Demokratisasi Tarian Keraton Melalui Festival Bedhayan
Melalui Festival Bedhayan, tari bedhaya yang sakral dimodifikasi menjadi tari kreasi baru yang bisa dinikmati publik. Festival yang diikuti 12 kelompok tari itu juga berupaya mengenalkan tari klasik pada anak-anak muda.

Kelompok tari dari Jurusan Tari Institut Seni Indonesia Yogyakarta menampilkan "Bedhayan Kusumaningtyas" dalam Festival Bedhayan 2023 di Ohmm Stay, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Minggu (14/5/2023). Terdapat 12 penampil dalam gelaran tersebut.
Sebagai tarian sakral di lingkungan keraton, tari bedhaya memang tak bisa sembarangan ditampilkan. Namun, melalui Festival Bedhayan, tari bedhaya coba didemokratisasi menjadi bentuk baru. Festival ini diharapkan bisa melestarikan tari klasik sekaligus mengenalkannya pada generasi muda.
Gesekan rebab terdengar mendayu-dayu. Gamelan ditabuh dalam irama rapat. Tabuhannya begitu halus sehingga suaranya sayup-sayup. Lantunan indah para pesinden berpadu apik sehingga mampu menambah kesyahduan. Klenengan berlanggam Jawa itu mengiringi langkah 12 wanita berkebaya merah jambu memasuki sebuah pendopo.
Belasan wanita itu lalu mengisi ruang tengah pendopo yang kosong. Sembari tersenyum manis, mereka mulai menari. Tangan-tangan mengayun lembut seperti aliran air yang tenang. Meski gerakannya pelan, tersirat pula ketegasan setiap kali sampur hijau yang mereka kenakan dikibaskan. Keindahan gerak tubuh pun seperti tak henti-hentinya disuguhkan dalam tarian berdurasi sekitar 20 menit itu.
Begitulah penampilan dari kelompok tari Jurusan Tari Insitut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dalam Festival Bedhayan 2023, Minggu (14/5/2023), di Ohmm Stay, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Festival Bedhayan menampilkan pentas tari bedhayan, yakni tari kreasi baru yang terinspirasi dari tari bedhaya yang merupakan tarian klasik di lingkungan keraton penerus Kerajaan Mataram Islam.
Festival itu digelar atas kerja sama Laskar Indonesia Pusaka, Jaya Suprana School of Performing Arts. dan Yayasan Swargaloka. Acara yang diikuti 12 kelompok tari itu menjadi yang ketiga sejak diadakan pertama kali pada 2018. Selama pandemi Covid-19, penyelenggaran festival itu sempat terhenti dan baru digelar kembali tahun ini.

Kelompok tari dari Jurusan Tari Institut Seni Indonesia Yogyakarta menampilkan "Bedhayan Kusumaningtyas" dalam Festival Bedhayan 2023 di Ohmm Stay, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Minggu (14/5/2023).
Para penari dari Jurusan Tari ISI Yogyakarta itu dipimpin oleh Indah Nuraini (68). Adapun tarian yang ditampilkan berjudul ”Bedhayan Kusumaningtyas”. Tarian itu diciptakan untuk menyambut masa pensiun Indah sebagai pengajar tari di ISI Yogyakarta. Karena itu, para penari yang terlibat pun rekan sesama dosen di tempatnya mengajar.
”Ini menggambarkan ibu-ibu yang dengan tangguh, bijaksana, dan sabar dalam mendidik adik-adik mahasiswa di ISI Yogyakarta. Sesederhana itu saja. Tidak ada yang lain-lain,” tutur Indah.
Baca juga: Sosialisasi Luas Tari Bedhaya lewat Festival Bedhayan III
Yang menarik, para dosen yang ikut menari itu memiliki latar belakang gaya tari yang berbeda-beda, mulai dari Yogyakarta, Surakarta, Bali, Sunda, Jawa Timur, hingga Sumatera. Padahal, komposisi tari yang dibawakan itu bergaya Surakarta, sesuai dengan kepakaran Indah.
Namun, perbedaan latar belakang gaya tari tersebut ternyata tidak menjadi masalah. Sebab, para penari itu tetap mampu menunjukkan keselarasan gerak yang sarat estetika.

Kelompok tari dari Jaya Suprana School of Performing Arts menampilkan "Bedhayan Bumi Pertiwi" dalam Festival Bedhayan 2023 di Ohmm Stay, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Minggu (14/5/2023).
Bahkan, dalam kesempatan itu, kelompok tari berisi para dosen itu diganjar penghargaan dari Museum Rekor-Dunia Indonesia (Muri). Sebab, mereka menjadi kelompok tari bedhayan pertama yang seluruh anggotanya dosen tari.
”Saya senang teman-teman menyambut baik. Hasilnya juga baik. Ternyata semua bisa menyatu dalam tari. Terlebih dapat penghargaan seperti ini. Ini luar biasa,” kata Indah.
Baca juga: Lestarikan Budaya, Festival Bedhayan Digelar di Gedung Kesenian Jakarta
Partisipan lain dalam Festival Bedhayan 2023 adalah grup tari Swargaloka dari Jakarta. Kelompok tari itu menampilkan tarian berjudul ”Bedhayan Angger-Angger Sewelas”. Tari itu bercerita tentang ajaran moral dari Romo Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo, yang juga dikenal sebagai Raden Gunung.
Ajaran moral itu terdiri dari empat larangan dan tujuh kewajiban yang intinya mengajak umat manusia patuh kepada Tuhan, berbakti kepada orangtua, taat aturan, peduli sesama, dan menjauhi segala perbuatan tercela.

Kelompok tari dari Jaya Suprana School of Performing Arts menampilkan "Bedhayan Bumi Pertiwi" dalam Festival Bedhayan 2023 di Ohmm Stay, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Minggu (14/5/2023).
Pada tarian itu, ada 11 penari laki-laki dan perempuan yang dilibatkan. Empat penari laki-laki menyimbolkan empat larangan, sedangkan tujuh penari perempuan melambangkan tujuh kewajiban.
Tarian itu juga meleburkan dua gaya tari klasik, yakni Surakarta dan Yogyakarta. Tari gaya Surakarta ditunjukkan lewat teknik samparan, sedangkan tari gaya Yogyakarta tampak dalam bentuk pola gerak.Terselip pula unsur kontemporer lewat gerak dinamis penari di sela-sela komposisi yang dimainkan.
”Materi yang dikembangkan itu dari tari klasik atau tradisi. Ada percampuran teknik dari dua gaya tari. Ibaratnya dalam tarian kami ini sudah melebur jadi satu, baik pada pola geraknya maupun tekniknya,” kata Bathara Saverigadi (26), salah seorang penari kelompok Swargaloka.
Baca juga: Merawat Kreativitas, Melestarikan Tradisi Tari
Sebagai penari yang masih relatif muda, Bathara mengaku menjadi lebih memahami tari klasik setelah mengikuti Festival Bedhayan 2023. Dia pun menjadi lebih tahu ihwal nilai-nilai luhur yang terkandung dalam tari-tarian yang berasal dari dalam keraton. Apalagi, para peserta festival itu tak hanya diajak menari, tetapi juga mengikuti seminar kajian tari.
”Acara ini harus lebih besar supaya lebih terbuka lagi peluang belajar bagi anak-anak muda. Mungkin selama ini banyak yang belum tahu bagaimana kedalaman makna tari klasik. Dengan adanya acara ini, kami semakin paham tentang kebudayaan yang melatarbelakangi suatu tari,” kata Bathara.

Kelompok tari Swargaloka, asal Jakarta, menampilkan "Bedhayan Angger-angger Sewelas" dalam Festival Bedhayan 2023 di Ohmm Stay, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Minggu (14/5/2023).
Terkejut
Dukungan terhadap Festival Bedhayan juga datang dari Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Mangkubumi, putri pertama Raja Keraton Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X. Namun, saat pertama kali mendengar rencana penyelenggaraan Festival Bedhayan, Mangkubumi mengaku sempat terkejut karena mengira festival itu akan menampilkan tarian bedhaya.
Padahal, tarian bedhaya tidak bisa ditampilkan sembarangan karena merupakan milik keraton. Namun, setelah dikomunikasikan lagi, ternyata tarian yang bakal dipentaskan itu bernama bedhayan atau ”bedhaya-bedhaya-an”, alias sekadar mirip bedhaya.
Mangkubumi menyatakan, tarian klasik memang harus tetap dilestarikan. Oleh karena itu, dia mengapresiasi penyelenggaraan festival tersebut. Apalagi, para peserta festival yang berasal dari berbagai kalangan itu tampak antusias dan serius menyiapkan diri.
”Banyak sekali bentuk kreativitas. Ibu-ibu utamanya, ya. Mudah-mudahan di festival yang ketiga ini bisa terus berkembang dan menginspirasi kita semua untuk belajar bersama tentang tarian klasik,” kata Mangkubumi.

Kelompok tari Swargaloka, asal Jakarta, menampilkan "Bedhayan Angger-angger Sewelas" dalam Festival Bedhayan 2023 di Ohmm Stay, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Minggu (14/5/2023).
Pendiri Muri, Jaya Suprana, mengatakan, tari bedhaya memang tidak boleh ditampilkan sembarangan di luar keraton. Sebab, tarian itu dinilai sakral sehingga hanya bisa dipentaskan dalam momen-momen tertentu.
Meski begitu, Jaya juga menilai, tarian tersebut memiliki nilai-nilai luhur sehingga harus dilestarikan keberadaannya. Itulah kenapa, Laskar Indonesia Pusaka, Jaya Suprana School of Performing Arts. dan Yayasan Swargaloka menggelar Festival Bedhayan.
Jaya pun menyebut, tari bedhayan yang lahir dari kreasi masyarakat merupakan bentuk demokratisasi terhadap tari bedhaya yang sakral. ”Bedhayan ini demokratisasi dari tarian sakral. Tanpa mengkhianati makna kesakralannya, tetapi menjunjung tinggi makna dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Itu maknanya luar biasa sekali,” kata pendiri Jaya Suprana School of Performing Art itu.
Dengan adanya acara ini, kami semakin paham tentang kebudayaan yang melatarbelakangi suatu tari.

Kelompok tari Swargaloka, asal Jakarta, menampilkan "Bedhayan Angger-angger Sewelas" dalam Festival Bedhayan 2023 di Ohmm Stay, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Minggu (14/5/2023).
Wakil Dekan Bidang Akademik Fakultas Seni Pertunjukan ISI Yogyakarta Heni Winahyuningsih juga mengapresiasi penyelenggaraan Festival Bedhayan. Menurut dia, ajang itu mampu menjadi media pelestarian sekaligus pengembangan tari klasik.
Apalagi, dia menilai, tari bedhayan dan tari bedhaya mempunyai napas yang sama, yakni tari klasik. Perbedaannya, tari bedhaya mengandung pakem yang saklek, sedangkan tari bedhayan bisa mengalami penyesuaian tanpa menghilangkan keklasikannya.
Di sisi lain, Heni mengungkapkan, festival itu juga membuat tari klasik seperti bedhayan bisa menjangkau generasi muda. Kondisi itu bisa memberikan energi baru bagi tari klasik karena anak-anak muda mempunyai kreativitas yang tinggi. Ruang kreasi yang dimungkinkan dalam format bedhayan juga membuat tari klasik tidak hanya statis, tetapi senantiasa berkembang.
”Begitu ada ruang bagi generasi muda, seni menjadi tanpa batas. Masyarakat akan merasa memiliki. Lalu, mereka juga akan merawat dan pada akhirnya mengembangkan sesuai dengan jiwa zamannya,” kata Heni.