Dua Perempuan Korban Persekusi di Pesisir Selatan Alami Kekerasan Seksual Berlapis
Dua perempuan korban persekusi warga di Kecamatan Lengayang, Pesisir Selatan, Sumatera Barat, mengalami kekerasan seksual berlapis. Aparat penegak hukum diminta bertindak tegas terhadap para pelaku.
Oleh
YOLA SASTRA
·5 menit baca
PADANG, KOMPAS — Dua perempuan korban persekusi warga di Kecamatan Lengayang, Pesisir Selatan, Sumatera Barat, mengalami kekerasan seksual berlapis. Aparat penegak hukum diminta bertindak tegas terhadap para pelaku.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang Indira Suryani menyampaikan hal itu dalam konferensi pers di kantornya, Padang, Jumat (14/4/2023). Kesimpulan itu berdasarkan pengakuan korban dan verifikasi video yang beredar di media sosial. LBH Padang menjadi kuasa hukum bagi salah satu korban, WDP (23).
”Kedua teman perempuan kami ini menjadi korban kekerasan seksual yang berlapis. Pelecehan seksual fisik, pencabulan, kekerasan berbasis jender daring, mendapatkan penyiksaan seksual berupa persekusi, dan perendahan martabat secara seksual,” kata Indira.
Kasus persekusi ini terungkap setelah video perbuatan viral di media sosial Instagram dan Twitter beberapa hari terakhir. Dalam video, tampak sekelompok warga mengarak dan menceburkan dua perempuan ke pantai pada malam hari. Tidak hanya itu, kedua perempuan itu juga dipaksa membuka pakaian.
Polisi mengonfirmasi kebenaran kejadian di video tersebut. Korban persekusi adalah WDP (23) dan L (20). Kejadiannya di Kafe Natasya kawasan Pasir Putih Kambang, Nagari Kambang Barat, Kecamatan Lengayang, Sabtu (8/4/2023) pukul 23.00.
Kejadian itu bermula dari kedatangan sejumlah warga ke Kafe Natasya. Warga resah terkait aktivitas tersebut. Diduga pengelolanya membuka tempat hiburan malam saat bulan Ramadhan dengan menyediakan jasa lady companion (LC) atau pemandu karaoke/lagu. Kedua perempuan itu dituduh sebagai pemandu karaoke.
Indira membantah WDP dan L merupakan pemandu karaoke di kafe tersebut. Keduanya hanya pengunjung. Kedua perempuan yang bekerja sebagai musisi organ tunggal ini hanya makan dan minum di sana, kemudian duduk di belakang kafe untuk saling bercerita. Tidak ada perbuatan maksiat.
Dilanjutkan Indira, saat korban sedang berbincang-bincang, tiba-tiba mereka didatangi lebih kurang 300 orang dari empat dusun setempat. Kemudian, terjadi kehebohan.
Belasan warga lalu mengarak dan menceburkan kedua korban ke laut. Di tempat itu, warga melucuti busana korban.
Dalam kejadian itu, kata Indira, korban yang bingung sempat mempertanyakan apa yang tengah terjadi dan apa kesalahan mereka. Walakin, para pelaku persekusi menghina dan mencaci korban. Bahkan, massa meneriakkan ”bakar, bakar” yang membuat korban sangat ketakutan.
”Korban WDP bercerita, saking takutnya mendengar kata ’bakar, bakar’ itu dan agar tidak dilecehkan, dia terpaksa membuka sendiri pakaiannya. Korban L karena bersikukuh dan bersikeras (tidak membuka pakaian), dia mendapatkan banyak tindak pencabulan,” kata Indira.
Menurut Indira, kejadian itu memang berlangsung relatif singkat, 10-15 menit. Walakin, kejadian itu sangat membekas di ingatan korban dan memicu trauma.
Sebab, mereka mengalami sejumlah kekerasan seksual, yaitu pelecehan seksual secara fisik, pencabulan, kekerasan berbasis jender daring, dan penyiksaan seksual.
Khusus penyiksaan seksual ini, kata Indira, diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Perbuatan mempersekusi seseorang dan mempermalukan atau merendahkan martabat atas alasan diskriminasi atau seksual dalam segala bentuk masuk kategori penyiksaan seksual.
”Apa yang terjadi kepada dua perempuan kawan kami ini adalah bentuk tindakan penyiksaan seksual yang saat ini sudah diatur dalam UU TPKS,” kata Indira. Ia meminta polisi menerapkan pasal-pasal di UU TPKS dalam menangani kasus ini.
Indira pun mendesak kepolisian segera menangkap para pelaku persekusi. Sebab, itu merupakan perbuatan yang tidak dibenarkan secara hukum, agama, adat, dan moralitas.
Apalagi, berdasarkan surat perdamaian kedua belah pihak di Polsek Lengayang, tidak terbukti kedua korban berbuat asusila seperti yang dituduhkan warga.
”Jika perbuatan ini dibiarkan, ke depan ada potensi mengarah pada femisida, yakni kejahatan kebencian kepada perempuan hingga berujung pada hilangnya nyawa,” ujarnya.
Selain itu, LBH Padang juga meminta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban proaktif memberikan perlindungan bagi korban, saksi, dan keluarganya. Semua demi pemulihan psikis terhadap kedua korban.
Sebelumnya, Kepala Polres Pesisir Selatan Ajun Komisaris Besar Novianto Taryono mengatakan, kasus ini sudah masuk tahap penyidikan. Hingga Rabu (12/4/2023), penyidik sudah memeriksa tujuh saksi. Para pelaku juga tengah diburu.
Novianto pun memohon agar semua komponen masyarakat, terutama warga sekitar lokasi, membantu memberikan informasi agar kasus segera terungkap dan terselesaikan.
”Saya mohon bantuan. Serahkan orang-orang itu atau kami tidak akan berhenti untuk mencarinya,” ujarnya.
Menurut Novianto, penyidik melihat tiga aspek dalam kasus ini. Pertama, terkait persekusi, penyidik akan mengenakan UU No 12/2022 tentang TPKS.
Kedua, terkait pembuatan dan penyebaran konten dikenai UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Ketiga, terkait perusakan kafe, dikenai Pasal 170 KUHP tentang Pengeroyokan.
Novianto selanjutnya meminta warga agar tidak main hakim sendiri jika melihat sesuatu yang diduga melanggar aturan ataupun maksiat.
Terduga pelanggar aturan tidak boleh diperlakukan sewenang-wenang karena juga punya hak sebagai warga negara. Jika melihat perbuatan diduga melanggar, warga bisa melaporkan kepada polisi ataupun pihak-pihak berwenang untuk menindaknya.
”Jangan main hakim sendiri yang akhirnya malah kebablasan. Semua tindakan tidak bisa sewenang-wenang, ada konsekuensi hukumnya. Kami akan menindak tegas orang yang melanggar konsekuensi hukum tersebut,” ujarnya.
Secara terpisah, Bupati Pesisir Selatan Rusma Yul Anwar mengatakan, perbuatan yang para pelaku di luar kewajaran dan tidak manusiawi. Ia pun sudah menghubungi Kepala Polres Pesisir Selatan agar kasus ini diusut tuntas.
”Kalaupun mereka salah, caranya (penindakannya) tidak seperti itu. Perbuatan ini tidak manusiawi lagi,” kata Rusma. Ia pun sudah memerintahkan agar Dinas Sosial Pesisir Selatan mendatangi rumah para korban.