Piagam Surabaya hasil Konferensi Internasional Tahunan dalam Studi Islam (AICIS) di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya, Jawa Timur, salah satunya menolak tegas penggunaan agama untuk kepentingan politik.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Penolakan terhadap politik identitas menjadi salah satu rumusan penting Piagam Surabaya hasil Konferensi Internasional Tahunan dalam Studi Islam (AICIS) di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya, Jawa Timur, Jumat (5/5/2023). Agama sepatutnya menjadi solusi persoalan kehidupan dan krisis kemanusiaan.
”Menolak penggunaan agama untuk kepentingan politik,” kata Rektor UIN Sunan Ampel Prof Ahmad Muzakki saat membacakan rekomendasi Piagam Surabaya. Turut mendampinginya antara lain Prof Mohd Roslan Bin Mohd Nor dari Malaysia dan Prof Eka Sri Mulyani dari UIN Ar Raniry Banda Aceh.
Muzakki melanjutkan, Piagam Surabaya bertujuan menjawab bagaimana agama di dunia yang berubah dengan cepat dapat berkontribusi untuk solusi krisis kemanusiaan. Selain itu, bagaimana fikih atau ilmu tentang hukum Islam menjadi landasan bagi peradaban yang menempatkan manusia setara. Fikih perlu tetap menjadi sumber hubungan dan koeksistensi antaragama yang toleran dan damai.
Piagam Surabaya berisi enam rekomendasi. Pertama, rekontekstualisasi semua doktrin dan pemikiran keagamaan yang tidak sesuai dengan prinsip martabat manusia, kedamaian, dan keadilan. Kedua, menjadikan tujuan tertinggi hukum Islam atau maqashid al-syariah sebagai prinsip penuntun reformulasi fikih. Ketiga, definisi, tujuan dan ruang lingkup fikih harus didefinisikan ulang atas dasar integrasi pengetahuan Islam, ilmu sosial, dan hak asasi manusia untuk mengatasi masalah kontemporer.
Keempat, menafsirkan ulang semua doktrin fikih yang mengkategorikan dan mendiskriminasi manusia atas dasar agama atau etnis, seperti konsep kafir dzimmi dan kafir, atau memandang selain Muslim sebagai tidak setara dan warga negara kedua. Kelima, menolak penggunaan agama untuk kepentingan politik. Fenomena politik identitas, khususnya yang berbasis agama, harus ditolak keras. Keenam, memelihara keberagaman dalam hidup berdampingan yang toleran dan damai yang menerapkan prinsip moderasi, kesetaraan, dan keadilan beragama.
Muzakki melanjutkan, agar fikih menjadi sumber peradaban, manusia harus ditempatkan dalam kesetaraan, bernilai dan aktif, dan bukan objek yang pasif. Semua tokoh dan pemimpin agama bertanggung jawab untuk menjadikan keyakinan tersebut selalu berada dalam jalan kemanusiaan dan kedamaian.
Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Sa’adi dalam penutupan konferensi mengatakan, agama sepatutnya menjadi solusi persoalan kehidupan. Agama jangan menjadi bagian atau sumber masalah. Untuk itu, ajaran-ajaran agama perlu terus menjalani rekontekstualisasi. Inilah yang kemudian menjadi nyawa atau tema AICIS ke-22, yakni ”Rekontekstualisasi Fiqih untuk Kesetaraan Manusia dan Perdamaian Abadi”.
Zainut melanjutkan, dalam Islam, tema itu tepat untuk menggali lagi ajaran-ajaran sehingga luwes dan relevan dengan tantangan kehidupan di masa modern. Fikih untuk kemanusiaan dan kedamaian terus didorong ulama-ulama dunia, tetapi perlu ada penyesuaian konteks dalam kehidupan saat ini yang dihiasi kemajuan teknologi informasi.
”Fikih harus ramah terhadap perbedaan dan perubahan,” katanya.
Ajaran Islam, kata Zainut, harus terus menjadi sinar terang dan penawar beragam persoalan global. Fikih bersifat terbuka untuk pemahaman dan paradigma baru sehingga bisa terus relevan dengan kehidupan umat manusia. Dalam kepentingan itu, AICIS diperlukan sebagai wadah para ahli untuk berkontribusi dalam rekontekstualisasi.
”Piagam Surabaya bisa menjadi dokumen akademik sebagai tawaran bagi umat Islam dan dunia menghadapi dinamika kehidupan yang majemuk dan kompleks,” ujarnya.
AICIS berlangsung sejak 2 Mei 2023 yang diikuti pakar-pakar fikih kampus keagamaan Islam dari Indonesia dan mancanegara, yakni Australia, Malaysia, Mesir, Turki, Inggris, dan Amerika Serikat. Dalam konferensi ini, ditampilkan 180 panelis yang 40 panelis utusan jurnal studi keagamaan Islam yang terindeks SCOPUS. Pembahasan tema terbagi menjadi sepuluh subtema, antara lain fikih dalam konteks anti-kekerasan, kebijakan publik, minoritas, jender, disabilitas, ekonomi, pendidikan, dan literasi dalam 48 kelas paralel.