Perempuan Adonara yang trauma akan perang bangkit mengampanyekan pesan damai lewat teater. Pesan damai di Adonara, pulau yang oleh antropolog Eropa disebut pulaunya para pembunuh.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
Dentuman bom, desiran peluru, dan teriakan histeris warga memecah keheningan pagi. Dengan senjata di tangan, orang-orang berlari mengejar musuh di tengah permukiman. Korban nyawa berjatuhan. Warga dari dua kampung di Pulau Adonara sedang terlibat perang terbuka, buntut dari sengketa lahan selama bertahun-tahun.
Rumah Veronika Bulu Boli (55) berada di kampung Bele, Kecamatan Adonara Timur, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, masuk dalam zona perang yang pecah pada Oktober 2012. ”Rumah kami sempat terkena tembakan. Orang-orang berlari di samping rumah sambil pegang senjata,” tutur Vero, sapaan akrab Veronika saat dijumpai di rumahnya, Rabu (5/4/2023).
Rumah milik Vero tidak sampai dirusak oleh pihak yang bertikai karena dianggap netral. Keluarga Vero bukan berasal dari kedua kelompok yang sedang perang itu. Tembakan yang mengenai rumah barang kali peluru nyasar. Namun, perang terbuka itu meninggalkan trauma yang membekas hingga saat ini.
Konflik terbuka antara kedua kampung berlangsung selama beberapa bulan. Gedung SMA Negeri 1 Adonara Timur yang berdiri di atas lahan sengketa itu rusak. Aktivitas pembelajaran dipindahkan ke sekolah lain hingga saat ini. Konflik belum sepenuhnya pulih.
Kegiatan ekonomi masyarakat terganggu. Masyarakat yang hendak mengambil hasil kebun pun mengurungkan niat mereka karena sangat berisiko. Selain permukiman, hutan juga menjadi arena pertarungan. ”Dan yang paling menderita dalam konflik adalah perempuan. Perempuan yang urus rumah tangga. Melihat kondisi itu, kami berpikir untuk menyerukan perdamaian,” ujar Vero.
Vero lalu mengajak para perempuan di sekitar tempat tinggalnya untuk mengampanyekan perdamaian melalui panggung seni pertunjukan. Mereka berlatih teater dengan mengangkat tema perdamaian. Menurut rencana, teater itu akan dipentaskan jika datang momentum yang tepat.
Vero dan perempuan lain yang tergabung dalam kelompok itu tidak punya latar belakang seni pertunjukan. Vero yang punya modal kepercayaan diri dan kemauan belajar teater memberanikan diri sebagai pelatih. ”Kami belajar sambil berlatih. Aktor kami semuanya ibu rumah tangga. Ada yang bahkan tidak bisa membaca. Kami saling memotivasi,” ujarnya.
Sambil menunggu momentum besar datang, mereka memulai dengan pentas kecil-kecilan di lingkungan hingga di dalam wilayah kecamatan. Agar lebih dikenal, kelompok teater itu pun diberi nama Sanggar Sina Riang. Markasnya di rumah Vero.
Akhirnya momentum yang ditunggu pun datang. Tahun 2016, mereka mencuri kesempatan dalam perayaan HUT Bank NTT yang berlangsung di Waiwerang, ibu kota Kecamatan Adonara Timur. Kebetulan acara tersebut dihadiri gubernur NTT kala itu, Fans Lebu Raya.
”Kami akhirnya tampil, tetapi kami minta syarat agar gubernur harus menonton sampai selesai. Gubernur setuju dan beliau berdiri sambil tepuk tangan ketika kami selesai pentas. Kata dia, pesan damai yang kami sampaikan mengena di hatinya,” tutur Vero.
Pulau pembunuh
Dalam konteks budaya setempat, perempuan memegang peran penting dalam mewujudkan perdamaian. Tangis perempuan bagaikan air yang dapat mendinginkan hati saudara atau ayahnya yang sedang terbakar amarah. Perempuan sering kali dapat mencegah dan mengakhiri perang di Adonara.
Hingga saat ini, Adonara merupakan pulau yang oleh banyak orang dilekatkan dengan kekerasan. Catatan antropolog Eropa, Ernst Vatter, dalam bukunya yang berjudul Ata Kiwan, menyebutkan bahwa Adonara adalah pulaunya para pembunuh. Ernst menemukan hal itu saat melakukan penelitian di sana pada tahun 1930-an.
Kala itu, di Larantuka yang kini menjadi ibu kota Kabupaten Flores Timur, Ernst menemukan banyak narapidana kasus pembunuhan yang datang menjalani persidangan di pengadilan setempat. Para terdakwa membunuh dalam kasus sengketa lahan. Bagi masyarakat Adonara, sejengkal tanah akan dipertahankan hingga titik darah penghabisan (Kompas, 8 Mei 2021).
Sutradara seni pertunjukan kenamaan di Kabupaten Flores Timur Silvester Petara Hurit menilai, Vero bersama perempuan-perempuan yang tergabung dalam Sanggar Sina Riang sedang memainkan peran mereka sebagai ibu dalam realitas. ”Ibu yang sedih ketika melihat anak-anaknya bertikai. Ibu yang selalu menghadirkan damai,” katanya.
Dan yang paling menderita dalam konflik adalah perempuan. Perempuan yang urus rumah tangga.
Peran sebagai ibu juga ditunjukkan dalam berberapa tema pertunjukan lainnya yang mengangkat cerita tentang perdagangan manusia dalam rekrutmen tenaga kerja wanita ke luar negeri. Banyak perempuan asal daerah itu yang menjadi korban kekerasan hingga mengalami kematian di tanah rantau negeri jiran Malaysia.
Isu berikutnya yang sering diangkat dalam teater adalah persoalan ekologis, yakni kerusakan pada bumi yang merupakan ibu bagi manusia. Tahun 2021, Adonara dan hampir seluruh wilayah di NTT dikagetkan dengan banjir dan longsor yang dipicu siklon tropis Seroja. Korban terbanyak kala itu dari Adonara.
Silvester mengenal dengan baik Vero yang sering menjadi aktor dalam teater garapannya. Ia menilai, Vero adalah sosok pembelajaran. ”Walaupun usia dia lebih senior dari saya, dia sangat menghargai saya. Dia juga orang yang rela berkorban,” ujar pendiri Nara Teater itu.
Tokoh masyarakat Adonara Kamilus Tupen Jumat berharap, semangat menggelorakan pesan damai lewat teater dan kegiatan kebudayaan lainnya agar terus ditularkan kepada generasi muda. Kamilus melihat, potensi itu ada pada anak muda di Adonara. Pemerintah dan para pegiat kebudayaan agar membuka ruang semacam itu.
Vero kini aktif membentuk bakat seni bagi generasi muda di daerahnya dengan mengadakan festival seni yang berlangsung dua tahun belakang. Mereka mengadakan lomba baca puisi, teater, paduan suara, hingga mengolah pangan lokal. Festival berlangsung di halaman rumahnya.
Obsesi besar Vero dan para perempuan pekerjaan seni pertunjukan di daerah itu adalah mendorong perempuan agar peka dan memberi kritik sosial lewat seni. Kritik atas realitas sekitar. Kendati disadari bahwa hal itu tidak mudah seperti yang sudah mereka lakukan, yakni menyeruhkan perdamaian di pulaunya para pembunuh.