Empat Bahasa Daerah di Sumsel Mulai Kehilangan Penutur Muda
Empat dari enam bahasa daerah di Sumatera Selatan mengalami kemunduran. Semakin berkurangnya minat penutur muda untuk melestarikan bahasa daerah menjadi salah satu penyebabnya.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Empat dari enam bahasa daerah di Sumatera Selatan mulai kehilangan penutur muda. Apabila tidak segera dilakukan revitalisasi, semuanya rawan punah.
Dalam Taklimat Revitalisasi Bahasa Daerah di Sumatera Selatan tahun 2023 yang digelar di Palembang, Jumat (5/5/2023), disebutkan ada enam bahasa daerah di Sumsel berdasarkan pemetaan tahun 2009. Selain Melayu, ada Lematang, Komering, Kayuagung, Ogan, dan bahasa Pedamaran.
Koordinator Kelompok Kerja Layanan Profesional, Perlindungan, dan Pemodernan Bahasa dan Sastra dari Balai Bahasa Sumsel Vita Nirmala mengatakan, sejauh ini hanya bahasa Komering dan Ogan yang masih memiliki banyak penutur.
Bahasa Komering masih dituturkan sedikitnya 470.000 orang di Ogan Komering Ulu Timur, Ogan Komering Ulu Selatan, Ogan Komering Ilir, dan Ogan Komering Ulu. Penutur bahasa Ogan bahkan lebih banyak, hampir 1,6 juta orang yang tersebar di Ogan Komering Ulu, Muara Enim, Banyuasin, dan Ogan Ilir.
Akan tetapi, masa depan bahasa Melayu, Kayuagung, Pedamaran dan bahasa Lematang di Sumsel rentan terancam. Jumlah penutur dan luas wilayah sebaran penggunanya tidak sebanyak sebelumnya.
”Warga yang potensial menjadi penuturnya terkadang gengsi menggunakan bahasa daerah itu di depan publik,” ujarnya.
Selain itu, pesatnya mobilitas sosial atau migrasi di satu daerah menjadi faktor pemicu lainnya. Bahasa daerah rentan bercampur dengan bahasa pendatang. Perkawinan juga rawan membuat bahasa daerah tidak dituturkan. Saat kedua orangtuanya hanya menggunakan satu bahasa dalam rumah tangga, bahasa daerah rentan tidak digunakan.
Oleh karena itu, Vita meminta agar revitalisasi bahasa daerah segera dilakukan. Salah satu caranya adalah dengan gencar mengajak penutur muda menggunakan bahasa daerah dalam kehidupan sehari-hari. ”Perlu ruang kreativitas agar mereka terlecut untuk melestarikan bahasa daerahnya.
Kepala Balai Bahasa Sumsel Karyono menuturkan, pihaknya telah menggelar Festival Tunas Bahasa Ibu untuk menjaga eksistensi enam bahasa daerah di Sumsel. Selain itu, lanjut Karyoto, telah dilakukan koordinasi ke sejumlah pemangku kepentingan untuk membuat sebuah payung hukum yang dapat memperkuat langkah revitalisasi bahasa daerah ini.
”Kalau bisa kita bisa membuat peraturan daerah (perda) pelestarian bahasa daerah seperti yang sudah dilakukan Aceh dan Jambi,” katanya.
Menurut dia, payung hukum ini penting untuk memastikan semua langkah revitalisasi mendapat dukungan dari semua pihak, baik dalam bentuk program dan alokasi anggaran. ”Tidak kalah penting menuangkan bahasa daerah dalam kurikulum sehingga dapat diajarkan kepada generasi muda,” ungkapnya.
Budayawan Sumsel Ahmad Rapanie Igama mengatakan, sebetulnya telah ada Peraturan Daerah Sumsel Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pelestarian Kebudayaan Daerah. Pada Pasal 10, tertuang delapan aspek kebudayaan yang perlu dilestarikan, salah satunya adalah kebahasaan dan kesusastraan.
Dari payung hukum itulah, pemangku kepentingan bisa membuat peraturan turunan yang tentu bersifat lebih spesifik. Namun, ia mengingatkan, semuanya membutuhkan keberpihakan banyak pihak untuk mewujudkannya.