Kebebasan Beragama di ”Vatikan-nya” Indonesia
Keberagaman dan kebebasan beribadah bagi semua agama kian menyempurnakan keindahan kota Larantuka yang kerap disebut sebagai Vatikan-nya Indonesia itu.
Ribuan umat Katolik di dalam dan luar gedung gereja menunduk sambil memejamkan mata. Dalam keheningan, terdengar kumandang azan Isya. Suara merdu memuji kebesaran Allah dari pelantang suara masjid itu menembus hingga ke seluruh sudut ruang gereja.
Tak ada satu pun jemaat yang angkat kepala, menoleh, atau saling pandang merespons suara azan yang begitu jelas terdengar. Mata mereka tetap terpejam, khusyuk mengikuti perayaan Kamis Putih pada Kamis (6/4/2023) malam.
Perayaan ekaristi dimaksud berlangsung di Gereja Katedral Larantuka, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, sedangkan suara azan Isya berkumandang dari Masjid Ash-Shamad Postoh yang hanya berjarak beberapa langkah kaki dari halaman gereja. Gereja dan masjid yang berdekatan di Kota Larantuka itu tengah menampakkan potret kebebasan beragama.
Perayaan ekaristi di gereja dan kumandang azan di masjid menyajikan wujud harmoni manusia yang tengah bersama memuji keagungan Tuhan di kota yang beragam itu. Dari total penduduk 41.690 jiwa pada tahun 2022, lebih dari 85 persen adalah pengikut ajaran Katolik. Selebihnya Islam, Protestan, Hindu, Buddha, dan lainnya.
Selama satu pekan, mulai 2 April hingga 9 April 2023, Larantuka dikunjungi lebih kurang 7.000 peziarah. Mereka berasal dari luar Kabupaten Flores Timur, dari luar Provinsi NTT, dan dari luar negeri. Mereka mengikuti perayaan Semana Santa di kota tersebut.
Semana Santa merupakan ritus budaya yang digelar sejumlah suku di bawah Kerajaan Larantuka, satu-satunya kerajaan bercorak Katolik di Nusantara. Semana Santa memperingati tentang perjalanan Yesus yang diimani sebagai penebus dosa seluruh umat manusia. Seluruh manusia, tidak terbatas hanya kepada mereka yang percaya kepada ajaran Yesus.
Tradisi Semana Santa mengambil penggalan kehidupan Yesus, mulai dari Yesus dihukum mati oleh orang Yahudi, disiksa, wafat di kayu salib, dimakamkan, kemudian bangkit pada hari ketiga. Para peziarah diajak menghayati kisah itu melalui beberapa ritus.
Ritus itu di antaranya adalah penghormatan terhadap patung Yesus tersalib dan patung Maria, ibu Yesus, di masing-masing kapel. Penghormatan terhadap lambang itu mereka yakini akan membuat mereka kian merasakan makna penderitaan Yesus.
Ritus lainnya adalah perarakan patung Yesus Tersalib melalui laut, kemudian diikuti dengan perarakan patung Yesus Tersalib dan patung Bunda Maria mengelilingi pusat Kota Larantuka pada malam puncak perayaan Jumat Agung.
Kekaguman tamu
Banyak peziarah terkesan dengan kebebasan beragama di Larantuka dan Flores Timur pada umumnya. Joni (29), peziarah dari Jakarta, datang bersama temannya. Bagi mereka, perjalanan kali ini sekaligus berwisata melintasi Pulau Flores.
Kendati bukan umat Katolik, wirausaha muda itu mengaku tertarik menyaksikan tradisi Semana Santa. Tradisi dari zaman Portugis yang masih ada sampai saat ini. Ia melihat peristiwa budaya itu dalam konteks sejarah dan ilmu pengetahuan.
Joni yang baru pertama kali ke Larantuka mengaku kagum akan keberagaman dan kebebasan beragama di sana. Ia melihat bangunan masjid dan gereja yang berdekatan di pusat kota. Ia juga menyaksikan harmoni kala suara azan yang menembus hingga ke dalam gereja ketika peribadatan tengah berlangsung.
”Dulu, saya pikir kota ini mayoritas Katolik sehingga masyarakat di sini fanatik dengan ajaran tertentu. Saya juga sempat berpikir bahwa ada larangan-larangan tertentu dari kelompok mayoritas. Nyatanya itu tidak sama sekali. Indonesia perlu belajar tentang keberagaman di sini,” ucapnya.
Tak hanya melihat, ia juga berdialog dengan banyak orang, terutama yang bukan Katolik, untuk menanyakan kebebasan beragama di sana. Ia mendengar bahwa tidak pernah ada larangan terhadap umat beragama lain untuk beribadah. Ia juga tidak mendengar cerita tentang penutupan rumah ibadah agama tertentu.
Saya juga sempat berpikir bahwa ada larangan-larangan tertentu dari kelompok mayoritas. Nyatanya itu tidak sama sekali. Indonesia perlu belajar tentang keberagaman di sini.
Mengutip data Badan Pusat Statistik, di Larantuka terdapat 7 gereja Katolik, 4 masjid, 3 gereja Protestan, dan 1 pura. Secara keseluruhan, di Kabupaten Flores Timur, yang 84 persen dari total penduduk 283.626 jiwa memeluk Katolik, juga menunjukkan potret demikian. Di kabupaten itu terdapat 89 masjid, 33 mushala, 83 gereja Katolik, 12 gereja Protestan, dan 1 pura.
Mengutip buku berjudul Panduan Prosesi Jumat Agung Larantuka dikatakan bahwa sekitar tahun 1550, misionaris Katolik dari ordo Dominikan memulai karya penyebaran agama di daerah itu. Pada 1562, dipermandikan sekitar 200 orang di Larantuka. Sebelum Katolik disebarkan di Nusantara, sudah ada pengaruh Hindu, Buddha, dan Islam.
Baca Juga: Suatu Sore di Kota Reinha
Kekuatan budaya
Pastor Paroki Katedral Larantuka, RD Hendrik Leni, mengatakan, Larantuka yang mayoritas masyarakatnya memeluk Katolik, berbagai ritus budaya bernuansa Katolik, seperti Semana Santa; juga keberadaan Kerajaan Larantuka sebagai satu-satunya kerajaan bernuansa Katolik di Nusantara lantas membuat orang dari luar melekatkan Larantuka sebagai kota Katolik.
Bahkan, ada yang menyebut Larantuka sebagai Vatikan-nya Indonesia ketika tradisi Semana Santa didorong sebagai ikon Katolik Indonesia. Jika Vatikan adalah simbol Katolik dunia, Larantuka adalah simbol Katolik di Indonesia. ”Silakan saja kalau ada yang berpendapat demikian,” ujarnya.
Namun, ia menegaskan bahwa status mayoritas tidak pernah membuat umat Katolik berlaku semena-semena terhadap umat agama lain. ”Katolik mengajarkan tentang hukum kasih. Kasih terhadap orang lain sebagaimana kasih terhadap diri sendiri. Kasih itu tidak memandang latar belakang. Kasih itu tanpa syarat,” ujarnya.
Selain itu, umat Katolik dan umat agama lainnya berada dalam satu rahim budaya yang sama, yakni suku Lamaholot. Masyarakat Lamaholot sudah terbentuk jauh sebelum datangnya ajaran agama dari luar. Masyarakat Lamaholot memiliki rasa kekeluargaan yang tinggi.
Kekuatan budaya itu juga diakui oleh Ahmad Betan, mantan Ketua Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Flores Timur selama dua periode. Ahmad mencontohkan dirinya yang memiliki marga Betan. ”Ada Betan Katolik dan ada Betan Islam. Kami satu punya leluhur yang sama,” ujarnya.
Ahmad pun merasa bahwa kebebasan beragama di daerah itu dapat berjalan dengan baik lantaran tingginya rasa saling menghormati sebagai sesama orang Lamaholot. Kegiatan budaya Semana Santa pun mendapat dukungan dari agama lain.
Ketika perayaan 5 abad Semana Santa pada 2010, umat dari agama lain datang membawa hantaran untuk mendukung tradisi itu. Mereka diterima, lalu menari bersama sebagaimana budaya syukuran orang Lamaholot.
Berada di Larantuka, sebuah kota kecil di pesisir timur Pulau Flores, terasa begitu kental tradisi Katolik. Keberagaman dan kebebasan beribadah bagi semua agama kian menyempurnakan keindahan kota yang kerap disebut Vatikan-nya Indonesia itu.
Baca Juga: Menebus Rindu pada Semana Santa