Di Palangkaraya, flamboyan bukan berarti gemerlap atau megah, melainkan kebalikannya. Flamboyan menjadi simbol kemiskinan dengan permukiman padat penduduk, jamban mengapung di sungai, dan kasus tengkes yang mengancam.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·5 menit baca
Jalan kayu berderit nyaring di Jalan Flamboyan, Kota Palangkaraya, Kalteng, pada (Jumat 7/4/2023) siang saat motor-motor dengan asap mengepul melintas. Jalan itu sempit, di kanan kiri rumah-rumah panggung berjejer nyaris tanpa spasi. Di pinggir jalan kayu itu, Astri (6) sedang menikmati cilok yang sudah hampir dua menit tidak habis. Cilok yang awalnya hangat sudah dingin di tangan anak itu.
Kakak Astri, Ramdan (12), berdiri tak jauh dari adiknya sambil memegang tali senar pancing yang dilempar ke bawah jalan kayu sambil berharap ada ikan yang melahap umpannya.
Di permukaan sungai, tak jauh dari umpan Ramdan, kayu-kayu gelondongan disusun berjajar dengan satu bilik di bagian atasnya. Tempat itu merupakan jamban warga yang diikat ke kaki-kaki rumah atau ditancapkan begitu saja ke tanah agar tidak hanyut terbawa arus Sungai Kahayan. Jamban itu bukan satu-satunya, setidaknya ada belasan jamban mengapung di wilayah itu saja.
Astri dan Ramdan pun pulang ke rumahnya yang juga rumah panggung. Ramdan dan Astri menyebutnya rumah, tetapi orang-orang menyebutnya barak, seperti bilik kos dengan dua ruangan di dalamnya. Tanpa kamar mandi. Semua kegiatan mandi, cuci, dan kakus dilakukan di jamban mengapung.
Ramdan menunggu-nunggu sore itu penuh harap untuk berbuka puasa. Setelah seharian ia menahan nafsu makannya. Segala masakan sudah tersedia. Malam itu menunya ayam geprek yang dibawa seorang kawan ayahnya. Ia menyantap habis makanan itu.
Zulkifli (33), ayah Ramdan yang sehari-hari mencari ikan di sungai, mengatakan anaknya doyan makan ayam. Setiap hari mereka biasanya menyantap ikan asin atau mi instan. Terkadang ia makan sayur kelakai (Stenochlaena palustris) kalau sedang rajin mencari di semak-semak jauh dari rumahnya.
Zulkifli mengungkapkan, dirinya selalu menyisakan ikan segar untuk keluarganya setelah menjual ke pasar. Namun, karena mencari ikan kian susah dan kian jauh ia kini membagi waktunya bekerja paruh waktu, apa saja yang bisa ia kerjakan selagi halal pasti dijalaninya. Serabutan.
”Jadi kalau lagi cari ikan, pasti langsung jual ke pasar. Kalau ada ikan yang kurang baik, biasanya dikeringkan sendiri agar jadi ikan asin. Nah, mereka suka ikan asin,” kata Zulkifli.
Hasil dari menjual ikan itu, kata Zulkifli, untuk membeli kebutuhan dapur, mulai dari beras, minyak goreng, hingga mi instan, lalu ditabung untuk sekolah anak-anaknya. Istrinya juga kerap membantu dirinya bekerja. Saat kedua orangtua Ramdan dan Astri itu bekerja, kedua anak itu dititipkan ke tetangga yang sudah seperti saudaranya.
Zulkifli sudah tinggal di Jalan Flamboyan sejak sebelum anak-anaknya lahir. Ia menceritakan kembali saat-saat istrinya hamil yang berkali-kali hampir terpeleset saat hendak buang air besar di jamban mengapung.
Zulkifli bercerita sambil menyesap kopi lalu mengambil batang rokok terakhir di bungkusnya lalu membuang bungkus rokok itu ke bawah rumahnya. Bungkus rokok pun bertemu dengan sampah-sampah plastik yang sudah berumur lebih tua dari anak-anaknya. Menumpuk menunggu hanyut ke laut.
Sampah memang masih menjadi masalah di tempat itu. Semua pemandangan kotornya sampah bisa dilihat hanya dengan melihat ke bawah rumah-rumah di Flamboyan. Saat hujan deras, sampah itu hanyut ke lautan, saat kemarau, sisa sampah purba bisa dilihat menyatu dengan tanah lumpur di bawah rumah-rumah warga.
Kalau ada kuah mi kan makan jadi enak. (Fadil)
Kehidupan dikelilingi sampah juga terlihat di Kilometer 14, Kelurahan Bukit Tunggal, Kota Palangkaraya. Fadil (10) hidup bersama kedua orangtuanya di gubuk tak jauh dari bukit-bukit sampah. Ia dan kakak perempuannya pada Kamis (6/4/2023) siang baru saja pulang mengais sampah mencari botol-botol plastik. Saat hendak pulang ke rumah, Fadil berhenti sejenak lalu melempar karung penuh botol ke samping, ia berdiri di bawah pohon membuang hajat kecil.
Ia punya jamban di rumahnya tetapi ia lebih senang buang hajat di mana saja ia suka karena bau jamban di dekat gubuknya lebih buruk dibandingkan sampah-sampah yang tiap saat ia kais.
Fadil tak puasa. Siang itu ia mengunyah nasi yang masih hangat dari ibunya. Tanpa lauk dan sayur, nasi itu lebih nikmat dibandingkan ayam goreng bagi Fadil. Ia lantas bertanya kepada ibunya apa bisa memakan mi instan, kemudian ibunya mengangguk dan meminta Fadil menunggu hingga malam.
”Kalau ada kuah mi kan makan jadi enak,” ujarnya.
Di sekitar bukit sampah, setidaknya ada dua wilayah rukun tetangga dengan total 58 keluarga. Jumlah anak yang terdaftar mencapai 65 orang, 20 di antaranya putus sekolah dan memilih mengais sampah. Pola hidup apa adanya dengan dikelilingi sampah sudah menjadi makanan mereka sehari-hari.
Tengkes
Kota Palangkaraya disebut gagal dalam menurunkan angka tengkes. Dari data Survey Status Gizi Indonesia Kementerian Kesehatan RI, Kota Palangkaraya masuk lima ibu kota provinsi dengan penurunan capaian pengentasan tengkes. Pada 2021 angka tengkes di ”Kota Cantik”, sebutan Palangkaraya, mencapai 25,2 persen lalu meningkat pada tahun 2022 menjadi 27,8 persen. Angka itu berada di atas ambang toleransi tengkes dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang hanya 20 persen.
Kepala Dinas Kesehatan Kota Palangkaraya Andjar Hari Purnomo menjelaskan, tantangan utama dalam menurunkan angka tengkes di kota adalah meningkatkan kesadaran akan pola hidup sehat dan pola konsumsi yang sehat. Selain itu, pola asuh anak juga masih menjadi pekerjaan besar untuk edukasi masyarakat di Kota Palangkaraya.
”Kalau sebaran tengkes paling banyak memang di wilayah-wilayah padat penduduk. Meskipun demikian, kami juga sudah berupaya dan ini butuh kerja sama banyak pihak,” kata Andjar.
Hal itu ditegaskan kembali oleh Kepala BKKBN Provinsi Kalteng Jeanny Y Winokan yang baru dilantik beberapa hari lalu. Menurut Jeanny, Kalimantan Tengah menduduki daerah dengan pernikahan anak tertinggi nomor dua di Indonesia. Selain itu, sampai saat ini masih banyak warga yang masih hidup dengan jamban darurat.
”Mekanismenya sudah ada ya dalam kebijakan untuk menurunkan angka tengkes, saat ini yang dibutuhkan adalah implementasi semua pihak,” kata Jeanny.
Dari data Sekretariat Daerah Kalimantan Tengah, keluarga yang berisiko tengkes terdata dari 117.091 keluarga sasaran, yang mempunyai ibu hamil, bayi baduta (di bawah dua tahun), dan anak balita terdapat 59.669 keluarga. Dari total keluarga berisiko, setidaknya terdapat 22.639 keluarga yang mempunyai jamban tidak layak dan 23.028 keluarga yang memiliki akses air minum utama tidak layak. Sementara jumlah keluarga sasaran berisiko tengkes yang didampingi pemerintah melalui Tim Pendamping Keluarga di Provinsi Kalimantan Tengah baru 78.943 keluarga atau 67,4 persen.
Persoalan tengkes tidak bisa hanya dengan bersandar pada upaya pemerintah. Pola hidup sehat harus disadari sendiri oleh keluarga.