Pembelian Komoditas Pangan secara Berlebihan Picu Inflasi
Pembelian bahan pangan secara berlebihan dikhawatirkan akan memicu inflasi komoditas bahan pokok. Jika hal itu terjadi, pada Lebaran mendatang permintaan diprediksi akan meningkat 5-10 persen.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Pembelian bahan pangan secara berlebihan dikhawatirkan akan memicu inflasi komoditas bahan pokok. Jika hal itu terjadi, pada Lebaran mendatang permintaan diprediksi akan meningkat 5-10 persen dibandingkan dengan kebutuhan normal. Internvensi diperlukan untuk menjaga harga bahan pangan tetap stabil.
Hal ini mengemuka dalam Rapat Koordinasi Tim Pengendalian Inflasi Daerah Sumatera Selatan di Palembang, Selasa (11/4/2023). Sekretaris Utama Badan Pangan Nasional Sarwo Edhy menuturkan, jelang Lebaran, pihaknya terus menjaga ketersediaan bahan pangan termasuk pendistribusiannya di setiap daerah agar tidak terjadi gejolak yang berlebihan di lapangan.
”Kami terus berupaya agar stabilitas harga bahan pangan di lapangan tetap stabil sehingga terjangkau oleh masyarakat,” ujarnya. Dilihat dari kecenderungannya, menjelang Lebaran permintaan bahan pangan diprediksi akan mengalami lonjakan 5 persen-10 persen.
Karena itu, pengawasan langsung di lapangan untuk melihat pergerakan harga menjadi sangat krusial.
Tren ini biasanya terjadi menjelang ibadah puasa dan Idul Fitri. Melihat ini, sudah seharusnya pemerintah daerah dan instansi terkait mewaspadai kemungkinan adanya gejolak harga di lapangan akibat meningkatnya kebutuhan.
Sejumlah cara terus dilakukan untuk memastikan kebutuhan bahan pangan bisa terpenuhi. Mulai dari memastikan suplai bahan pangan dari sentra produksi hingga proses distribusinya ke pasar. ”Karena itu, pengawasan langsung di lapangan untuk melihat pergerakan harga menjadi sangat krusial,” ujar Sarwo.
Di sisi lain, ia meminta masyarakat tidak berlebihan dalam berbelanja kebutuhan jelang Lebaran. Berdasarkan Data Badan Pusat Statistik (BPS), komposisi makanan terbuang di Indonesia mencapai 31 persen. Jumlah itu bisa memberi makan sekitar 61 juta jiwa.
Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru menuturkan, ada beberapa komoditas pangan yang riskan mengalami kenaikan harga, seperti beras, daging, telur, dan ikan. Kondisi ini terjadi lantaran permintaan yang meningkat. Hanya saja dirinya meyakini Sumsel bisa mengatasi risiko tersebut karena Sumsel merupakan lumbung pangan.
Untuk beras, misalnya, sebagai penghasil beras terbesar ke-5 di Indonesia, akan sangat anomali jika terjadi kenaikan harga yang signifikan. ”Karena itu, kalau sampai ada gejolak harga akibat ulah individu ataupun korporasi, satgas pangan harus segera bertindak,” ujarnya.
Selain itu, pengawasan langsung di pasar juga penting, jangan hanya melihat laporan saja. ”Saat ini, pasar sudah mulai ramai, awasi apakah ada gejolak harga di sana,” katanya menegaskan. Herman meyakini, dengan pengalaman saat pandemi Covid-19 beberapa tahun terakhir, tim pengendali inflasi daerah (TPID) Sumsel bisa mengantisipasi risiko tersebut.
Penghasil
Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Sumatera Selatan Ruzuan Effendi menuturkan, untuk beberapa komoditas, seperti beras dan telur ayam, Sumsel merupakan provinsi penghasil. Bahkan, untuk kedua komoditas tersebut, Sumsel mengirimkannya untuk daerah lain.
Meski begitu, kewaspadaan harus tetap ditingkatkan. ”Berbagai intervensi, seperti operasi pasar dan juga pasar murah, perlu terus dijalankan terutama di daerah yang riskan mengalami inflasi,” tuturnya.
Di sisi lain, membina hubungan dengan berbagai daerah sentra pangan juga terus diperkuat agar antara satu daerah dan daerah lain bisa saling melengkapi dalam memenuhi kebutuhan pangan.
Kapolda Sumatera Selatan Inspektur Jenderal Albertus Rachmad Wibowo menyebut kenaikan harga pangan menjadi salah satu aspek yang perlu diperhatikan jelang Lebaran.
Dari pantauan di sejumlah pasar, beberapa komoditas mengalami kenaikan harga, seperti beras, daging, dan telur, meski tidak signifikan.
Karena itu, ujar Rachmad, peran satgas pangan harus diperkuat untuk mengantisipasi kemungkinan adanya permainan harga atau kartel harga pangan oleh pihak tertentu di pasaran.
”Jangan sampai ada pihak yang mengambil keuntungan di tengah meningkatnya kebutuhan warga,” ujarnya menegaskan.