Tuntaskan Rindu untuk Penjaga Masa Depan Kota Bandung
Seperti warga Bandung lainnya, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil rindu pada kota yang dulu semringah. Pesona Kota Kembang itu kini rentan tertutup kasus korupsi, kejahatan kota, hingga sampah yang tidak kunjung usai.
Jarum jam menunjukkan pukul 07.30 saat cahaya matahari mulai menusuk tutupan hijau hutan kota Babakan Siliwangi atau sering disebut sebagai Baksil, Kota Bandung, Jawa Barat, Rabu (10/5/2023). Sejumlah orang mulai berdatangan. Mereka tak sabar menikmati secuil hutan di jantung kota.
Baksil adalah satu dari 11 kelompok hutan yang masih bertahan di Kota Bandung. Letaknya di lembah Sungai Cikapundung atau sekitar 500 meter dari kampus Institut Teknologi Bandung.
Bersama hutan kota lainnya, Babakan Siliwangi menyumbang lahan ruang terbuka hijau sekitar 2.000 hektar atau 12 persen dari total luas Kota Bandung. Jumlah itu masih jauh dari jumlah minimal RTH kota sebesar 30 persen.
Namun, tidak semudah itu mencari kesegaran pagi di Baksil. Pengelola masih menutup pagar masuk menuju Forest Walk, wahana andalan untuk berjalan kaki setinggi 2-3 meter dengan panjang hingga 2 kilometer. Mereka beralasan, wahana itu baru dibuka pukul 08.30.
”Padahal, kalau dibuka lebih pagi lebih bagus. Kalau terlalu siang terburu waktu yang sudah panas atau harus bekerja,” kata Fani (32), warga Pajajaran, Bandung, yang baru pertama kali datang.
Warga Bandung lain yang sempat dibuat gigit jari adalah Gubernur Jabar Ridwan Kamil. Dia datang bersama anak bungsunya, Arkana Aidan Misbach (3). Untungnya, dia tidak harus menunggu lama. Pengelola langsung membuka pintu saat sadar yang menunggu itu adalah orang nomor satu di Jabar.
”Kalau buka lebih pagi pasti lebih bermanfaat bagi warga,” kata Emil, sapaan akrab Ridwan Kamil pada salah satu pengelola Forest Walk.
Apa pun yang bisa meningkatkan kebahagiaan warga secara positif, saya rasa tidak perlu dibatasi.
Dia juga menghubungi Pelaksana Harian Wali Kota Bandung Ema Sumarna tentang masukan itu. Sekaligus, ia menyampaikan aspirasi warga yang ingin Alun-alun Kota Bandung dibuka lagi dan car free day di Bandung digelar kembali.
”Apa pun yang bisa meningkatkan kebahagiaan warga secara positif, saya rasa tidak perlu dibatasi,” kata Emil.
Setidaknya, Emil merasakan kegembiraan di Baksil. Ditemani Arka, ia menuntaskan rindu berjalan mengitari Forest Walk. Belajar membaca papan pengumuman tentang alam hingga mencari tupai di rimbun pohon mereka lakukan bersama.
”Tuh tupai. Panggil tupainya! Arka panggil tupainya!” kata Emil. ”Tupai, sini,” kata Arka.
Perjuangan warga
Meski hanya secuil, bagi banyak warga Bandung, Baksil adalah pelipur lara. Baksil yang kini adem, pernah jadi ”pertempuran” kepentingan antara pemerintah dan warganya.
Bara di Baksil setidaknya muncul sejak medio tahun 1970-1980, Pemkot Bandung sempat mengubah wajah Baksil lewat pendirian restoran. Keberadaannya tidak lama. Sejak tahun 1990-an telantar, kebakaran besar menghanguskan restoran itu.
Sejak dilalap api, Baksil menjadi daerah tak menarik, telantar, gelap, dan kerap jadi tempat mesum. Terpisah pagar kawat, kondisinya kontras dengan kemegahan Sasana Budaya Ganesha ITB.
Baca juga: Susi Pudjiastuti dan Ridwan Kamil Akan Bantu Husein, Guru ASN Pangandaran yang Kena Pungli
Babakan Siliwangi terlihat seksi lagi pada tahun 2007. Di tahun yang sama, saat Bandung dinobatkan sebagai kota paling kreatif se-Asia Timur, Baksil hendak dijadikan restoran hingga apartemen.
Sejak itu, dorongan dari aktivis lingkungan, pemerhati tata kota, hingga seniman terjadi. Mereka tidak rela Baksil menjadi hutan beton. Wujudnya seperti demonstrasi hingga seni instalasi digelar di sana.
Mereka juga mengundang 150 wakil dari negara peserta Tunza International Children and Youth Conference On the Environment 2011. Demi memenangkan dukungan internasional, mereka menobatkan Babakan Siliwangi sebagai hutan kota milik dunia.
Emil, kala itu arsitek yang baru kembali ke Tanah Air, ikut terlibat menentang alih fungsi lahan di Baksil. Di melihat, hutan kota menjadi tempat penting dipertahankan di tengah pesat laju pembangunan.
”Sebagai arsitek, saya ngeri melihat rencana pembangunan tiang pancang di kawasan ini. Peran Baksil terlalu sayang untuk dihilangkan menjadi bangunan megah,” katanya.
Dia melihat ribuan batang pohon di Baksil yang terdiri atas 120 jenis itu berperan vital. Keberadaannya mampu menyerap 13.680 kilogram atau 15.370 liter karbon dioksida per hari.
Dari proses itu, Bandung potensial mendapat 9.120 kg atau 10.247 liter oksigen gratis per hari. Dengan menghitung harga oksigen murni Rp 25.000 per liter, nilai ekonomis Baksil mencapai Rp 148 juta per hari. Semua bisa didapat Bandung dengan cuma-cuma.
”Kemajuan satu kota tidak hanya dilihat dari apa yang dibangun. Namun, dari keinginan untuk tidak membangun. Menjaga Baksil tetap hijau sangat relevan di tengah ancaman perubahan iklim akhir-akhir ini,” kata Emil.
Penolakan mempertahankan wajah Baksil berhasil dilakukan. Setelah jadi wali kota tahun 2013, Emil melobi pengembangnya untuk tidak meneruskan proyek pembangunan pada Oktober 2014.
Sebagai gantinya, Forest Walk dibangun menggunakan dana APBD dalam dua tahap. Pada tahun 2016, dibangun tahap pertama senilai Rp 6,3 miliar. Pembangunan dilanjutkan tahun 2017 dengan dana Rp 11,9 miliar.
Kenangan itu diutarakan juga budayawan Iman Soleh. Emil dan Iman tidak sengaja bertemu di Baksil pagi itu.
Kota harus punya konsep berkelanjutan.
Iman mengatakan, Baksil harus terus dipertahankan. Sejak lama, Baksil menjadi pusat kreativitas seniman dan warga. Banyak acara seni budaya yang ditampilkan di tempat ini dan mengharumkan nama Bandung hingga mancanegara.
Pada, 2012, misalnya, Baksil pernah menjadi tuan rumah ”Lightchestra” pada Juli 2012. Baksil didandani lampu warna-warni selama tiga hari. Pertunjukan musik digelar di tempat ini.
Kampanye penyelamatan juga dilakukan berbagai komunitas lewat acara ”Regia: Story of The City Forest”, April 2013. Baksil dengan segala keunggulannya diperkenalkan sebagai ruang publik yang harus diselamatkan. Regia diambil dari nama Latin pohon flamboyan (Delonix regia), salah satu jenis pohon di Baksil.
Hanya saja, beberapa tahun terakhir, kemeriahan di Kota bandung, termasuk di Baksil, terkesan tenggelam. Bandung tidak lagi ramai. Festival yang hampir setiap bulan muncul di kawasan publik berangusr-angsur tak kelihatan lagi.
Akibatnya, konsep kota hijau nan kreatif itu seakan-akan lenyap. Sebagai gantinya, justru muncul kasus korupsi wali kota, isu kejahatan jalanan, hingga daya tampung tempat pembuangan sampah beberapa waktu terakhir. Semuanya membuat Bandung terlihat susah payah meraih kejayaannya lagi.
”Kota harus punya konsep berkelanjutan. Menjadi tanggung jawab banyak pihak untuk mengangkat nama besar Bandung harum kembali. Semangat komunitas dan kebersamaan yang dulu pernah menghidupkan kota ini harus digelorakan kembali,” kata Iman.
Anak masa depan
Emil sepakat dengan ajakan itu. Wali Kota Bandung periode 2013-2018 itu merasakan kekuatan komunitas mengangkat Bandung. Kerelawanan hingga kerja bersama membuat berbagai potensi daerah dan warga merekah dikenal banyak kalangan.
”Baksil memiliki potensi terus dikembangkan. Selain memberikan kebahagiaan, Baksil lama melindungi kawasan di sekitarnya dari ancaman bencana. Warisan alam dan kearifan lokal yang tumbuh di baksil ini sangat kita butuhkan menghadapi dampak perubahan iklim yang marak terasa kini,” ujarnya.
Terkait itu, Emil teringat saat menjadi salah satu pembicara dalam The 4th Meeting 2023 United Nations Group of Experts Geographical Name (UNGEGN) di New York, Amerika Serikat, pada 2 Mei 2023.
Dia mewakili negara di Asia Tenggara berbicara tentang penggunaan toponimi sebagai alat bantu dalam mempercepat penanganan gempa bumi di Kabupaten Cianjur. Toponimi adalah ilmu bahasa yang membahas tentang asal usul penamaan tempat, wilayah, atau bagian lain dari rupa bumi.
Emil mengatakan, saat gempa Cianjur, toponimi ikut digunakan sebagai alat bantu merespons keadaan darurat. Penamaan kawasan ikut mendata kebutuhan dasar, perlindungan bagi kelompok masyarakat rentan, hingga fokus rehabilitasi infrastruktur penting.
Dia mencontohkan prioritas penanganan di episentrum gempa. Nama daerahnya adalah Kampung Cieundeur. Dalam bahasa Indonesia, eundeur adalah bergetar atau bergoyang.
Dengan kata lain, masyarakat Kampung Cieundeur telah sangat lama memiliki kesadaran akan gempa bumi dilihat dari nama kampung mereka. Dari situ, kebijakan penanganan gempa disampaikan lebih efektif pada warganya.
”Saya berharap di masa mendatang, data nama geografis berdasarkan kearifan lokal dapat meningkat lebih praktikal lagi. Tidak hanya sebatas penamaan saja, tapi juga membantu pada pencapaian tujuan bersama,” ujarnya.
Baca juga: Ridwan Kamil Jadi Pengerek Suara Golkar
Potensi serupa ada di Baksil. Haryoto Kunto, penulis buku Bandung Tempo Doeloe, mengatakan, para perancang Bandung memasukkan Baksil, yang dulu dikenal sebagai Lebak Gede, sebagai bagian dari kawasan hutan kota pada tahun 1920-an.
Babakan dalam bahasa Indonesia adalah kampung atau permukiman baru. Daerah dipilih menjadi tempat tinggal baru karena memiliki banyak sumber air.
Medio 1990-2000, tercatat ada 12 mata air di kawasan itu. Namun, akibat penataan tidak ideal, hanya ada satu mata air yang bertahan.
”Tentu menggembirakan bila banyak kawasan seperti Baksil hadir di Jabar. Udara yang segar pasti memberikan kita kualitas hidup lebih baik di tengah perubahan iklim,” ujar Emil.
Setelah lebih kurang satu jam berkeliling, rindu Emil pada Baksil yang ia perjuangkan, sedikit banyak terpuaskan. Bila dulu dia susah payah mempertahankan Baksil untuk masa depan kedua anaknya, Emmeril Kahn Mumtadz dan Camillia Laetitia Azzahra, kini ada Arka yang tumbuh dewasa.
Namun, ia mengatakan, Baksil hanya satu dari banyak kawasan publik di Bandung yang harus diperjuangkan untuk masa depan. Ada trotoar ramah pejalan kaki hingga alun-alun yang penting dipertahankan untuk terus memberi kebahagiaan bagi warganya.
”Harapan saya untuk Baksil dan Bandung masih sama. Kota ini harus menjadi tempat tinggal dan bertumbuh yang layak bagi semuanya,” ujar Emil.