Di tengah gempuran globalisasi, generasi muda cenderung melupakan kebudayaannya, terutama bahasa daerahnya. Padahal, bahasa daerah merupakan identitas sebuah daerah yang harus dilestarikan.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Pelestarian bahasa daerah dapat diimplementasikan melalui dunia pendidikan, terutama lewat muatan lokal. Tujuannya tidak lain untuk mengembalikan minat warga di daerah tersebut, terutama generasi muda, untuk bangga menggunakan bahasa daerahnya.
Hal ini diutarakan Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sumsel Ahmad Zulinto, Senin (8/5/2023). Menurut dia, saat ini sangat penting menyisipkan bahasa daerah di dalam kurikulum pembelajaran, terutama pada muatan lokal.
Di tengah gempuran globalisasi, terutama kemajuan teknologi informasi, generasi muda cenderung melupakan kebudayaannya, terutama bahasa daerahnya. Padahal, bahasa daerah merupakan identitas sebuah daerah yang harus dilestarikan.
Zulinto menerangkan, tahun lalu ketika dirinya masih menjabat sebagai Kepala Dinas Pendidikan Kota Palembang, pembelajaran bahasa Palembang sudah mulai ia canangkan, terutama bekerja sama dengan akademisi dari Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Fatah Palembang. ”Tahun lalu sudah mulai berjalan, entah bagaimana tindak lanjutnya saat ini,” kata Zulinto.
Cara ini diharapkan dapat menghubungkan kembali kebanggaan generasi muda untuk menggunakan bahasa daerahnya. ”Jangan sampai bahasa daerah kita, terutama bahasa melayu Palembang, punah,” ujar Zulinto.
Koordinator Kelompok Kerja Layanan Profesional, Perlindungan, dan Pemodernan Bahasa dan Sastra dari Balai Bahasa Sumatera Selatan Vita Nirmala menjelaskan, melayu Palembang merupakan satu dari empat bahasa daerah di Sumatera Selatan yang mengalami kemunduran.
Selain melayu Palembang, bahasa Lematang, Kayuagung, dan Pedamaran juga mengalami nasib serupa. Hanya bahasa Komering dan Ogan yang tidak mengalami kemunduran karena masih memiliki banyak penutur.
Jangan sampai bahasa daerah kita, terutama bahasa melayu Palembang, punah.
Untuk mengantisipasi kepunahan bahasa daerah, ujar Vita, dalam waktu dekat, pihaknya akan mengumpulkan para maestro (penutur asli) bahasa daerah untuk memberikan pelatihan kepada guru bahasa dan kemudian mengajarkannya kepada anak didik di sekolah melalui muatan lokal.
Menurut dia, pembelajaran bahasa daerah tidak hanya terpaku pada kegiatan di kelas saja, tetapi juga bisa dalam bentuk lain, misalnya puisi, komedi tunggal, pidato, dan penulisan cerpen.
Kepala Balai Bahasa Sumatera Selatan Karyono menuturkan, tidak hanya di sekolah, peran keluarga sangat penting untuk menularkan kecintaan bahasa daerahnya. ”Misalnya dengan menyisipkan kata-kata berbahasa daerah ketika berbincang atau menceritakan dongeng,” ungkapnya.
Hanya saja, hilangnya bahasa daerah terjadi ketika di satu keluarga pasangan suami-istri berasal dari daerah yang berbeda. Bisa saja salah satu dari bahasa daerah orangtuanya akan mendominasi di rumah atau bahkan mereka berkomunikasi dengan bahasa Indonesia. ”Hal inilah yang membuat bahasa daerah semakin redup,” ungkap Karyono.
Agar visi untuk melestarikan bahasa daerah dapat terwujud, peran semua pemangku kepentingan sangat dibutuhkan. Misalnya dengan menerapkan peraturan daerah (perda) bahasa daerah. Hal ini sudah dilakukan di beberapa provinsi, seperti Aceh dan Jambi. ”Memang untuk mewujudkan hal itu membutuhkan waktu yang lama karena membutuhkan peran eksekutif dan legislatif.
”Namun jika tidak dimulai sekarang, kapan lagi? Jangan sampai bahasa daerah kita di Sumsel kian habis,” ujar Karyono.
Budayawan Sumatera Selatan, Ahmad Rapanie Igama, menuturkan, sebenarnya Sumsel sudah memiliki peraturan daerah yang mengatur tentang pelestarian kebudayaan. Hanya saja semua dikembalikan pada keberpihakan pemerintah daerah.
”Jika memang pemdanya berpihak pada pelestarian budaya, perda ini tentu akan diperkuat menjadi perbup atau perwali,” ungkapnya. Namun, keberpihakan itu belum terlihat di Sumsel. Karena itu, penting mengembalikan kesadaran warga Sumsel untuk bangga menggunakan bahasa daerahnya.