Tengkes Masih Menghantui Kalteng, dari Pelosok hingga Perkotaan
Tengkes masih jadi masalah di Kalimantan Tengah. Masalah gizi kronis itu tak hanya terjadi di wilayah pelosok Kalteng, tetapi juga Kota Palangkaraya.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Tengkes masih menjadi masalah di Kalimantan Tengah. Masalah gizi kronis itu tak hanya terjadi di wilayah pelosok Kalteng, tetapi juga Kota Palangkaraya. Hingga saat ini, ibu kota Provinsi Kalteng tersebut belum berhasil menurunkan angka tengkes.
Berdasarkan data Surve Status Gizi Indonesia, Kota Palangkaraya dinilai gagal menurunkan angka tengkes. Survei yang dilakukan Kementerian Kesehatan itu mencatat, pada 2021, angka tengkes di Palangkaraya mencapai 25,2 persen.
Angka itu kemudian meningkat menjadi 27,8 persen pada 2022 . Angka itu berada di atas ambang toleransi tengkes dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang hanya 20 persen. Palangkaraya pun masuk dalam lima kota di Indonesia yang belum bisa menurunkan angka tengkes.
Sementara itu, mengacu data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Provinsi Kalteng, wilayah dengan angka tengkes tertinggi di Kalteng adalah Kabupaten Murung Raya, Kabupaten Barito Selatan, dan Kabupaten Seruyan.
Pemerintah Provinsi Kalteng telah membentuk Tim Percepatan Penurunan Tengkes. Pada Selasa (11/4/2023), tim yang terdiri dari berbagai lembaga itu menggelar rapat koordinasi percepatan penurunan tengkes.
Ketua Tim Percepatan Penurunan Tengkes Kalimantan Tengah Suhaemi mengatakan, perwakilan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Kalteng ditunjuk sebagai leading sector dalam program percepatan penurunan tengkes. Ia berharap, semua dinas dan instansi terkait bisa membantu kerja-kerja BPKP dengan menyiapkan data yang dibutuhkan.
”Kami harapkan evaluasi dari BPKP bisa berjalan dengan baik karena Kalteng masih dihantui dengan tengkes. Meskipun berdasarkan data yang dihimpun ada penurunan, tetapi kita mempunyai target yang harus diselesaikan sesuai dengan pedoman RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah),” kata Suhaemi yang juga Staf Ahli Gubernur Kalteng Bidang Kemasyarakatan dan Sumber Daya Manusia.
Kepala Dinas Kesehatan Kota Palangkaraya Andjar Hari Purnomo menjelaskan, tantangan utama dalam menurunkan angka tengkes adalah meningkatkan kesadaran tentang pola hidup sehat dan pola konsumsi yang sehat. Selain itu, edukasi mengenai pola asuh anak yang baik juga masih jadi pekerjaan besar.
”Kalau sebaran tengkes itu merata di Kota Palangkaraya, terutama di permukiman padat penduduk. Meskipun demikian, kami juga sudah berupaya dan ini butuh kerja sama banyak pihak,” ungkap Andjar.
Andjar menjelaskan, untuk menangani persoalan tengkes, Dinkes Kota Palangkaraya melakukan intervensi gizi spesifik. Intervensi itu antara lain dilakukan pada ibu hamil dengan memberikan makanan tambahan untuk mengatasi kekurangan energi dan protein kronis.
Pada ibu menyusui dengan usia bayi 0-6 bulan, intervensi dilakukan dengan mendorong inisiasi menyusui dini. Upaya lain yang dilakukan adalah intervensi gizi pada anak usia 6-23 bulan dengan imunisasi dan berbagai upaya pemenuhan gizi lainnya.
”Itu domain dinas kesehatan, kalau dari instansi lain juga upaya terus dilakukan. Perlu upaya seluruh stakeholder (pemangku kepentingan) untuk mengatasinya,” ungkap Andjar.
Tantangan utama dalam menurunkan angka tengkes adalah meningkatkan kesadaran tentang pola hidup sehat dan pola konsumsi yang sehat.
Faktor utama
Kepala BKKBN Provinsi Kalteng Jeanny Y Winokan mengatakan, ada sejumlah persoalan yang memicu kenaikan angka tengkes. Salah satunya adalah masih maraknya pernikahan anak.
Menurut Jeanny, Kalimantan Tengah merupakan daerah dengan pernikahan anak tertinggi nomor dua di Indonesia. Selain itu, sampai saat ini, masih banyak warga yang masih hidup dengan jamban darurat.
”Mekanismenya sudah ada, ya, dalam kebijakan untuk menurunkan angka tengkes. Saat ini yang dibutuhkan adalah implementasi oleh semua pihak,” ungkapnya.
Berdasarkan data Sekretariat Daerah Kalimantan Tengah, keluarga yang berisiko tengkes di provinsi itu sebanyak 117.091 keluarga. Dari jumlah itu, sebanyak 59.669 keluarga mempunyai ibu hamil, bayi di bawah dua tahun (baduta), serta bayi di bawah lima tahun (balita).
Selain itu, terdapat 22.639 keluarga yang mempunyai jamban tidak layak dan 23.028 keluarga yang memiliki akses air minum utama tidak layak. Namun, jumlah keluarga berisiko tengkes yang didampingi pemerintah melalui Tim Pendamping Keluarga di Kalteng baru sebanyak 78.943 keluarga atau 67,4 persen.
Sebelumnya, Sekretaris Daerah Kalteng Nuryakin memaparkan, upaya mengatasi tengkes tidak hanya bisa mengandalkan pada pemerintah. Kesadaran masyarakat juga menjadi kunci untuk menanggulangi persoalan gizi kronis tersebut.
”Pemerintah tetap berupaya maksimal, mulai dari edukasi hingga intervensi gizi ke masyarakat khususnya keluarga berpotensi,” ungkap Nuryakin.