawasan gambut sudah terbakar dan membesar, akan sulit untuk memadamkannya,” ujarnya.
Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru menuturkan, pihaknya sudah memberikan izin kepada pihak terkait untuk melakukan rekayasa cuaca melalui TMC. ”Tentu dengan memperhatikan saran dari BMKG,” ucapnya.
Menurut dia, keberadaan TMC cukup penting untuk menekan potensi kebakaran lahan di Sumsel. ”Apalagi sudah ada kecenderungan peningkatan titik panas pada April 2023,” katanya.
Namun, menurut dia, yang terpenting adalah meningkatkan kesadaran masyarakat untuk tidak membakar lahan, termasuk mengingatkan perusahaan untuk mempersiapkan sarana yang menunjang upaya mitigasi. ”Saya berharap semua daerah yang rawan terbakar sudah mulai bersiap,” kata Herman.
Sebelumnya, Kepala Bidang Penanganan Kedaruratan Badan Penanggulangan Bencana Daerah Sumsel Ansori mengatakan, ada 12 daerah di Sumsel yang menetapkan status siaga darurat karhutla.
Hanya lima daerah yang tidak menetapkan status itu. Kelimanya adalah Palembang, Lubuk Linggau, Pagar Alam, Prabumulih, dan Empat Lawang. Alasannya, tidak ada riwayat kebakaran lahan di sana. Kalaupun ada, skalanya tidak besar karena sebagian besar lahan di kawasan itu merupakan lahan mineral yang jika terbakar akan lebih cepat padam dibandingkan lahan gambut.
Meski demikian, jika karhutla terjadi, menurut Ansori, kelima daerah itu sangat rentan menerima dampak asap yang tentu bisa mengganggu aktivitas masyarakat setempat. Apalagi, di kawasan itu terdapat beberapa obyek vital, seperti bandara dan perkantoran.