Di Kisar hidup etnis berdarah Eropa. Ada Joostensz, Wouthyusen, Caffin, Lerrick, Peelman, Lander, Ruff, Bellmin-Belder, Coenradi, Van Delsen, dan Schiling.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·4 menit baca
Nenek yang berjalan di lorong perkampungan Kottalama, Pulau Kisar, itu berbeda perawakannya dengan masyarakat Kisar kebanyakan. Bentuk wajahnya tirus, warna kulitnya terang, rambutnya lurus, dengan tinggi badannya lebih dari 170 sentimeter. Namanya Maya Belder.
Banyak orang tak menyangka, Maya yang sudah berusia 65 tahun itu masih energik. Selain pola hidup yang dijaga seperti suka jalan kaki, faktor genetik membuat dirinya masih terus sehat. Ia meyakini, harapan hidupnya masih lama. ”Banyak orang di Eropa memang begitu. Umur panjang,” ujar Maya yang berdarah Belanda itu saat ditemui pada Jumat (21/4/2023).
Maya memiliki 12 saudara dan hampir semuanya masih sehat. Bahkan, di dalam keluarga mereka, ada yang berusia mendekati satu abad. Sebagian besar dari mereka menikah dan tinggal di Kisar, pulau terluar yang masuk wilayah Kabupaten Maluku Barat Daya, Provinsi Maluku, itu.
Ada juga yang menetap di Ambon, di Nusa Tenggara Timur, di Papua, dan beberapa kota di Pulau Jawa. ”Yang di Eropa tidak ada. Saya juga tidak tahu garis keturunan kami di Eropa di mana saja. Yang saya tahu, kami ini orang Kisar. Di sini tanah tumpah darah kami,” ujarnya.
Selain Maya, ada Rudy Stevy Ruff (42) yang juga perawakannya berbeda dengan warga Kisar pada umumnya. Tinggi Rudy 184 sentimeter mirip pemain sepak bola Eropa kebanyakan. ”Anak saya malah lebih tinggi dari saya. Tinggi dia di atas 190 sentimeter. Dia pemain bola voli,” ujar Rudy yang kini menjabat Kepala Desa Kottalama.
Rudy menuturkan, ia adalah generasi ketujuh dari Kopral J Ruff, prajurit Kolonial Belanda yang berasal dari Jerman. Ruff juga diketahui menjadi pemimpin pertama di kampung Eropa tersebut setelah berdiri Benteng Ruine Des Fort Delfshaven Von Sueden pada 1670.
Pada abad ke-17, menurut dia, pemerintah Kolonial Belanda yang berpusat di Kepulauan Banda, Maluku Tengah, mengirim 11 orang prajurit ke Kisar. Kedatangan mereka untuk mengantisipasi pergerakan Portugis yang ingin memperluas wilayah kekuasaan dari Pulau Timor, yang kini masuk wilayah Negara Timor Leste, ke Kisar dan sekitarnya.
Sebanyak 11 prajurit itu berasal dari famili yang berbeda-beda, antara lain Joostensz, Wouthyusen, Caffin, Lerrick, Peelman, Lander, Ruff, Bellmin-Belder, Coenradi, Van Delsen, dan Schiling. Para prajurit itu berasal dari sejumlah negara.
Di Kisar, mereka membuat perkampungan di Kottalama dekat benteng tersebut. Raja Wonreli yang berkuasa di daerah itu menerima mereka dan mengutus satu marga untuk bergabung, yakni Bakker. Jadilah di Kottalama diisi 12 marga. Nama-nama marga tertulis di prasasti benteng tersebut.
Padahal, benteng ini tersusun dari batu karang yang direkatkan menggunakan putih telur dan kapur. (Welem Mamonsary)
Setelah membentuk perkampungan kemudian beranak pinak, berberapa pendiri kampung itu meninggalkan Kisar. Anak dan cucu mereka tetap tinggal di sana.
Keturunan mereka masih ada sampai saat ini. ”Sayangnya, kami tidak tahu keluarga kami di Eropa,” ujar Rudy sambil menunjukkan foto para prajurit pendiri kampung itu.
Kehadiran etnis Eropa menambah etnis yang ada di Pulau Kisar, pulau karang seluas 81,8 kilometer persegi itu. Saat ini, Pulau Kisar dihuni lebih kurang 15.000 jiwa yang berasal dari berbagai etnis. Mereka tersebar di sembilan desa. Etnis yang paling dominan meliput Meher yang tersebar di 6 desa, Woirata di 2 desa, dan Mustisen atau keturunan Eropa di 1 desa.
Menurut Rudy, di Desa Kottalama yang kini berpenduduk 872 jiwa itu, sekitar 70 persen warganya berdarah Eropa. ”Untuk yang murni tidak ada lagi karena sudah kawin campur. Yang mata mereka warnanya biru seperti orang asli Eropa itu tinggal beberapa saja, tapi sayangnya saat ini mereka lagi kunjung keluarga ke pulau seberang,” kata Rudy.
Ia mengatakan, di kalangan keluarga berdarah Eropa tidak pernah ada kesepakatan bahwa mereka hanya boleh menikahi sesama etnis. Mereka sangat inklusif menjalin hubungan perkawinan dengan masyarakat lokal. Tidak ada upaya pemurnian ras seperti yang sering mereka dengar dilakukan oleh etnis tertentu.
Oleh karena itu, sering didapati warga Kottalama dengan nama marga Eropa, tetapi perawakan mereka seperti kebanyakan warga setempat. Salah satunya adalah Thomas Belder (65), saudara sepupu Maya. Wajah Thomas seperti orang Kisar kebanyakan. ”Tampang saya ini sangat timur karena campurannya sudah terlalu banyak,” ujar Thomas bercanda.
Welem A Mamonsary, Sekretaris Desa Kottalama, mengatakan, beberapa peninggalan yang sampai saat ini masih dirawat di antaranya cap desa, buku yang berisi silsilah keturunan, dan Benteng Ruine Des Fort Delfshaven Von Sueden yang berada di dekat kantor desa. Dengan segala upaya, peninggalan itu akan terus dijaga lintas generasi.
Namun, kini mereka terkendala dalam perawatan benteng yang kondisi bangunannya hanya tersisa di bagian depan. Di sisi kiri, kanan, dan belakang sudah ambrul. Di bagian depan itu masih bertahan setelah dipugar beberapa waktu lalu. Proses pemugaran pun menggunakan campuran semen.
”Padahal, benteng ini tersusun dari batu karang yang direkatkan menggunakan putih telur dan kapur,” ucapnya.
Keberadaan etnis Eropa berikut peninggalan yang tersisa membuat Kisar menjadi lebih berwarna dari sisi budaya, sejarah, dan tentu manusia di dalamnya.
Ada kulit hitam dan terang. Ada rambut keriting dan lurus. Ada orang berpostur tinggi dan pendek. Ada pula mata biru yang kini perlahan mulai memudar setelah perkawinan campur yang berlangsung berabad-abad.