Pegiat Kopi Sumsel Mulai Incar Uni Emirat Arab dan Amerika Serikat
Sejumlah pegiat kopi di Sumsel mulai mengincar kerja sama dengan beberapa negara sebagai tujuan ekspor. Namun, mempertahankan kualitas dan kuantitas kopi masih menjadi kendala utama.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS – Sejumlah pegiat kopi di Sumatera Selatan mulai mengincar kerja sama dengan beberapa negara sebagai tujuan ekspor. Namun, mempertahankan kualitas dan kuantitas kopi masih menjadi kendala utama.
Hal ini mengemuka dalam pelatihan proses grading biji kopi yang digelar oleh Komunitas UMKM Naik Kelas di Balai Riset dan Standardisasi Industri Palembang, Selasa (16/5/2023). Hadir dalam acara itu sejumlah pegiat kopi dari beberapa daerah penghasil kopi di Sumsel.
Ketua Komunitas UMKM Naik Kelas, Salama Sri Susanti, menuturkan, sebagai daerah penghasil kopi terbesar di Indonesia dengan luas lahan sekitar 270.000 hektar, Sumsel belum memiliki branding yang kuat dibandingkan kopi lain. Sebut saja, kopi Toraja, Kintamani, dan Gayo. ”Padahal, potensi itu ada,” ujar Salama.
Permasalahannya terletak pada belum terstandarnya pengolahan biji kopi di Sumsel, mulai dari penanaman hingga pengolahan pascapanen. Misalnya, terkait pemetikan, masih banyak yang melakukan petik asalan.
Selain karena masih ada peluang pasar dimana biji kopi asalan masih diserap oleh para pabrikan, tuntutan ekonomi juga menjadi penyebab, petani masih melakukan petik asalan tersebut. ”Padahal, kebiasaan ini bisa menghancurkan branding kopi Sumsel di mata dunia,” ujarnya.
Saat ini, peluang untuk memperbaiki nama kopi asal Sumsel kembali terbuka setelah ada pemesanan ekspor ke sejumlah negara, seperti Uni Emirat Arab dan Amerika Serikat. Untuk Uni Emirat Arab, sudah ada pemesanan sekitar 500 ton biji kopi dalam beberapa kali pengiriman.
Sekarang ini, lanjut Salama, pihaknya sedang melatih petani dan pemroses kopi agar bisa menghasilkan kopi grade 1 dengan ukuran sekitar 5,5 milimeter dengan tingkat kecacatan 5 persen sampai 8 persen, dan kadar air 12-14 persen.
Nyatanya, di Sumsel, rata-rata kadar air biji kopi masih pada kisaran 16 persen sampai 18 persen. ”Karena itu, dibutuhkan kerja sama antarpihak agar dari segi kualitas dan kuantitas, petani hingga pengolah kopi dapat menghasilkan kopi sesuai dengan permintaan pasar.
Menurut dia, untuk bisa ekspor, para pegiat kopi harus bisa mempertahankan lima faktor penting, yakni kualitas, kuantitas, keberlanjutan, kredibilitas, dan konsistensi. ”Hal inilah yang harus diajarkan kepada semua pegiat kopi di Sumsel agar branding kopi Sumsel kian kuat,” ucap Salama.
Asisten III Bidang Administrasi dan Umum Setda Pemerintah Provinsi Sumsel Kurniawan menyatakan masih banyak petani kopi di Sumsel yang mengolah kopi dengan tidak sesuai standar. Misalnya, masih ada yang menjemur biji kopi di jalan atau bahkan melakukan petik asalan dan tidak memperhatikan proses pengolahan.
Padahal, untuk bisa ekspor, kopi harus melalui proses penjemuran, pemilahan kopi, dan pemrosesan kopi yang terstandar. ”Karena itu, edukasi secara berkelanjutan harus dilakukan,” ucapnya.
Di sisi lain, lanjut Kurniawan, instansi terkait juga harus bekerja sama untuk dapat menopang kebutuhan petani dan pegiat kopi agar bisa menghasilkan biji kopi yang sesuai dengan standar ekspor. ”Pemerintah desa pun bisa menggunakan dana desa untuk membeli fasilitas pemrosesan kopi agar para kebutuhan petani dapat terpenuhi. Toh, desa juga bisa memperoleh keuntungan dari sana,” ujarnya.
Menurut Kurniawan, mengolah kopi dengan standar baku mutu yang tepat bisa meningkatkan nilai kopi itu dan akan berdampak pada meningkatnya penghasilan petani.
Kurniawan beranggapan, potensi kopi Sumsel sangatlah besar karena pasarnya kian luas, peluang inilah yang harus dimanfaatkan. ”Selain untuk memperluas lapangan kerja, dengan bergelut di bidang kopi juga bisa mengurangi angka kemiskinan,” katanya.
Kepala Balai Riset dan Standardisasi Industri Palembang Syamdian menuturkan, pihaknya turut mendukung upaya pemerintah dan pegiat kopi untuk bisa memperkenalkan kopi Sumsel ke kancah dunia. ”Kami sudah memiliki laboratorium untuk menguji kualitas dari biji kopi. Langkah ini bertujuan agar kopi Sumsel bisa terstandar,” ungkapnya.
Laboratorium tersebut, ujar Syamdian, juga dapat mengukur ambang batas kontaminasi, baik cemaran mikrobiologi, cemaran logam, maupun bahan campuran lain yang tidak diizinkan. ”Dengan label SNI (Standar Nasional Indonesia), masyarakat akan tahu bahwa produk yang dibeli sudah aman untuk dikonsumsi,” ujarnya.
Memang kopi bukanlah komoditas yang wajib terstandar. Di Sumsel, biji kopi yang telah berlabel SNI baru ada di Palembang, Pagar Alam, dan Lahat. Namun, jika hal itu dipenuhi, bisa memberikan nilai tambah bagi pelaku usaha kopi.
Ke depan, lanjut Syamdian, pihaknya akan berkoordinasi dengan instansi terkait untuk memfasilitasi pegiat kopi untuk membuat produk kopinya terstandar dengan pola mengumpulkan biji kopi mereka di satu tempat dan melakukan pengetesan. ”Karena satu SNI bisa digunakan untuk 10 merek. Ini tentu akan mempermudah pegiat kopi menstandarkan produknya,” ucapnya.
Dengan label SNI, konsumen akan memiliki jaminan barang yang dikonsumsi atau digunakannya sudah melalui proses baku mutu yang benar. Di sisi lain, pegiat kopi akan terus menjaga kualitas kopinya agar tetap sesuai standar.