Pengasuh Ponpes di Batang Cabuli Belasan Santriwati, Korban Mayoritas Anak-anak
Kasus kekerasan seksual terhadap anak kembali terjadi di Batang, Jateng. Kali ini, pelaku adalah pengasuh pondok pesantren dan jumlah korban belasan santriwati. Buntut kasus itu, semua ponpes di Batang akan dievaluasi.
Oleh
KRISTI DWI UTAMI
·5 menit baca
BATANG, KOMPAS — Belasan santriwati sebuah pondok pesantren di Kecamatan Bandar, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh pengasuh ponpes tempat mereka belajar. Para korban yang mayoritas merupakan anak di bawah umur itu dimanipulasi dan diminta untuk tidak melaporkan perbuatan pelaku kepada siapa pun.
Pelaku kekerasan seksual dalam kasus itu adalah Wildan Mashuri (58). Dia merupakan pengasuh ponpes sekaligus pengajar di SMP dan SMK yang berdiri di bawah naungan ponpes yang dikelolanya tersebut.
”Perbuatan ini telah dilakukan sejak 2019. Modus operandinya, santriwati dibangunkan pada dini hari lalu diajak ke kantin atau tempat-tempat kejadian perkara lain di lingkungan pondok pesantren maupun kediaman pelaku untuk diajak bersetubuh. Korban-korban ini dijanjikan akan mendapatkan karamah,” kata Kepala Kepolisian Daerah Jateng Inspektur Jenderal Ahmad Luthfi, dalam konferensi pers di Batang, Selasa (11/4/2023).
Perbuatan bejat Wildan terungkap setelah kabar terkait pencabulan yang dilakukannya menyebar di kalangan santri. HL, mantan pekerja di ponpes itu, lalu berinisiatif mencari tahu lebih lanjut kebenaran kabar tersebut.
HL lalu menanyai seorang santri berinisial AR. Kepada HL, pelajar kelas X itu mengaku telah dicabuli dan diperkosa oleh Wildan. Menurut AR, dirinya bukan korban satu-satunya. Ia lalu menyebut sejumlah santriwati lain yang turut menjadi korban.
Setelah mendengar cerita dari AR, HL menemui para orangtua korban untuk merembuk kasus tersebut. Para orangtua lalu sepakat untuk melaporkan tindak pidana yang dilakukan Wildan ke Kepolisian Resor Batang.
Polres Batang telah memeriksa sejumlah orang dan mengumpulkan bukti-bukti. Hingga Selasa ini, visum et repertum sudah dilakukan kepada 14 dari 15 santriwati yang melapor sebagai korban. Mayoritas hasil visum menunjukkan adanya tanda pemerkosaan pada para korban. Dari 15 orang yang melapor, sebanyak 14 orang berusia di bawah 17 tahun.
Luthfi menyatakan, sebelum melakukan aksi bejatnya, Wildan memaksa untuk menyalami korban-korbannya, kemudian mengucapkan kalimat-kalimat dalam bahasa Arab yang disebutnya sebagai ijab kabul. Setelah itu, para korban diyakinkan bahwa mereka sudah sah menjadi istri Wildan. Oleh karena itu, persetubuhan yang dilakukan merupakan hal yang benar dan tidak menyalahi aturan.
Wildan juga melarang para korban melaporkan perbuatan itu kepada siapa pun. Sebagai upaya agar korban tak melapor, Wildan memberikan sejumlah uang atau makanan serta menjanjikan akan membiayai sekolah para korban.
Berdasarkan hasil penyidikan, Wildan ditetapkan sebagai tersangka. Dia dijerat dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Wildan terancam hukuman penjara maksimal 15 tahun ditambah sepertiga masa hukuman sehingga menjadi 20 tahun. Hal itu karena perbuatan tersebut dilakukan berulang kali dan dilakukan oleh seorang pengajar yang seharusnya melindungi anak didiknya.
Luthfi mengatakan, pihaknya terus mengembangkan penyidik kasus tersebut. Sebab, penyidik meyakini, jumlah korban lebih dari 15 orang. Sebagian korban belum melapor karena berbagai faktor, misalnya sedang pulang kampung dan tidak berani bicara karena takut keselamatannya terancam.
”Saya imbau supaya masyarakat berani menyampaikan (jika menjadi korban tindak pidana). Kami akan membentu tim yang akan melindungi korban dan membantu proses trauma healing (penyembuhan trauma). Kasihan (korban), karena ini terkait dengan anak dan masa depan anak,” imbuh Luthfi.
Menurut Luthfi, para korban sedang dalam pemulihan kondisi fisik dan mental. Proses pemulihan mental terhadap para korban dibantu oleh psikolog dari Polda Jateng, bekerja sama dengan pemerintah setempat.
Dalam konferensi pers di Markas Polres Batang, Selasa, Wildan turut dihadirkan. Pada kesempatan tersebut, Wildan sempat keceplosan mengatakan bahwa korban kekerasan seksual yang dilakukannya tidak hanya yang masih menjadi santriwati atau bersekolah di ponpesnya, melainkan juga santriwati yang sudah lulus.
”Alumni ada juga (yang menjadi korban). Jumlahnya satu sampai dua orang. Saya lupa sudah berapa kali (melakukan tindak kekerasan seksual), tapi sejak 2019,” ujar Wildan.
Wildan mengaku menyesali perbuatannya. Ia berharap, tidak ada orang lain yang meniru perbuatannya. Menurut Wildan, apa yang dilakukannya merupakan perbuatan hina.
Sebelum melakukan aksi bejatnya, Wildan memaksa untuk menyalami korban-korbannya, kemudian mengucapkan kalimat-kalimat dalam bahasa Arab yang disebutnya sebagai ijab kabul.
Evaluasi
Tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak seperti yang dilakukan Wildan bukan kasus pertama di Batang. Sebelumnya, pada Agustus 2022, seorang guru mencabuli puluhan siswanya di sebuah SMP di Batang.
Kasus kekerasan seksual kepada anak kembali berulang pada awal 2023, saat seorang pelatih rebana di Batang mencabuli sebanyak 21 muridnya. Seluruh korban merupakan anak laki-lakI yang berusia 5-13 tahun.
Gubernur Jateng Ganjar Pranowo mengatakan, harus ada evaluasi terkait kasus kekerasan seksual di ponpes itu. ”Kami akan menurunkan tim ke lokasi dalam satu sampai dua hari ke depan. Karena ini ponpes, maka kami juga akan mengajak Kementerian Agama untuk sama-sama mengecek. Jika memang dari hasil evaluasi dinyatakan tempat itu tidak layak untuk kegiatan belajar mengajar, nanti kami tutup,” ucapnya.
Ganjar mengatakan, evaluasi tidak hanya akan dilakukan di ponpes milik Wildan, tetapi juga semua ponpes di Batang. Hal itu untuk memastikan semua ponpes aman dan bebas dari potensi kekerasan terhadap anak.
Ganjar juga mengimbau para orangtua untuk selalu menjalin komunikasi yang intensif dengan anak-anaknya. Dengan begitu, anak-anak mereka bisa dengan nyaman mengadu apabila mendapatkan perlakuan yang tidak baik atau menghadapi persoalan.
”Rasa-rasanya saya juga harus menempel semua nomor telepon (untuk pengaduan) di sekolah-sekolah sehingga siapa pun berani melaporkan perlakuan tidak baik yang muncul di sana, baik perlakuan dari guru, teman, maupun orang luar. Kami mesti mengedukasi agar wali murid, murid, komite sekolah, dan masyarakat juga bisa ikut mengevaluasi sekolah,” imbuhnya.