Peziarah Terkesan dengan Semana Santa di Larantuka
Peziarah terkesan dengan tradisi Semana Santa, sebuah ritus budaya bernuansa Katolik. Mereka juga kagum akan keberagaman di Larantuka.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·4 menit baca
LARANTUKA, KOMPAS — Setelah ditiadakan tiga tahun akibat pandemi Covid-19, tradisi Semana Santa kembali digelar di Larantuka, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Tradisi lokal bernuansa Katolik yang berlangsung lebih dari lima abad itu kini diikuti belasan ribu orang yang datang dari sejumlah daerah dan negara. Para peziarah pun memberi kesan positif terhadap tradisi dan kehidupan di kota itu.
Semana Santa berlangsung dalam satu pekan untuk memperingati sengsara, wafat, dan kebangkitan Yesus Kristus. Dalam iman Katolik, sengsara Yesus itu demi menebus dosa seluruh umat manusia, bukan hanya umat yang percaya pada ajarannya.
Pada Jumat (7/4/2023), para peziarah mengikuti prosesi laut. Dalam upacara itu, patung Tuan Meninu atau bayi Yesus diarak melalui laut. Patung diangkut perahu dayung dan diikuti perahu dayung, perahu motor, hingga kapal yang berjumlah ratusan unit. Perarakan melewati Selat Gonsalus yang berarus deras.
Di pinggir pantai, berjejer ribuan orang yang menyaksikan prosesi tersebut. Mereka meratapi seperti halnya putri-putri Jerusalem yang meratapi Yesus kala disiksa oleh orang Yahudi. Banyak peziarah mengikuti prosesi itu dengan khusyuk.
Pada Jumat malam, peziarah mengarak patung Tuan Meninu dan patung Bunda Maria atau Tuan Ma mengelilingi pusat kota Larantuka. Peziarah melewati beberapa titik pemberhentian sebagaimana kisah sengsara Yesus ketika disiksa serdadu Yahudi.
Yohana (87), peziarah dari Magelang, Jawa Tengah, menuturkan, kesempatan merayakan Semana Santa adalah impiannya sejak dulu. Kesempatan itu pun sempat tertunda akibat pandemi Covid-19 selama tiga tahun, yakni 2020, 2021, dan 2022. Ia merasa terharu.
Berombongan
Yohana bersama rombongan yang tergabung dalam sebuah komunitas Katolik. Mereka semuanya warga lansia yang berasal sejumlah daerah di Indonesia. Mereka berkumpul di Surabaya, Jawa Timur, kemudian bersama-sama datang ke Larantuka.
Yohana dan rombongan mengatakan sangat terkesan dengan perayaan Semana Santa seraya berharap agar tradisi tersebut terus dipertahankan. Mereka pun berjanji akan mengabarkan cerita baik itu kepada orang lain agar bisa datang pada Semana Santa berikutnya.
Joni (29), peziarah dari Jakarta, datang bersama temannya. Bagi mereka, perjalanan kali ini sekaligus berwisata lintas Pulau Flores. Kendati bukan umat Katolik, wirausaha muda itu mengaku tertarik menyaksikan tradisi tersebut. Tradisi dari zaman Portugis masih ada sampai saat ini.
Joni yang baru pertama kali ke Larantuka itu merasa kaget dengan keberagaman di Larantuka. Ia melihat bangunan masjid di pusat kota serta mendengar suara azan yang menembus hingga ke dalam gereja ketika perayaan berlangsung.
”Dulu saya pikir ini mayoritas Katolik sehingga masyarakat di sini fanatik. Nyatanya itu tidak sama sekali. Indonesia perlu belajar tentang keberagaman di sini. Saya sangat terkesan dengan hal ini,” ucapnya.
Mengutip buku berjudul Panduan Prosesi Jumat Agung Larantuka, dikatakan bahwa ritual peninggalan Portugis itu rutin digelar sejak abad ke-16. Sekitar tahun 1550, misionaris Katolik dari ordo Dominikan memulai karya penyebaran agama di daerah itu. Tahun 1562, dipermandikan sekitar 200 orang di Larantuka.
Penyelenggara Semana Santa adalah suku-suku di Kerajaan Larantuka, sebuah kerajaan bercorak Katolik yang pernah ada di Nusantara. Ini berarti Semana Santa merupakan ritus kebudayaan yang senapas dengan ajaran Gereja Katolik.
Indonesia perlu belajar tentang keberagaman di sini. Saya sangat terkesan dengan hal ini.
Penjabat Bupati Flores Timur Doris A Rihi mengatakan, total peziarah dari luar daerah dan lokal berjumlah belasan ribu orang. Peziarah dari luar itu berasal dari sejumlah provinsi ataupun dari luar negeri. Banyak pula yang bukan umat Katolik. Mereka wisatawan dan peneliti.
”Momentum ini sekaligus untuk promosi daerah. Banyak peziarah yang datang ke beberapa desa wisata dan juga menikmati komoditas khas di sini, seperti kopi dan madu. Kami berterima kasih atas kehadiran peziarah,” ujarnya.
Sementara itu, Pastor Paroki Katedral Larantuka RD Hendrik Leni berharap para peziarah dapat mengambil makna dari Semana Santa. Peziarah tidak hanya mengenang kesengsaraan Yesus demi dosa manusia. Lebih dari itu, mewujudkan ajaran Yesus.
Ajaran dimaksud adalah tentang kasih kepada sesama manusia seperti kasih kepada diri sendiri. Kasih dimaksud pun tidak memilah dan memilih. Kasih tidak bersyarat. ”Penghayatan akan kasih itu harus diwujudkan dalam keseharian kita,” ucapnya.