Terkena Ledakan Mercon, Jari Anak 10 Tahun di Purbalingga Harus Diamputasi
Petasan kembali memakan korban. Di Purbalingga, Jawa Tengah, seorang anak berusia 10 tahun jarinya harus diamputasi akibat ledakan petasan.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·5 menit baca
PURBALINGGA, KOMPAS — Seorang anak laki-laki berusia 10 tahun dan berinisial A terluka pada telapak tangan kirinya akibat bermain petasan di Desa Kedunglegok, Kecamatan Kemangkon, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, Minggu (16/4/2023). Akibat ledakan petasan itu, tiga jarinya harus diamputasi. Relevansi bermain petasan perlu dikaji ulang demi keselamatan generasi bangsa.
”Hasil penyelidikan berdasarkan keterangan yang diperoleh dari pemerintah desa setempat, dipastikan kabar yang beredar (di WA) tersebut adalah benar. Anak tersebut saat ini sedang menjalani perawatan di rumah sakit akibat mengalami luka pada tangan sebelah kiri,” kata Kepala Kepolisian Sektor Kemangkon Polres Purbalingga Inspektur Satu Wahyudi dalam ketarangan pers yang diterima pada Senin (17/4/2023) malam.
Wahyudi menyebutkan, peristiwa anak terkena ledakan petasan terjadi pada Minggu (16/4/2023) sekitar pukul 05.00 WIB. Dari keterangan para saksi dan sejumlah pihak, diketahui bahwa seusai shalat Subuh sekitar pukul 05.00 WIB, korban kembali ke rumahnya mengambil petasan yang sebelumnya telah dibuatnya. Selanjutnya, ia berangkat jalan-jalan bersama sembilan temannya.
Sesampainya di jalan penghubung Desa Kedunglegok-Desa Kemangkon, lanjut Wahyudi, mereka menyalakan petasan. Petasan punya teman korban meletus, sedangkan punya korban saat dinyalakan tidak meletus. ”Korban lalu mengambil petasan itu dengan tangan kiri untuk melakukan pengecekan. Namun, petasan tersebut kemudian meledak,” katanya.
Korban lalu ditolong seorang pengendara sepeda motor yang lewat dan diantar sampai ke rumah korban. Oleh keluarganya, korban kemudian dibawa ke Rumah Sakit Emanuel Klampok untuk mendapatkan penanganan medis. ”Akibat ledakan petasan itu, korban menderita luka-luka pada telapak tangan sebelah kiri. Jari tengah, jari manis, dan kelingking diamputasi,” tuturnya.
Wahyudi menyampaikan, jajarannya kemudian mencari tahu apakah masih ada petasan dan bahannya di rumah korban ataupun teman-temannya. Polisi mendapatkan dua bungkus bubuk mesiu dan tongkat rotan yang diduga digunakan sebagai alat untuk membuat petasan dari rumah korban. Dari penelusuran, mercon itu didapat dari penjual petasan berinisial K, warga desa setempat.
Wahyudi melanjutkan, dari tempat penjual, polisi menyita 225 bungkus petasan cengis, 1 toples yang diduga bekas menyimpan bahan bubuk mesiu, 1 bungkus plastik kosong bekas bubuk petasan, dan 8 selongsong petasan jenis Leo. ”Yang bersangkutan masih dimintai keterangan dan statusnya sebagai saksi,” kata Wahyudi.
Wahyudi mengimbau warganya agar mengawasi putra-putri mereka untuk tidak bermain petasan karena dapat berakibat fatal. Selain itu, segera melaporkan apabila ada penjual petasan ataupun bahan pembuatannya di lingkungan masing-masing.
Berdasarkan catatan Kompas, di wilayah Jateng selatan, ledakan petasan dalam dua tahun terakhir ini merenggut sejumlah korban jiwa. Pada 12 Mei 2021, di Desa Ngabean, Kebumen, sedikitnya empat orang tewas dan empat lainnya terluka (Kompas.id, 14/5/2021). Masih di Kebumen, tepatnya di Desa Bulurejo, Kecamatan Ayah, Senin (10/4/2023), seorang remaja tewas setelah kena ledakan mercon yang diraciknya. Dia meninggal setelah dirawat semalam di rumah sakit (Kompas.id, 11/4/2023).
Kemudian, di Banyumas, tepatnya di Desa Randegan, 14 Juni 2022, seorang pemuda tewas diduga meracik petasan sambil merokok sehingga mengakibatkan ledakan (Kompas.id, 14/6/2022). Selanjutnya di Majenang, Cilacap, 4 Februari 2023, seorang pemuda berusia 23 tahun tewas saat meracik petasan di rumahnya (Kompas.id, 5/2/2023).
Pengajar Psikologi Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Ugung Dwi Ario Wibowo, menyampaikan, petasan atau mercon sudah menjadi budaya pada hari-hari keagamaan tertentu. Apalagi, orangtuanya serta masyarakat sekitar dulu juga dimungkinkan sebagai pemain petasan. ”Ada hari-hari tertentu orang memaklumi dengan membunyikan mercon, petasan, ataupun yang sifatnya api dan ledakan. Kalau untuk anak-anak, lebih ke eksistensi diri,” papar Ugung, Selasa.
Menurut Ugung, dalam konteks eksistensi diri, kalau seorang anak tidak melakukan hal yang sama seperti yang orang lain lakukan, dia tidak terpuaskan. ”Dia juga akan makin eksis jika mendapatkan kekaguman, tepuk tangan, atau kata-kata mantap dari sesama rekannya. Kalau main petasan hampir tidak pernah sendirian, pasti melibatkan penonton,” tuturnya.
Ugung menyebutkan, permasalahan berulang terkait dampak mercon ini ada pada pengasuhan orangtua. ”Orangtua itu cenderung memberikan uang dengan tanpa arahan dan pengawasan. Berpindahnya uang dari orangtua ke anak seakan-akan beralihnya hak kepemilikan. Anak-anak mau membeli apa seakan-akan bebas. Harusnya parenting, dalam penggunaan uang harus ada arahan dipakai untuk apa dan diawasi. Ada yang dapat uang buat main Playstastion, beli rokok, dan petasan,” paparnya.
Dalam psikologi ada jugaattention seeking atau dia mencari perhatian. Ini muncul pada jenis orang yang haus perhatian.
Untuk itu, lanjut Ugung, diperlukan adanya pergeseran budaya atau melihat ulang relevansi petasan pada hari-hari tertentu. ”Selama ini petasan seakan-akan menjadi sesuatu yang harus hadir dalam beberapa peringatan hari tertentu. Seakan-akan itu dapat legitimasi. Masyarakat harus membuat aturan jelas penggunaan petasan yang boleh digunakan. Juga aturan dari pemerintah,” katanya.
Hal ketiga, lanjut Ugung, perlu adanya literasi atau edukasi terkait bahaya petasan yang memiliki daya ledak besar. ”Dalam psikologi ada juga attention seeking atau dia mencari perhatian. Ini muncul pada jenis orang yang haus perhatian. Petasan ini juga salah satu cara bagi dia untuk mendapatkan perhatian melalui suara yang nyaring, misalnya membuatnya dapat atensi dari lingkungannya,” tuturnya.
Lebih dari itu, kata Ugung, anak dan remaja puber belum bisa memiliki pertimbangan yang bijak atau pengambilan keputusan yang tepat dalam beraktivitas. ”Jadi, selalu ada sinergi pendidikan dan pengasuhan, baik di rumah, sekolah, maupun masyarakat terkait apa yang boleh dan dilarang, serta apa yang baik dan buruk dan penegakan aturan yang tegas,” ujarnya.