Lebih dari 35.000 pohon jeruk mati dan membuat varietas unggul di Pulau Kisar itu mendekati punah. Petani dan warga Kisar hanya bisa meratapinya.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
Ana Daniel (64) menyapu pandangan ke sekeliling rumahnya sambil menunjuk lokasi yang dulunya ditumbuhi lebih dari 30 pohon jeruk. Tanaman itu kini tak berbekas setelah disapu tanpa ampun oleh penyakit yang datang belasan tahun silam. Bencana besar memukul ekonomi bahkan nyaris menghapus ikon pulau di mana Ana berada.
Namanya Pulau Kisar. Berada di perbatasan dengan Republik Demokratik Timor Leste, pulau yang masuk dalam wilayah Kabupaten Maluku Barat Daya, Provinsi Maluku, ini sejak dulu merupakan penghasil jeruk terkenal. Jika menyebutkan Kisar, pikiran orang akan tertuju pada jeruk. Ya, jeruk menjadi ikon Kisar.
Sayangnya, saat didatangi Kompas, pada 20 April 2023 lalu, jeruk kisar nyaris tidak ditemukan lagi di pulau seluas lebih kurang 81,8 kilometer persegi itu. Selama hampir satu jam keliling menggunakan sepeda motor di Desa Kottalama dan Desa Wonreli, tidak didapati pohon jeruk. Padahal, dulu di setiap pekarangan rumah orang Kisar selalu ada tanaman jeruk.
Jeruk yang tumbuh di pekarangan rumah baru ditemukan di Desa Lebelau, Kecamatan Kisar Utara. Itu pun jumlahnya tak banyak lagi. Di rumah Ana, misalnya, kini hanya tersisa dua pohon. Satu pohon sudah berbuah dan satu lagi baru berumur kurang dari dua tahun. ”Hanya ini yang tersisa dari 30 pohon lebih,” ujar Ana dengan wajah sendu.
Ia menuturkan, jeruk menjadi komoditas utama yang menghidupi ekonomi masyarakat Kisar. Ketika musim panen jeruk yang datang mulai Juni hingga Oktober, setiap pohon bisa menghasilkan hingga di atas 1.000 buah. Bahkan, ada yang sampai 2.500 buah. Pemilik kebun kewalahan memanen. Keluarga Ana biasanya menyewa jasa buruh petik.
Jeruk itu lalu dibawa menggunakan kapal ke beberapa kota di Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Nusa Tenggara Timur. ”Satu tahun kami dapat sampai puluhan juta rupiah. Itu salah satu buktinya,” ucap Ana sambil menunjuk rumah permanen milik mereka yang dibangun dari hasil menjual jeruk.
Hasil jual jeruk kisar juga membawa generasi muda dari pulau terluar itu mengenyam pendidikan hingga ke perguruan tinggi. Mereka kuliah di Ambon dan berbagai kota di Pulau Jawa. Berkat jeruk, mereka meraih gelar sarjana.
Jeruk dari Kisar terkenal lantaran rasanya yang manis. Ana meyakini, jeruk yang tumbuh di atas karang dengan terpaan matahari yang maksimal, rasanya akan lebih manis. ”Pernah coba ditanam di beberapa pulau terdekat, tapi hasilnya beda. Tidak manis. Memang di sini tempatnya,” ujarnya.
Mengutip data Kementerian Pertanian, jeruk kisar merupakan varietas jeruk keprok (C.nobilis). Tinggi pohon mencapai 7 meter. Jeruk itu tumbuh secara alamiah di Kisar, bukan lewat proses budidaya. Benih jeruk tumbuh di titik di mana warga membuang biji jeruk yang mereka makan. Tak heran jika tanaman jeruk di Kisar tidak dalam formasi yang rapi.
Jeruk tumbuh tanpa ada perlakuan khusus. Tak ada pupuk organik yang diberikan untuk menyuburkan tanaman. Sesekali warga membersihkannya dari tanaman pengganggu. Itu pun untuk jeruk yang masih kecil. Selebihnya, mereka menyerahkan sepenuhnya proses itu kepada alam. Jeruk sudah mulai berbuah lebat setelah 10 tahun sejak mulai tumbuh.
Rasa dan kekhasan membuat jeruk kisar menjadi ikon Pulau Kisar. Pemerintah pusat pun memberi perhatian dengan terbitnya Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 864/Kpts/TP.240/11/1998. Pada intinya menyatakan bahwa jeruk kisar sebagai varietas unggul dan mendapatkan sertifikasi dengan nama ”jeruk manis kisar”.
Sayangnya, mulai tahun 2010, muncul fenomena jeruk mulai mati. Satu pohon, dua pohon, kemudian merata hingga ke seluruh sudut pulau itu. ”Pohon jeruk mulai kering dari pucuk ke batang bawah sampai akar. Mati semua. Saya punya jeruk, tapi tidak banyak. Ada warga saya sampai 100 pohon mati semua,” tutur Rudy Stevy Ruff, Kepala Desa Kottalama.
Rudy dan banyak petani jeruk yang ditemui curiga bahwa matinya jeruk itu disebabkan penyakit yang dibawa dari luar lalu disebarkan di pulau tersebut. Mereka bahkan mengaitkannya dengan kehadiran pihak-pihak tertentu di pulau itu sebelum matinya jeruk.
Ada pula yang mengaitkan dengan maraknya penggunaan obat-obat pertanian untuk memusnahkan rumput liar. Dugaan dan spekulasi itu masih terus berkembang hingga saat ini. Pemerintah juga belum melakukan penelitian secara mendalam untuk mengungkapkan penyebab yang sesungguhnya.
Lefidus Malau, staf Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi dengan minat khusus kedaulatan pangan, mengatakan, berbagai penelitian dan model pengendalian penyakit di sejumlah daerah, seperti Pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan, dinilai berhasil. Banyak tanaman selamat.
Keberhasilan semacam itu hendaklah dapat diterapkan pada usaha tanaman jeruk kisar. Sayangnya, sejauh pantauan dia, dinas pertanian dan dinas lain yang terkait di daerah tersebut tidak kelihatan melakukan usaha revitalisasi.
”Hama dan penyakit tanaman itu ada di mana-mana. Berbagai Penelitian, model pengendalian, dan contoh keberhasilan itu banyak. Hal yang dibutuhkan adalah kepekaan, keberpihakan, dan penganggaran dari pemerintah daerah untuk mengatasi persoalan tersebut,” ujar Lefidus, yang datang ke Kisar beberapa waktu lalu.
Sementara itu, Kepala Dinas Pertanian Maluku Barat Daya Yosua DD Philipus mengatakan, matinya jeruk disebabkan jamur diplodia seperti halnya di banyak daerah. Namun, ia tidak mengetahui dari mana datangnya atau bagaimana perkembangan jamur tersebut di Kisar.
Pemerintah memperkirakan, jumlah tanaman jeruk di Kisar yang mati mencapai 35.000 pohon atau lebih kurang 80 persen dari total populasi. ”Kami memahami dampak ekonomi yang timbul dari kondisi ini. Masyarakat sangat terpukul,” ujarnya.
Langkah yang pernah diambil pemerintah adalah mengundang peneliti dari sejumlah perguruan tinggi untuk menyelamatkan populasi yang tersisa. Tanaman yang masih hidup dibawa ke laboratorium untuk diteliti lalu dikembangbiakkan. Anakannya diserahkan kepada masyarakat untuk ditanam. Sayangnya, program itu gagal.
Kini, Ana dan ribuan petani jeruk di pulau berpenduduk 15.000 jiwa itu berusaha menjaga jeruk yang populasinya terancam punah. Mereka waswas, jangan sampai datang lagi serangan berikutnya yang bakal membuat jeruk di Kisar tinggal nama.