Kasus dukun gadungan yang menjerat Orang Rimba di Jambi menguak minimnya perhatian negara. Mulai dari lambannya penanganan hukum hingga absennya layanan kesehatan. Gambaran diskriminasi berulang pada komunitas adat.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·5 menit baca
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN
Penyakit kulit dialami warga komunitas adat Orang Rimba di Koto Boyo, Kecamatan Batin XXIV, Batanghari, Jambi, Senin (18/10/2021), menyusul masifnya aktivitas tambang batubara. Sebagian warga terpaksa mengungsi karena tak tahan oleh pekatnya debu yang beterbangan di udara dan kondisi air sungai yang tercemar.
Orang Rimba panik. Penyakit campak melanda anak-anak di wilayah Terab, perbatasan Batanghari dengan Sarolangun, Jambi, tetapi layanan kesehatan keliling tak kunjung hadir.
Rupanya, absennya layanan puskesmas keliling sudah sejak awal tahun. ”Lamohopi ado (sudah lama tidak ada) dokter (puskesmas keliling),” ujar Temenggung Ngelembo, pimpinan Orang Rimba di wilayah Terab, Selasa (25/4/2023).
Dalam kebingungan mengatasi campak yang tak kunjung mereda, Orang Rimba mendatangi DS. Pria itu merupakan penjual keliling ikan yang belakangan mengaku pula sebagai dukun.
Praktik pengobatannya ternyata baru diketahui sarat asusila. ”Anak-anak yang sakit, tetapi malah induk-induk (ibu) yang dimandikan di sungai,” ujarnya menceritakan praktik si dukun gadungan.
Kemarahan Orang Rimba makin memuncak dua pekan lalu. Salah seorang induk rimba, Nyado, hilang.
IRMA TAMBUNAN
Warga komunitas Orang Rimba melaksanakan ritual memandikan bayi di wilayah Punti Kayu, Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi, Sabtu (2/7/2022). Pelestarian hutan perlu diperkuat sebagai ruang hidup bagi komunitas pedalaman itu.
Warga menduga Nyado dibawa lari DS, bersama uang sebesar Rp 40 juta. Orang Rimba kemudian melaporkannya ke Kepolisian Sektor Air Hitam di Sarolangun. Sudah lebih dari dua pekan berlalu, aparat tak kunjung berhasil menemukan keduanya.
Kepala Kepolisian Resor Sarolangun Ajun Komisaris Besar Imam Rachman beralasan belum ada titik terang dalam upaya pencarian. ”Masih dalam pencarian,” katanya.
Persoalan lambannya penanganan hukum dan absennya layanan kesehatan keliling di wilayah itu dinilai sebagai potret diskriminasi negara terhadap komunitas pedalaman. Peneliti sosial dari Universitas Nurdin Hamzah, Jambi, Wenny Ira, membuktikan fakta diskriminasi dan minimnya layanan negara bagi Orang Rimba dalam survei dan analisisnya.
Bentuk-bentuk diskriminasi yang dialami Orang Rimba tidak hanya soal hukum, tetapi merata pada hampir segala aspek kehidupan. Dari survei yang berlangsung pada Agustus hingga November 2022, didapati akses layanan pendidikan dan kesehatan rendah. Terlebih lagi akses literasi terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan kehidupan sosial. Termasuk akses untuk mendapatkan kesempatan dalam pengembangan ekonomi.
IRMA TAMBUNAN
Alih fungsi ekosistem Bukit Duabelas di Jambi telah menyebabkan sebagian besar rumah bagi komunitas Orang Rimba beralih menjadi lahan monokultur.
Secara khusus pada layanan dasar pendidikan, dampaknya menunjukkan kondisi miris. Kemampuan membaca dan menulis Orang Rimba didapati sangat rendah. ”Bahkan, di kalangan perempuan, hanya 0,1 persen yang memiliki kemampuan baca dan tulis,” ujarnya memaparkan hasil riset Estungkara bersama lembaga pendampingan masyarakat, Pundi Sumatera, di dua kelompok komunitas Orang Rimba wilayah Bungo.
Guru Besar Antropologi Universitas Gadjah Mada Bambang Hudayana melihat Orang Rimba dilanda kerentanan yang sangat besar. Hal itu terjadi akibat proses panjang pembangunan yang mengesampingkan keberadaan mereka.
Perubahan Ekosistem Bukit Duabelas di Jambi dalam tiga dekade mengantar Orang Rimba ke dalam gegar budaya. Masyarakat dilanda ketakutan menyaksikan langsung kehilangan hutan yang selama itu menjadi ruang hidup. Hutan-hutan dibuka menjadi kebun berskala besar.
Tak hanya kehilangan sumber pangan dan tempat bernaung, Orang Rimba menjadi sulit mempertahankan beragam tradisi dan ritual, serta termasuk penyembuhan penyakit. Apalagi, bahan tumbuhan obat dalam hutan makin langka. ”Etnomedisin pun terancam luntur,” ujarnya.
Bambang melihat Orang Rimba kini dihadapkan pada kebimbangan besar. Di satu sisi, mereka ingin mempertahankan nilai-nilai tradisi. Di sisi lain, kehilangan sumber daya hutan menimbulkan ketidakberdayaan.
Di saat yang sama, dunia luar memperkenalkan pengobatan modern yang dianggap lebih mujarab. Orang Rimba akhirnya makin tergiur.
Gambaran serupa terjadi di berbagai komunitas pedalaman lainnya. Kehilangan sumber daya alam menyebabkan kerentanan pada berbagai segi kehidupan.
International Work Group for Indigenous Affairs mendata 476 juta warga komunitas pedalaman di dunia hidup dalam ancaman kemiskinan. Bahkan, sebagian hidup dalam kemiskinan ekstrem. Tingkat harapan hidupnya 20 tahun lebih rendah daripada warga nonpedalaman.
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN
Keluarga Orang Rimba di wilayah Batanghari, Nawan bersama dua anaknya, menantikan pembagian bantuan bahan makanan dan minuman dari berbagai pihak untuk mengatasi krisis pangan di wilayah Batanghari, Jambi, Kamis (12/3). Posko medis juga digelar bersama TNI-Polri untuk menangani masalah kesehatan di kalangan Orang Rimba.
Selain ancaman kemiskinan, lanjut Bambang, masyarakat terdiskriminisasi dalam pelayanan publik, infrastruktur dasar, dan menghadapi berbagai hambatan untuk berpartisipasi penuh dalam ekonomi formal ataupun penyelenggaraan pemerintahan.
Lebih rentan
Mendapat perlakuan tidak setara dan dikucilkan membuat mereka lebih rentan terhadap dampak perubahan iklim dan bencana alam. Diskriminasi itu, sebagaimana dikutip dari catatan ILO tahun 2019, sering diperburuk oleh kurangnya akses terhadap pelayanan kesehatan, air bersih, pendidikan, dan pasar. Akibatnya, mereka kerap mengalami kerawanan pangan.
Demi mempertahankan sumber daya alamnya, komunitas adat kerap berkonflik dengan negara, korporasi, ataupun dengan masyarakat luar. ”Itu terjadi kepada Orang Rimba dan kebanyakan komunitas adat lainnya di berbagai daerah,” katanya.
Berdasarkan catatan Kompas, Orang Rimba berkonflik dengan petugas keamanan perusahaan kebun sawit di Sarolangun pada akhir 2021. Awalnya, sejumlah induk memungut remah buah sawit yang terbuang di tanah. Tiba-tiba, mereka didatangi petugas keamanan perusahaan yang mengelola kebun. Petugas lalu merampas remah buah sawit dari para induk sehingga mereka ketakutan dan berteriak-teriak histeris. Warga kelompok itu pun berdatangan. Terjadilah konflik.
Tiga warga Orang Rimba ditahan enam bulan karena melukai petugas keamanan. Sebaliknya, petugas yang melukai Orang Rimba tidak ditahan.
Warga komunitas Orang Rimba di wilayah Merangin, Mijak Tampung, mendesak pemerintah menyiapkan lahan kelola bagi mereka. Hal itu agar mereka bisa tetap mempertahankan tradisi dan berdaya mencukupkan kebutuhan pangan dan bahan obat-obatan.
IRMA TAMBUNAN
Alih fungsi ekosistem Bukit Duabelas di Jambi telah menyebabkan rumah bagi komunitas Orang Rimba beralih menjadi kebun sawit swasta. Dalam foto yang diambil pada 2014 ini, tampak sejumlah warga memunguti buah yang jatuh di tanah.
Wenny juga mendorong agar negara memaksimalkan akses layanan bagi Orang Rimba, setidaknya untuk layanan dasar. Termasuk perlunya upaya kolaboratif guna meningkatkan literasi terhadap komunitas pedalaman tersebut. ”Dukungan ini penting agar mendorong mereka punya pemahaman pengetahuan sebagai bekal menjalani kehidupan di tengah masyarakat,” tuturnya.
Bagaimanapun, katanya, mereka menyadari bahwa dunia terus berkembang. Orang Rimba juga ingin berdaya. Terlebih, negara telah mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya. Itu disebutkan dalam amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Maka, selayaknya pengakuan dan penghormatan itu diimplikasikan secara nyata.