Aroma Kopi dan Manisnya Madu Leworook
Potensi Leworook menanti dioptimalkan pemanfaatannya. Jika melintasi Jalan Trans-Flores, pelaku perjalanan bisa singgah sebentar menyeruput kopi atau mengecapi madu di sana.
Aroma kopi langsung menyambut saat memasuki teras rumah Yosep Makin (37). Kamis (6/4/2023) siang itu, Yosep sedang menggiling kopi yang baru saja disangrai menggunakan tembikar dengan api berbahan kayu bakar di dapur.
Dari sudut Kampung Leraboleng, Kecamatan Tite Hena, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, aroma kopi yang diolah itu akan terbang ke mana-mana hingga ke meja kaum urban di perkotaan. Wanginya berbeda dengan kopi yang diolah menggunakan peralatan modern.
Kopi dipetik dari kebun ketika sudah matang. Tandanya, buah kopi berwarna merah kehitaman. Selepas itu, kopi dijemur di atas para-para hingga kering lalu digiling untuk diambil bijinya.
”Tidak boleh dijemur di tanah, nanti aromanya tidak bagus, seperti bau tanah,” ujar Yosep.
Tahap berikutnya, kopi disangrai menggunakan tembikar, wajan besar yang terbuat dari tanah liat. Sangrai dilakukan di tungku dengan api bersumber dari kayu bakar. Dengan sendok kayu, Yosep mengaduk-aduk biji kopi hingga matang. Ini berbeda dengan metode yang banyak digunakan kafe di perkotaan yang menggunakan kompor.
Di Desa Relaboleng atau yang lebih dikenal dengan sebutan Leworook, kopi menjadi minuman kaseharian masyarakatnya. Kopi disangrai di tungku dapur kemudian digiling atau ditumbuk. Mereka sudah terbiasa dengan olahan tradisional. Jika diolah dengan cara lain, banyak yang mengeluh setelah meminumnya.
”Pernah ada yang coba dengan cara (disangrai menggunakan kompor) itu, tetapi aromanya hilang. Ada yang minum, kepala mereka langsung sakit, bahkan ada yang sampai sakit perut,” ujarnya.
Leworook adalah perkampungan yang berada di kaki Gunung Leraboleng, gunung api yang kini tidak aktif lagi. Daerah itu kaya akan kopi. Hampir setiap rumah dari 396 kepala keluarga di kampung itu memiliki kebun kopi. Sebagian untuk konsumsi dan selebihnya dijual.
Kebanyakan warga menjual biji kopi ke pedagang yang kemudian didistribusikan hingga ke kafe-kafe di kota. ”Kalau sudah masuk kafe, orang tidak tahu lagi kopi ini berasal dari mana. Bisa jadi diklaim dari daerah lain. Ini sangat mungkin,” tutur Yoseph.
Tak ingin terus terjadi, Yoseph dan beberapa warga berusaha mengangkat derajat kopi dari desa mereka dengan memberi merek. Hal itu tidaklah sulit. Ia mengemas kopi dengan merek di kemasan lalu menjualnya. Kendati belum banyak yang membeli, pertumbuhannya signifikan sejak ia mulai pada 2019. Kini, setiap bulan, ia memproduksi hingga 20 kilogram bubuk kopi.
Para pembelinya mulai dari mereka yang mengonsumsinya secara harian hingga pengusaha kafe dari sejumlah kabupaten di NTT. Ada pula pesanan yang datang dari Pulau Jawa. Saat ini, ia sedang berupaya mendapatkan izin usaha dan produknya pun diberi izin edar.
Baca Juga: Kebebasan Beragama di Vatikan-nya Indonesia
Memahami lebah
Di sudut lain Leworook, Emanuel Seng Lubur (31) berselempang parang dengan sabut kelapa di genggamannya. Ia segera masuk hutan untuk mengambil madu lebah di sana. Beberapa pemuda diajak gotong royong memanen madu yang sudah matang itu.
Mereka punya kearifan dalam memperkirakan tingkat kematangan. Salah satu tandanya, warna madu kuning keemasan. Waktu panen menentukan hasilnya. Sesuai kebiasaan mereka, waktu panen adalah pada akhir Maret, Juni, Juli, Oktober, dan November.
Lebah biasanya membuat sarang di pohon yang tinggi, hingga belasan meter dari tanah. Untuk mengambilnya, mereka memerlukan tangga yang dibuat dari kayu atau bambu tanpa melukai pohon induk. Minimal dibutuhkan tiga orang untuk satu kali panen.
Proses panen dilakukan pada malam hari. Jika siang hari, mereka akan diserang lebah. ”Kala malam pun, tidak boleh pada saat bulan lagi terang. Harus benar-banar gelap agar lebah tidak melihat kami,” kata Emanuel yang dikenal sebagai pawang lebah dari kampung itu.
Persyaratan lain yang wajib diperhatikan sebelum panen adalah meminta izin kepada warga pemilik lahan dan ”izin kepada pohon” tempat sarang lebah bergantung. Jika ritual itu diabaikan, mereka akan mengalami kendala. Hasil madu yang diperoleh pun nyaris tidak ada.
Saat panen dimulai. Tiba di dekat sarang, sabut kelapa dibakar. Kepulan asap membuat lebah berjatuhan ke tanah meninggalkan sarangnya. Sarang yang kosong tinggal dicopot. Emanuel cukup memahami karakter lebah. Sejak tahun 2007 atau mulai usia 15 tahun, ia sudah mengambil sarang lebah. Total lebih dari 400 sarang.
Penjabat Bupati Flores Timur Doris Alexander Rihi mendorong pemerintah desa agar memberi nilai tambah pada produk lokal. Dana desa dapat dimanfaatkan untuk program tersebut dengan memberi ruang kepada badan usaha milik desa sebagai pengelolanya. Jika desa kesulitan, pemerintah kabupaten akan memberi bantuan.
Hasil madu yang diperoleh itu dijual kepada ibu-ibu, yang selanjutnya mereka pasarkan ke kota dengan harga lebih tinggi. Saat ini, madu dalam kemasan 500 miligram untuk pasaran di NTT seharga Rp 100.000. ”Kepada ibu-ibu kami jual lebih murah, biar mereka juga dapat untung,” ucap Emanuel.
Pariwisata
Sekretaris Desa Relaboleng Petrus Kanisius Belawa Kelen mengatakan, masyarakat menyandarkan diri pada kopi dan madu. Dua komoditas itu merupakan primadona yang menjadi ikon Leworook, desa berpenduduk 1.556 jiwa. Jika membicarakan kopi dan madu di Flores Timur, semua mata tertuju ke Leworook. Sayangnya, pihak desa belum mempunyai data akurat mengenai jumlah komoditas dimaksud.
Kedua komoditas itu ikut menyempurnakan perjalanan wisatawan yang singgah ke Leworook untuk melakukan pendakian ke puncak Gunung Leraboleng. Setiap tahun, ada saja pendaki yang naik ke gunung berketinggian 1.117 meter di atas permukaan laut itu.
”Kalau pulang, oleh-oleh untuk mereka adalah kopi dan madu,” kata Petrus.
Penjabat Bupati Flores Timur Doris Alexander Rihi mendorong pemerintah desa agar memberi nilai tambah pada produk lokal. Dana desa dapat dimanfaatkan untuk program tersebut dengan memberi ruang kepada badan usaha milik desa sebagai pengelolanya. Jika desa kesulitan, pemerintah kabupaten akan memberi bantuan.
”Saya sudah pernah datang ke Leworook untuk melihat kopi dan madu di sana. Saya senang melihat pelakunya kebanyakan anak muda. Jika butuh pelatihan untuk pengelolanya atau izin, bisa komunikasikan dengan dinas terkait. Akan diprioritaskan,” ujar Doris.
Potensi di Desa Leraboleng atau Leworook yang begitu kaya kini menanti dioptimalkan pemanfaatannya. Jika melintasi Jalan Trans-Flores, singgahlah sebentar untuk menyeruput kopi atau mengecapi madu di sana.