Air Bersih, Asa Mengikis Tengkes di Sumsel
Di usianya yang ke-77, Provinsi Sumatera Selatan masih bergelut dengan problem tengkes. Keberadaan air bersih yang belum merata dikhawatirkan memengaruhi masa depan generasi yang akan datang.
Saat Sumatera Selatan memperingati ulang tahun ke-77, Senin (15/5/2023), sejumlah kawasan pinggiran kota di provinsi ini masih rentan didera tengkes akibat terbatasnya sarana dan prasarana air bersih bagi warganya. Semua pihak berkewajiban memenuhi kebutuhan dasar anak agar benar-benar terbebas dari tengkes, bukan hanya jargon.
Riska (24) mendengarkan pemaparan para ahli soal tengkes dan kesehatan masyarakat di Masjid Nurul Hidayah, Kampung Desa Pedado, Kecamatan Kertapati, Kota Palembang, Sumatera Selatan, Sabtu (13/5/2023). Ia menggendong anak keduanya, Nadia Fitriani (2), sambil sesekali melihat ke arah anak pertamanya, M Adrian Haris (4) yang berlari-lari di area halaman masjid.
Ia tampak serius mendengarkan penjelasan tersebut bersama puluhan ibu lainnya. Baginya, topik yang dibahas penting, yakni makanan bergizi dan air bersih bagi tumbuh kembang anak. Acara itu digelar oleh Universitas Sriwijaya itu.
Selama ini, Rizka dan keluarganya hidup di daerah yang sulit air bersih. Tinggal dekat sungai, ia tidak mungkin mengonsumsi air sungai karena tidak laik, terlalu keruh. Alhasil, ia harus membeli air seharga Rp 5.000 per galon.
”Air sungai hanya digunakan untuk mencuci pakaian dan mencuci piring. Untuk minum kami beli galonan. Dalam sebulan, kami membutuhkan sekitar 15 galon air bersih,” ujarnya.
Uang Rp 75.000 untuk membeli galon tentu cukup memberatkan jika dibandingkan dengan pendapatan tak menentu yang diberikan suaminya yang bekerja sebagai buruh bangunan.
”Biasanya, suami hanya memberi Rp 1,5 juta-Rp 2 juta per bulan. Itu pun kalau pekerjaan lancar. Kalau tidak, ya terpaksa saya berutang,” ujarnya.
Dengan pendapatan itu, Riska hanya bisa memberi anak-anaknya hidangan seadanya. ”Ya kami biasanya makan nasi dengan lauk tahu, tempe, telur, dan ikan,” ujarnya.
Baca juga: Prevalensi ”Stunting” di Sumsel Turun Signifikan, Empat Daerah Jadi Perhatian
Sebuah kapal berlayar di Sungai Pedado, Kecamatan Kertapati, Palembang, Sumatera Selatan, Sabtu (13/5/2023). Sampai saat ini, angka kemisikinan di Sumsel masih tinggi, hal ini dipengaruhi timpangnya pembangunan dan masih tingginya kerentanan korupsi di lingkup penyelenggara negara.
Tokoh Masyarakat Desa Pedado, Mujiono, mengatakan, walau lokasi Kampung Pedado hanya 10 kilometer dari Kantor Gubernur Sumatera Selatan, sampai sekarang penduduk di area ini belum mendapatkan fasilitas air bersih.
Alhasil, kegiatan mandi, cuci, dan kakus dilakukan di sungai. Itulah sebabnya air sungai tidak laik konsumsi. Tidak hanya itu, jalan masuk ke kampung masih berupa agregat, sedangkan jalan di dalam kampung berupa beton yang sudah miring akibat abrasi sungai.
Mujiono berharap ada fasilitas air bersih bagi warga. ”Karena air bersih merupakan hal utama untuk menunjang kehidupan masyarakat di sini,” ujarnya.
Kondisi serupa juga ada di Kampung Serang, Kecamatan Sukamulya, Kecamatan Sematang Borang, Palembang. Di desa ini, warga masih mengandalkan air rawa yang keruh dan berbau karat untuk kegiatan mandi dan cuci baju. Adapun untuk minum, warga juga membeli air isi ulang galonan.
Saidah (37), warga setempat, mengatakan, sejak ia tinggal di daerah itu 18 tahun lalu, tidak banyak perubahan yang terjadi. ”Akses jalan sangat sempit, air bersih pun tidak ada. Mungkin karena kami tinggal di pinggiran, banyak fasilitas belum masuk,” ujarnya. Alhasil, sejumlah penyakit pun kerap dialami anak-anaknya, paling banyak adalah penyakit kulit dan gatal-gatal.
Hanya mengandalkan pendapatan suaminya yang bekerja sebagai buruh bangunan, Saidah pun terpaksa ”putar otak” mengatur uang agar bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari. ”Terkadang kami hanya makan dua kali sehari dan hanya makan tahu atau tempe agar pendapatan kami cukup,” ujarnya.
Dwi Septiawati, akademisi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Program Studi Kesehatan Lingkungan Universitas Sriwijaya, menuturkan, tidak adanya sarana air bersih yang memadai menjadi salah satu penghambat tumbuh kembang anak. ”Jika kualitas sanitasi tidak memadai, tumbuh kembang anak akan terpengaruh,” ujarnya.
Baca juga: Gubernur Heran, Sumsel Lumbung Pangan, tetapi Angka Tengkesnya Tinggi
Biasanya, kata Dwi, konsentrasi tengkes ada di wilayah kumuh dan terbatas fasilitas air bersihnya. Secara umum ketersediaan air bersih di Indonesia hanya sekitar 74 persen, sedangkan sisanya belum memiliki akses air bersih.
Kondisi kekurangan air bersih itu berpengaruh pada setiap sendi kehidupan masyarakat. Ia mencontohkan, ketika tidak ada air bersih, warga harus mengalokasikan dana untuk membeli air bersih (isi ulang galonan). Padahal, dana tersebut bisa digunakan untuk membeli makanan sehat bagi anak-anaknya. Apalagi jika keluarga tersebut hidup di bawah garis kemiskinan. ”Karena itu, biasanya stunting terjadi pada anak yang hidup di lingkungan kurang baik atau pada orangtua yang berpenghasilan rendah,” ujar Dwi.
Kurangnya air bersih juga akan mengganggu stabilitas ekosistem dan kesehatan masyarakat. Ikan tidak bisa hidup di air tercemar. Warganya akan rentan terkena sejumlah penyakit, seperti diare dan penyakit kulit. Ketika anak kerap terkena penyakit, tumbuh kembang mereka pun akan terganggu.
”Jadi keberadaan air bersih akan memengaruhi masa depan generasi yang akan datang,” ujarnya.
Tengkes masih menjadi problem mendalam di Sumsel. Berdasarkan studi status gizi Indonesia (SSGI), sebelum tahun 2022, prevelensi tengkes di Sumsel mencapai 24,8 persen. Angka itu bisa diturunkan menjadi 18,6 persen pada 2022, lebih rendah dari prevalensi nasional sebesar 21,6 persen. Namun, pekerjaan berat masih menghadang karena target penurunan tengkes di Sumsel sesuai dengan target nasional di angka 14 persen pada 2024.
Gubernur Sumatera selatan Herman Deru mengakui masih ada daerah di Sumsel yang akses air bersihnya terbatas, terutama di kawasan pinggiran kota atau yang baru berkembang. Walau dialiri anak-anak sungai, permasalahan di Sumsel tidak lepas dari sedikitnya keberadaan air tanah.
”Jika kita terus menggali yang ada di bawah tanah bukan air tanah, melainkan lumpur. Karena itu, sampai saat ini masih banyak daerah yang belum teraliri air bersih,” ungkapnya. Karena itu, pihaknya akan menginstruksikan pihak terkait, terutama dinas pekerjaan umum dan perusahaan daerah air minum, untuk mempercepat pembangunan saluran air bersih di daerah yang belum terjamah.
Hal ini penting agar pertumbuhan generasi muda di Sumsel tidak terganggu dan upaya Sumsel untuk menurunkan angka tengkes dapat terwujud. ”Ini merupakan tanggung jawab semua pihak tidak hanya pemerintah, tetapi juga masyarakat lain,” ujarnya.
Kepala Dinas Kesehatan Sumatera Selatan Trisnawarman mengatakan, Sumsel berhasil menurunkan angka tengkes dari 24,8 persen menjadi 18,6 persen karena penurunan prevalensi tengkes di 16 kabupaten kota di Sumsel. Hanya Kabupaten Banyuasin yang mengalami kenaikan prevalensi tengkes dari 22 persen menjadi 24,8 persen.
Selain itu, masih ada empat daerah yang angka prevalensi tengkes-nya di atas nasional, yakni Muara Enim (22,8 persen), Musi Rawas (25,4 persen), Banyuasin (24,8 persen), dan Ogan Ilir (24,9 persen). Ia berharap kabupaten yang masih menjadi perhatian itu agar segera menurunkannya mendekati target. Saat ini tim percepatan penurunan tengah dikumpulkan untuk melaporkan seluruh kendala yang dialami di lapangan dan mencari solusinya.
Trisnawan mengatakan, ada beberapa faktor yang memengaruhi tengkes, yakni lingkungan, sarana dan prasarana, fasilitas kesehatan, pola asuh, dan pola makan. ”Intervensi spesifik akan diperkuat,” ujarnya.
Intervensi itu adalah memastikan kebersihan lingkungan, terutama di kawasan kumuh, dan memberikan edukasi serta asupan gizi cukup bagi calon pengantin, ibu hamil, ibu menyusui, dan anak di masa 1.000 hari kehidupan sampai mereka anak balita.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Permukiman Sumatera Selatan Basyarudin Akhmad mengatakan, pihaknya berfokus pada penyediaan air bersih. Secara keseluruhan ada sekitar 22 persen daerah di Sumsel yang belum teraliri air bersih. Saat ini, dirinya terus berkoordinasi dengan pemda dan perusahaan air minum untuk meningkatkan kapasitas penyerapan dan penampungan air agar kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi.
”Kami menargetkan untuk di beberapa daerah di wilayah Palembang bisa teraliri tahun ini. Tentu dalam pelaksanaannya membutuhkan waktu,” ujarnya. Harapannya, angka tengkes pun bisa direduksi sesuai target.