Setelah 20 Hari Dirawat karena Terperosok, Anak Gajah Mati di CRU Tangkahan
Gajah jinak bernama Eropa (8) mati di CRU Tangkahan, Langkat, Sumut, setelah 20 hari dirawat karena lumpuh akibat terperosok. Gajah mengalami disorientasi setelah diserang virus ”Elephant endotheliotropic herpesviruses”.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Gajah jinak bernama Eropa (8) mati di Unit Tanggap Konservasi (CRU) Tangkahan, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, setelah 20 hari dirawat karena lumpuh akibat terperosok ke celah kayu. Gajah sumatera itu diduga terperosok karena mengalami disorientasi setelah diserang virus Elephant endotheliotropic herpesviruses.
”Kami bersama tim dokter hewan menangani Eropa dengan maksimal dengan mengobati luka, memberi infus, vitamin, dan terapi berdiri menggunakan katrol. Namun, gajah itu tidak terselamatkan,” kata Kepala Bidang Wilayah III Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) Palber Turnip, Kamis (4/5/2023).
Palber mengatakan, gajah sumatera betina itu ditemukan mati pada Minggu (30/4/2023) pagi setelah dirawat selama 20 hari. Gajah betina itu awalnya tidak pulang ke kandang, Senin (10/4/2023) sore. Tim mahout lalu mencarinya hingga tengah malam, tetapi tidak ditemukan. Besok paginya, Eropa ditemukan terjepit di celah batang pohon yang sudah tumbang di alur blok hutan kandang rusa, TNGL Resor Tangkahan. Tim dari Balai Besar TNGL dan CRU Tangkahan menolong Eropa dengan memotong pohon itu.
Setelah Eropa dievakuasi, ditemukan luka dalam hingga mengenai tulang di kakinya. Gajah yang lahir dari induk bernama Olive (33) itu tidak bisa berdiri. Tim dokter hewan memberi perawatan medis untuk mengobati lukanya. Dia diberikan antibiotik, vitamin, makanan dan minuman, serta infus.
Setelah itu, tim juga melakukan terapi berdiri dengan memakaikan rompi kepada Eropa dan mengangkatnya dengan katrol. Gajah itu juga dipindahkan ke dekat kandangnya. ”Karena badannya besar, gajah jika tidak bergerak akan menimbulkan komplikasi penyakit lain. Ini yang membuat banyak gajah lumpuh sulit diselamatkan,” kata Palber.
Palber menyebut, tim medis rutin membolak-balikkan badan gajah selama perawatan. Namun, Eropa tetap tidak bisa diselamatkan hingga ditemukan mati. Tim dokter hewan lalu melakukan nekropsi untuk melihat penyebab kematian dan langsung mengubur gajah itu.
Palber mengatakan, Eropa lahir pada Agustus 2015. Gajah itu terinfeksi virus Elephant endotheliotropic herpesviruses (EEHV). Virus mematikan ini menyebabkan sebagian besar gajah yang terinfeksi mati saat masih bayi. ”Eropa selamat dari virus ini dan bertahan sampai umur delapan tahun. Akan tetapi, dia menjadi gajah seperti berkebutuhan khusus,” kata Palber.
Gerakan motorik Eropa sering tidak terkendali dan sering pergi sendiri. Eropa juga sering mengalami disorientasi. Hal ini diduga membuat gajah tersebut terperosok. Banyak yang menyebut gajah yang sudah pernah terinfeksi EEHV seharusnya dikurung saja dikandang. Namun, kata Palber, hal itu juga berdampak negatif karena membuat gajah stres serta naluri liar dan bertahan hidupnya menjadi rendah.
Direktur Veterinary Society for Sumatran Wildlife Conservation (Vesswic) Drh Muhammad Wahyu mengatakan, terperosoknya gajah merupakan kecelakaan yang sulit diprediksi. ”Artinya, ini murni kecelakaan. Kalau di jalan, ini seperti kecelakaan tunggal,” kata Wahyu.
Setelah kematian Eropa, kata Palber, saat ini tersisa sembilan gajah jinak di CRU Tangkahan. Sebelumnya, CRU Tangkahan hanya mempunyai tujuh gajah yang terdiri dari enam betina dan satu jantan. Pada 2015, lahir tiga gajah, termasuk Eropa.
CRU Tangkahan yang berjarak sekitar 100 kilometer dari Medan ini menjadi salah satu destinasi pariwisata lingkungan hidup yang diminati di Sumut. Wisatawan biasanya menunggang gajah, memandikan, hingga menelusuri hutan TNGL.