Pesan Persaudaraan dan Kasih Sayang dalam Idul Fitri di Kota Medan
Perbedaan harus menjadi alat untuk menebar kasih sayang. Marilah mimbar-mimbar agama kita gunakan untuk mendinginkan dan melembutkan hati kita.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Idul Fitri menumbuhkan kedamaian dan persaudaraan yang kokoh untuk bangsa Indonesia. Silaturahmi menjadi momen untuk menyebarkan kasih sayang dan mengakhiri wacana kebencian. Semakmur dan semaju apapun, sebuah bangsa tidak akan pernah mendapat kebahagiaan jika saling dendam, caci-maki, dan membenci bertumbuh di antara bangsa itu.
”Perbedaan harus menjadi alat untuk menerbar kasih sayang. Marilah mimbar-mimbar agama kita gunakan untuk mendinginkan dan melembutkan hati kita,” kata Ahmad Muzani al-Fadani, yang menjadi khatib dalam Shalat Idul Fitri 1444 Hijriah di Taman Cadika, Medan, Sumatera, Sabtu (22/4/2023).
Shalat Idul Fitri itu dihadiri Gubernur Sumut Edy Rahmayadi, Wali Kota Medan Bobby A Nasution, Wakil Wali Kota Medan Aulia Rachman, dan warga.
”Jika benar-benar lulus dari latihan yang telah dijalani selama Ramadhan, kita akan memberi efek positif di tengah masyarakat. Ramadhan telah mendidik dan mengajarkan umat agar menjadi pribadi yang bertakwa dan memberikan dampak besar pada diri sendiri, orang lain, dan alam semesta,” ujar Ahmad Muzani.
”Rasulullah diutus bukan menjadi rahmat lil muslimin, hanya untuk orang Islam saja. Bukan menjadi rahmat hanya untuk orang mukmin saja, tetapi Rasulullah diutus untuk menebar kasih sayang untuk seluruh alam, untuk seluruh manusia, kepada seluruh ciptaan Allah,” kata Muzani.
Muzani mengatakan, perbedaan seharusnya menjadi alat untuk menebar kasih sayang. Namun, saat ini kita menghadapi perbedaan yang justru dijadikan alat menyebarkan ujaran kebencian. Tidak bisa dimungkiri, wacana kebencian menyebar secara masif melalui lisan maupun media sosial.
”Lebih parahnya lagi, kebencian telah disebarkan melalui mimbar-mimbar agama yang diisi dengan caci maki dan saling laknat,” kata Muzani.
Muzani mengajak umat belajar dari masa lalu dari dinasti Bani Umayyah. Para khatib terbiasa melaknat dan mencaci Sayyidina Ali radhiyallahu‘anh di tengah kotbah mereka. Kebiasaan itu dilatarbelakangi perselisihan antara Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu‘anh dengan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu‘anh.
Marilah mimbar-mimbar agama kita gunakan untuk mendinginkan dan melembutkan hati kita.
Narasinya sangat jelas, agar penduduk Syam sebagai pusat pemerintahan Bani Umayyah semakin kehilangan simpati terhadap Sayyidina Ali radhiyallahu‘anh. Kebiasaan itu terus terjadi sampai masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, satu-satunya khalifah dari Bani Umayyah yang diakui keadilannya. Dia pun menghentikan kebiasaan melaknat dan mencaci tersebut.
Umar bin Abdul Aziz menghapus kalimat laknat untuk Ali radhiyallahu‘anh. Dia menggantinya dengan: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang berbuat keji, kemungkaran, dan permusuhan.
”Mari kita jadikan Idul Fitri ini menjadi alat untuk berbagi kasih sayang antara seorang dengan yang lain sehingga kita mampu memperkuat persaudaraan kita,” kata Muzani.
Seusai shalat Idul Fitri, Edy Rahmayadi juga mengajak semua masyarakat Sumatera Utara agar semakin akrab, bersatu, dan sejahtera dalam momen Idul Fitri ini. ”Selamat bersilaturahmi dengan keluarga. Salam saya untuk semua keluarga,” kata Edy.
Bobby juga menyampaikan selamat Idul Fitri kepada semua warga. ”Mari kita saling memaafkan. Kesempatan bersilaturahmi manfaatkan dengan baik. Tetap jaga kesehatan dan keamanan,” katanya.